Menu

Minggu, 14 Oktober 2012

Cerpen - Sang Pemberontak


Sang Pemberontak

Aku ayun sepedaku dengan hati kalut seakan pusat tubuhku terserang virus ketakutan. Pasalnya teman-teman kemarin sore memberi kabar pedas padaku jikalau hasil rapat yang mereka lakukan adalah akan menyidang aku di depan Waka. Kucoba tenang dengan semua keaadaan, kukatakan pada hatiku untuk jangan takut. Kumotivasi dia untuk tetap tegar karena aku yakin artikelku yang kutempel di kelas-kelas kemarin mempunyai tujuan baik, hanya saja mungkin sebagian dari mereka ada yang merasa terhina atau bahkan tersakiti oleh isinya.
Pedal sepeda kuinjak selirih bergantian dengan dua kakiku. Genggaman tangan kuperkuat memegang besi tua berlumur karat itu. Kuangkat dahiku, kupandang ujung jalan sambil kupercepat laju sepedaku menenangkan situasi hati yang yang kalut akan  kemungkinan apa saja yang akan terjadi hari ini. Walaupun kemungkinan besar  berdampak negatif padaku. Ditambah saat kulewati desa tempat tinggal sang ketua OSIS, kulihat ia berpaling muka dariku seakan berisyarat tentang kebenciaannya padaku. Tapi aku cuek saja, aku bilang dalam hatiku untuk tetap tegar menghadapi mereka. Jangan takut, karena kebanyakan siswa pun mendukungku, dan kalaupun ada yang menentang karyaku yang kucoba tuang dalam artikel kemarin, mereka adalah para pengurus-pengurus yang mungkin terbakar hatinya dengan mantra-mantra dalam artike itu.
Aku sampai di sekolah. Pelajaran pagi pun berjalan seperti biasanya tanpa ada yang berubah, hanya saja aku dan teman sebangkuku Amin namanya tak lagi membicarakan pelajaran akan tetapi membahas tentang keadaan terdesakku yang akan disidang oleh anggota-anggota OSIS nanti. Amin dan Muslimin, dua orang temanku yang mendukungku waktu itu. Kucoba mencari taktik bersama mereka untuk melawan kucing-kucing OSIS yang sedang terbakar ekornya. Pelajaran berganti menjadi hujan desas-desus ide-ide konyol untuk mematahkan gugatan mereka yang salah satunya tentang artikelku dan tentunya aku cari alasan untuk menguatkan pendapatku kenapa aku berani mengeluarkan artikel jenis monster itu.
Ide-ide bodoh datang menghiasi kepala mengisi perdebatanku dengan teman sebangkuku, hingga tiba-tiba datang selembar kertas yang berisi berita mendebar bercampur khawatir datang dengan taring tajamnya kedepanku. Surat dari Waka sekolah. Kubaca surat hitam panggilan itu dan setelah kubaca ternyata benar apa yang dikatakan temanku kemarin tentang persidangan itu. Kupahami betul-betul surat menjengkelkan itu hingga sampai sekarang pun masih teringat. Kuingat akan kata-kata pedas di dalamnya, seakan kebencian tercermin dari aura kertas bermasalah itu. Suatu pembuka surat yang menjengkelkan jika kukomentari lembaran itu, dan kini pun masih terniang dalam benakku gambaran suram waktu itu, seakan perbuatan mereka kubayangkan bagai menusuk-nusuk hatiku dari dalam dengan pisau jejeran kata pedas. Tapi ingat, ini bukan surat cinta akan tetapi surat panggilan untuk disidang karena aku kemarin menulis artikel, memprotes cara kerja pengurus yang kurang baik menurutku.
Badanku kutegarkan. Kusikapkan diriku sebagai laki-laki jantan yang bertanggung jawab atas apa yang diperbuat. Kumulai menjalankan rencana-rencana yang tersusun tadi. Kuundang semua perwakilan kelas yang mendukungku dengan tujuan memperkuat posisiku. Mereka sebenarnya banyak tapi jika kubawa semua takut nggak muat nanti, jadi perwakilan saja, walau ternyata setelah kulihat kebanyakan perwakilan itu pun adalah anak-anak yang ndluyo (nakal). Hal itu karena mereka merasa diberlakukan tidak adil sehingga untuk mengungkap perasaan mereka, mereka bergabung denganku karena salah satu tujuan dari apa yang kulampirkan dalam artikel adalah membentuk organisasi yang mengaspirasikan pendapat-pendapat siswa.
