Menu

Kamis, 12 November 2009

RETAKAN BATU NISAN

Bayangan kegelapan semakin tinggi memanjang ke timur. Matahari melototi bumi semakin suram dengan sinarnya Hembusan angin mulai bersiap dengan serdadunya, mengepung kegelapan malam. Suara adzan serasa membanjiri langit bagai asap mendung yang memberikan panggilan untuk mensucikan jiwa. Rusmin terkaget saat alarm hp-nya berbunyi tepat saat panggilan Adzan itu berkumandang. Ia tersadar dari tidur siangnya yang lelap. Ia usap matanya dengan jari-jari kakunya seraya meraba-raba setengah sadar mencari sumber bunyi mesin kecilnya. Dibalik selimut dekat paha tangannya,ia menemukan barang aneh itu, dengan radar tangannya yang memancarkan sinyal dari sekumpulan perintah-perintah dari otak.
Ia paksa tubuh m alasnya untuk bangun meninggalkan selimutnya setelah melihat jam hp yang berdengung mengingatkan waktu Ashar telah tiba. Ia mulai berjalan dengan setengah sadar mendekatkan tubuhnya ke cermin dekat kamar mandi hendak merapikan rambutnya yang berantakan diamuk sang tidur. Kemudian ia basuh muka suramnya dengan air dingin dari kran yang berada persis di bawah cermin itu. Ia pukul mukanya dengan genangan air yang ia ambil dengan telapak tanganya. Kepanya ia hadapkan pada sang cermin seakan mempersilahkan pada sang mata untuk mencari apakah masih ada yang butuh dibersihkan. Bayangan cermin ia lihat dengan seksama. Ia ajukan pipi kanannya dekat cermin, tapi sang cermin seakan menolak. Lalu berurut ia ajukan pipi yang kiri. Tak terbenak dalam hatinya ia melihat setitik tahi lalat di pipi kirinya, ia akan teringat pada sesosok kakek tua yang pernah bercerita tentang asal-usul tahi lalat yang bersarang di pipinya itu. Rusmin tiba-tiba tegak dari apa yang ada. Hatinya seakan menunduk saat mangingat sosok itu. Bergegas ia berwudlu kemudian berbalik punggung dari cermin itu, menuju Mosolla tempat sholat khusus yang berada di rumahnya
Beribu bayangan kesedihan seakan datang menghampiri Rusmin setelah itu. Hatinya lemas. Sholatnya seakan bagai kapas yang terpontang-panting bebas di udara.Ia sadar akan makna dari tahi lalat itu. ia seakan terilhami harus kemana ia setelah sholat nanti. Bergegas ia bangun dari duduk silanya setelah menghujam beberapa wirid kesehariannya. Ia ambil dompet dari saku celananya yang tergantung bersama baju-baju kusam berhias kotoran-kotoran keringat dalam kegiatan kesehariaanya. Ia menoleh empat puluh lima derajat ke kanan melirik sebuah besi kecil berhias bulu ekor kuda. Kakinya ia langkahkan menuju kunci motor itu yang berada tepat di sampig hp-nya yang ia letakkan tadi saat bangun dari tidurnya di atas sebuah meja tua yang bertahan dari kerapuhannya termakan rayap-rayap usia.
Rusmin menuju garasi hendak mengeluarkan motornya. Seperti biasanya ia lakukan kegiatan itu hanya saja senyumnya seakan habis untuk waktu itu, digantikan rasa kesedihan. Ia kendarai motornya dengan hati linglung, seakan bayangan-bayangan masa lalu hadir di benaknya mengingatkan untuk jangan lupa. Ia genggamkan tangan kanannya di sebuah besi yang terbungkus karet kasar setelah kakinya menginjak logam cembung bagian bawah motornya. Kecepatan motornya ia tambah, seakan tak menghiraukan sekelilingnya. Pohon-pohon seakan heran melihat tingkah lakunya sore itu yang tak seperti biasanya. Anak-anak menoleh keheranan saat Rusmin melewati lapangn bola yang rame tiap sore, selayak bertanya dalam hati mereka apa yang sedang terjadi pada Ustadz mereka.