Aku berjalan layaknya ketua geng yang hendak tawuran, hanya saja tawuranku tidak memakai batu atau pun kayu ataupun sejenis benda-benda tajam lainnya, itu kuno. Tawuranku berbeda dari itu karena yang kulempar tidak batu tapi meriam argumen dan bantahan akan kebenaranku dalam menulis artikel kemarin. Para pendukungku kulihat seakan bersenang dengan apa yang kami lakukan, padahal di sini, di hati ini adrenalin sudah mulai tak sabar menggrogoti ketakutan menggetarkan tubuhku. Aku sebenarnya takut.
Aku harus tetap tegar dengan semua itu karena aku adalah tembok utama dalam peperangan ini. Jika aku roboh bagaimana jadinya nanti?Dengan hati linglung terpaksa kudatangi tantangan mereka dengan serdaduku. Aku akan berperang dengan tetua-tetua yang terbentuk dalam barisan lebel OSIS itu.
Ke Musolla, itu tempat yang dijanjikan lembaran hitam itu. Kubawa serdaduku selayak magnet yang menarik pernik-pernik besi ke kutub-kutubnya. Setelah sampai, kududuk santai menikmati kekalutan itu sambil menunggu para musuh yang belum datang, biasa, budaya Indonesia selalu molor. Kuingat waktu itu aku duduk menghadap kiblat karena memang tempatnya di musolla, jadi nggak salah jika kukatakan menghadap kiblat.
Aku dudukkan tubuhku yang beraroma kekhawatiran itu. Para tentara lawan pun belum juga datang walaupun sudah ada satu atau dua yang sudah ada di tempat, tapi kan sedikit, buat apa menghukumi perkara yang sedikit. Sedikit itu bagai tidak ada. Kembali, teman-temanku berdatangan ingin mendukungku. Kuingat Muslimin, ia berada di kiriku dan Amin berada di kananku dan yang lain berposisi porak-poranda tidak teratur di belakangku.
Mereka datang. Satu persatu memposisikan tempat mereka masing-masing. Kulihat sang ketua OSIS dan ketua Ambalan pramuka duduk berjejer di tengah para anggota OSIS, disertai sang Waka sebagai pusat dari lengkungan yang mereka bentuk selayak busur panah, yang siap melepaskan anaknya tetkala musuh lengah. Sedangkan aku, kupikir bayangkan saja gambaran Syekh Siti Jenar yang disidang oleh Walisongo, tapi masalahku ini adalah masalah duniawi bukan masalah ukhrowi.
Jikalau tidak salah, waktu itu ketua OSIS yang membuka acara. Tentunya sedikit banyak menyinggung akan isi artikelku dengan kata-kata pedasnya. Setelah selesai berceramah aku pun diberi kesempatan untuk berbicara. Tapi sebelum aku berbicara aku suruh Muslimin untuk membacakan selembar artikelku yang baru kubuat pagi itu juga, dan tentunya menyinggung tentang kebenaranku. Jika kau bawa api maka akan kubawa air untuk keseimbangan. Kubayangkan waktu itu seakan keresmian dan kekuatan berbicara berada di pihakku.
Muslimin pun membaca dengan gaya spesifiknya dengan mimik kekesalan dan keinginan untuk bertindak. Setelah ia selasai membaca artikel itu, kini giliranku. Dengan hati yang sudah mulai terbakar kubuka pendapatku satu persatu. Kuberalasan tentang pandapat ini. Kukuatkan kenapa aku bertindak seperti ini. Aku membantah kenapa mereka mengatakan seperti ini-itu dan yang lainnya, yang berintikan menguatkan penadapatku. Kucari kesalahan-kesalahan mereka dan mulai menghujam mereka dengan berbagai meriam-meriam tanda tanya akan tindakan-tindakan salah mereka. Karena saking semangatnya, amarahku mengaung semakin terbakar. Apalagi setelah aku ingat dengan kata-kata konyol "OOT" (Omong-Omong Tok[1]), hatiku lebih tersayat. Seakan aku ingin melepas cambuk lidahku untuk menikam kata-kata pedas yang ditujukan pada aku itu dan teman-teman seperjuanganku.
Aku merasa marah benar karena kata itu. Kami yang sudah bersusah payah tidak dihargai malahan dihina seperti itu. Kutambah pendapatku dengan kekuatan bom-bom penjelasan tentang apa saja yang selama ini aku lakukan yang mungkin menurut mereka salah. Kuingat saat itu aku sebagai ketua kegiatan Pelatihan Menejemen, aku tidak mengundang satupun dari kakak kelas, kulemparkan geranat bom alasan bahwa aku ingin membuktikan bahwa kami bukan OOT yang kalian ucapkan. Ruangan waktu itu seakan menjadi medan tempur antar mulut ke mulut, melampiaskan amarah masing-masing. Mereka pun menghujamku dengan alasan aku iri pada ketua OSIS karena aku kalah dalam pemilihan manjadi ketua, sehingga mereka memutar alasan bahwa aku membentuk organisasi baru agar aku bisa menyaingi ketua OSIS.
Kericuhan bertambah hingga akhirnya sang Waka turun campur ke medan perang. Ini yang kutakuti. Jika aku menang aku akan mendapat cap jelek sebagai murid yang melawan guru. Jika aku kalah, keinginanku tidak akan tercapai. Kulihat teman-temanku berdiam mengunci mulut mereka kala harimau satu ini datang, dan tinggal aku yang bertahan dalam kebimbangan itu mempertahankan benteng pertahanan. Ruangan semakin panas terbanjiri hujatan-hujatan antara aku dan Waka. Aku semakin terdesak dengan keadaanku yang kian terjepit dalam jurang hujatan itu ditambah, peluru kata-kataku yang sudah banyak kulempar sehingga aku kesulitan mencari kata-kata penguat pendapatku. Aku semakin terjepit dan terjepit dengan keadaan, hingga pada akhirnya bom bunuh diri kulontarkan di antara tank-tank panas itu.
Aku keluar dari OSIS. Itulah senjata terahirku. Aku yang dulu dipilih sebagai anggota OSIS dan aktif dalam berbagai kegiatan sekarang akan mengundurkan diri dari jabatan. Aku tidak akan lagi ikut campur tangan untuk membantu para pengurus sekolah. Aku sudah tertusuk sekarang dengan tingkah 'Air susu dibalas dengan air tuba' mereka. itulah peristiwa yang menyakitkan yang bisa aku hujamkan untuk mengahiri semua. Seakan perjuanganku selama itu luntur oleh bom bunuh diri ini.
Hatiku tersayat dengan semua itu. Hari-hariku selanjutnya berjalan ambigu, yang dulunya aktivis  Full Time kini tersia-sia terbuang dalam kekalutan. Kurasakan bagaiman rasanya saat jatuh dan dibenci oleh teman-teman perjuangan. Hari-hari saat aku bertemu mereka tak seperti dulu sebelum peristiwa ini terjadi, seakan jurang hati telah runtuh lebih dalam memisah antara aku dengan mereka. Aku tak lagi aktif sebagai pengurus dan tiada jalan lagi waktu itu selain aku harus lebih sungguh-sungguh dalam pelajaran.
Baiklah aku mundur dalam panggung kepengurusan tapi aku takkan mundur dalam panggung pengetahuan. Aku akan berusaha mengobati lukaku waktu itu dan terniang dalam kepalaku untuk membentuk suatu kelompok belajar kecil. Selanjutnya Alhamdulillah, aku masih punya teman-temanku sekelas yang lain yang bisa kuajak berdiskusi walaupun bukan lagi para anggota OSIS. Kubentuk kelompok belajar bersama mereka dan berdiskusi dengan mereka.  Kuberi nama kelompok ini dengan sebutan "DEWAN" dalam artian Dewasa, Berwawasan, dan Antusias untuk maju. Kelompok ini sengaja dibentuk selain untuk jangka pendek menghadapi tes-tes pelajaran, juga untuk jangka panjang menghadapi ujian ahir sekolah. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Kutahu manfaat kelompok ini setelah di ahir-ahir masa ujian sekolah ternyata mapel ujian ditambah menjadi lima. Dulunya tiga, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika saja, sekarang ditambah dengan Fisika, Biologi, dan Kimia. Ya karena aku orang IPA, jadi tambahannya pun juga IPA. Aku pun tak terlalu kaget untuk menghadapi ujian setelah itu karena sudah ada persiapan belajar diskusi bersama, mulai aku keluar dari kepengurusan OSIS.
Dari peristiwa-peritiwa itu aku seakan bisa merasakan sadar, kenapa Ronggo Lawe memberontak pada Majapahit, mengapa Mustofa Kamal Attatruk memberlakukan bangsa Turki dengan aturan bodohnya, dan yang lebih terkesan dalam hatiku adalah aku seakan mendapat kunci pengetahuan baru yang mungkin tidak akan kudapat tanpa peritiwa itu, 'Sang Harimau tak akan bangun dari tidur pulasnya hanya dengan disenggol halus, tapi sang Harimau itu akan bangun, marah dan kemudian bertindak manakala dibangunkan dengan pukulan'. Setelah itu kulihat para aktivis-aktivis OSIS lebih giat dari sebelumnya dan mereka kemudian merubah nama OSIS menjadi OPMA (Organisasi Pelajar Madrasah Aliyah).