Ke arah sudut desa bagian antara selatan dan timur tepat arah tenggara ia tujukan motornya. Sebuah tempat sepi ibarat kesedihan yang meninggalkan beribu tangisan perpisahan. Ia masuki pintu gerbang tempat itu dengan kusuknya, berkomat-kamit lirih sambil ia putar wajahnya melihat tiang-tiang pendek di seluruh penjuru tepat itu. Ia langkahkan kakinya menuju suatu tempat khusus yang biasanya ia kunjungi setiap sebulan sekali jika hatinya lega. Ia tatap tiang itu dengan mata sedih,seakan bayangan tadi datang kembali menghantuinya, menghiasi hatinya yang sedang lemas. Ia paham betul siapa sosok di balik tiang pendek batu itu. Ia teringat saat kucuran keringat keluar dari tubuh kakek tua beranak tujuh itu. sekumpulan kayu-kayu kering ia bawa menuju pasar yang jaraknya kurang lebih delapan kilo meter demi menghidupi keluaganya. Ia jalani itu dengan berjalan di atas kaki kuatnya yang teroles oleh kasarnya perjuangan hidup. Rusmin lebih terharu lagi saat kakek tua itu tersenyum kala bercerita kepadanya atas apa yang ia alami. Bagaimana mungkin kakek tua dengan tubuh seperti itu menjalani kesedihan dengan senyuman. Suatu bayangan lagi yang embuat rusmin terpukul hatinya, saat ia minta kiriman uang untuk biaya kosnya, saat rusmin masih menjadi mahasiswa, Rusmin merasa aman-aman saja dengan kakek tua ayahnya itu dengan kiriman uang yang ia terima. Tetapi saat ia berkunjung ke rumah pamannya yang kebetulan agak dekat dengan kuliahnya yang ia sering lewati saat berangkat kuliah, Rusmin di bentak-bntak oleh pamannya. Rusmin dihina mati-matian akan tingkah lakunya yang tak tahu bagaimana kesengsaraaan orang tuanya. Pamannya menceritakan kebenaran semua yang tersembunyi dari kakek tua itu dalam masa tuanya membiayai Rusmin. Rusmin terbungkam seribu bahasa, tak mampu bertingkah atau berkata sekatapun. ia baru tahu, bagaimana orang tuanya menghidupinya. Kemudian mulai saat itu Rusmin sadar untuk berdiri di kaki sendiri Ia mengundurkan diri dari hadapan pamannnya dan berpamitan untuk pulang ke rumahnya dengan hati hancurnya itu. Tapi ia kalah bersaing dengan sang maut dalam perlombaan mencapai si kakek tua itu. Kaca tua itu telah pecah dalam kerapuhaannya. Sang ajal telah menjemputnya sebelum ia sampai pada ayahnya. Ia merasa seribu salah dalam tindakannya itu, tapi yang menjadi kebekuan dalam hatinya, kenapa kakek tua itu tak mau berkata bahwa ia sedang sakit,kenapa ia sembunyikan kesakitannya dalam penderitaannya. Angin sepoi tiba-tiba berhembus menyapu dedaunan yang bertiduran tenang di atas makam itu. Rusmin tersadar dari bayangan lalunya itu. Batu nisan penuh perjuangan ia tatap dengan sedihnya. Kemudian ia duduk di samping tanah liat itu berkomat-kamit membacakan ayat Alquran untuk sang ayah tercinta. Tak terasa sang mata menjadi perih hendak mengungkapkan perasaannya.tak kuat menahan lampiran-lampiran kenangan yang ditayangkan oleh sang otak. Tetesan mutiara kesedihan mengalir dari kedua matanya seiring cerita itu, mengenang bagaimana sang ayah berjuang menghidupinya. Ia hentikan bacaannya dalam tangisannya itu. Keheningan datang membawa kenangan masa lalu. Makam itupun mulai sunyi. Suara-suara bacaan ayat Alquran semakin melirih habis sejalan petang. Rusmin tetap duduk termenung menatap batu nisan itu. Rusmin semakin luluh hatinya dengan suasana itu. suasana senja matahari dibalik batu nisan orang yang ia kasihi. Namun tak beberapa lama kemudian Rusmin tiba-tiba berdiri, seakan lupa akan apa yag terjadi. Terbentak keras dalam hatinya "aku tak boleh menyerah! takkan ku sia-siakan jeritan itu. Takkan ku sia-siakan keringat itu. Takkan ku sia-siakan perjuangan kakek tua itu. Aku harus bangun. Aku harus mampu berdiri sendiri!".