[1]  Omong-omong tok; hanya bisa bicara saja.

Selasa, 09 Oktober 2012

Cerpen - PIJAR-PIJAR LEMBAYUNG


PIJAR-PIJAR LEMBAYUNG

Bukan mati kata tapi memang tak ada tema
Bukan terpendam tapi memang berusaha tenang
Terhentak hidup terseset-seset batu jalan
Tak tentu arah laksana pijar lemah hidup sungkan

Delima si wanita cantik
Menghias hidup kudekati berayu pernik
Lembayung cinta menghempas lembut tak tangkap hati
Namun sial, tipuan lembut melunglai lupa sejati.

Laksana perak pohon pisang bersolek lipstick
Tak layak sebenarnya kukias si cantik
Namun hati dan alam terbelesit membisik
Sudahlah, biarlah ku yang tercekik.

Senandung pijar-pijar lembayung tak tahu arti
Ingin mengungkap tak ada makna yang sejati
Di tangan manusia mana enak itu yang dicari
Tak luput aku, ah malu jika harus mengisi.

Kau bingung?
Aku juga bingung.
Kau heran?
Aku memang sengaja.
Kau Tanya dari mana asalnya?
Namun ku sulit menjawabnya
Mungkin karma.
Tunggu dulu.
Apakah karma dan takdir beda?
Kukira sama, itu yang kupinta.

Ingin ku kata tikus-tikus
Mukamu tu nggak pecus.
Sok gaul malu di kata bengus
Agar lebih cocok ahiri saja dengan rebus.
30 agustus 2011

Cerpen - Rayu Bunga Sepatu Biru


Rayu Bunga Sepatu Biru

Dia pandang langit, lalu ia cubit pipinya dengan tangan kanan. Kemudian ia berdiri tegak menatap langit dengan mata lebih tajam. Ia cubit lagi pipinya untuk yang kedua kali.
"Aku masih hidup! Syukurlah?!"
Sejenak ia diam setelah itu, tanpa suara. Ia pejamkan mata sambil melebarkan kedua tangannya menengadah ke langit seperti saat orang sedang berdoa. Ia tiup udara pelan-pelan serambi merasa bersatu dengan alam. Bibirnya sedikit demi sedikit mulai melekuk untuk tersenyum  manis. Ia buka matanya yang tadinya ia sengaja pejamkan selama awal berdiri itu. Ia tatap langit dengan tangan bertengadah penuh sambil tersenyum sendiri.
"Hei gila, ngapain sih kamu kayak gitu? Bikin malu aku aja!" Gertak Erwin dengan nada ketus sambil memperbaiki tas ranselnya yang rusak, tas ransel yang rencananya mau dibuat untuk petualangan di gunung Semeru besok. Ia terperangah kaget setelah Winiangsih, teman perempuannya kuliah yang hendak  pinjam ransel itu, tiba-tiba berlaku aneh kayak setengah kesurupan.
Winiangsih, mahasiswi IAIN semester dua yang baru-baru ini dipandang Erwin agak bertingkah laku nggak semestinya. Gadis sembilan belasan ini sudah hampir setengah bulan tampak pegang Hp terus, tidak kayak sebelumnya. Bahkan Winiangsih pernah bilang pada Erwin kalau ia tidak suka Hp-nan sebenarnya, apalagi dengan yang namanya fecebook-an.
Tak mau berterus terang. Itu yang tambah membuat Erwin jadi berani nekat menjuluki temannya itu dengan lebel 'gila'. Lebih sadis lagi saat kumpul sama teman-teman tiba-tiba cengengas-cengenges sendiri padahal sedang pada pusing membahas masalah koredor pluralisasi dalam masyarakat demokrasi yang kemarin diberikan pak Hartono, Dosen Ushul.
"Kamu yang gila! Orang waras gini dikatain edan. Nggak ada orang yang ngatain orang waras edan, kecuali orang itu edan sendiri. Kamu yang gila?!” Bantah Winiangsih merasa tersinggung.
"Nek…nenek, ingat nek, kamu… kamu di mana sekarang?" Tambah Erwin dengan nada lembut sedikit marah padaWiniangsih yang membandel.
"Di kantin…!? Sadar..!!" Lanjut Erwin dengan nada mengeras sambil melototkan mata saat bicara.
Winiangsih menoleh sekeliling. Beribu mata memandanginya dengan heran. Mukanya berangsur-angsur memerah merasa malu sendiri pada tingkah lakunya. Tanpa pikir panjang, tangan kanannya lalu menyahut tas kecil yang berada di kursi tempat duduknya. Hp-nya masih ia pegang di tangan kirinya. Ia berlari malu.
"E..e..e.. mau kemana? Ranselnya…?"
"Yach.. aku lagi yang bayar…! Sial!!" gerutu Erwin.
Udara siang semakin memanas. Lototan matahari semakin keras memuncak. Desir debu jalan pun lebih menambah kacau suasana. Rentetan mobil-mobil mengular di sepanjang punggung jalan. Suara klakson berhantaman dari mobil ke mobil yang lain. Benar, suasana macet. Tapi tidak untuk Winiangsih.
"Masa bodoh, yang penting aku telah temukan idamanku. Dan ia sudah menembakku. Uhh… Cinta, mesranya…" Gerutu Winiangsih dalam hati merasakan es dalam api kemacetan mobil itu.
Derita keadaan sekitar seakan hilang dengan uneg-uneg yang namanya cinta itu. Ia senyum-senyum sendiri dan terkadang juga memeluk Hp-nya dengan gemasnya karena merasa sedang tenggelam di laut cinta. Kursi panas angkutan kota itu yang sudah sekitar satu jam berhenti. Bagi winiangsih terasa seperti kasur empuk. Saat penumpang-penumpang lain sedang gerah dengan keringat mereka, mahasiswi satu ini merasa kesejukan sendiri saat ia mengingat yang namanya cinta. Sebesar inikah kekuatan cinta, benaknya semakin terlarut.
"E…Hhmm, sedang kasmaran ya, Dek?" Tanya seorang Ibu pada Winiangsih yang kebetulan berdampingan dengannya.
Dengan mata terpejam beriring senyum manis Winiangsih menjawab, "Kok Ibu tahu?"
"Ya… orang tahu itu gula, kalau dia juga pernah merasakannya!!'" Jawab Ibu itu dengan nada teka-teki aneh. Winiangsih pun tak begitu paham apa maksudnya. Dan menurutnya pun itu tak terlalu penting. Orang yang sedang dalam lautan cinta bisa lupa segalanya.
Keduanya pun lalu berbincang-bincang tentang masalah masing-masing hingga ahirnya pun sang Ibu itu harus turun lebih dahulu karena rumahnya lebih dekat ketimbang tempat kosnya Winiangsih.
Namun sepertinya raut muka Winiangsih tiba-tiba berubah. Senyum tadi seakan lenyap dari bibirnya. Tangannya tak lagi memegang Hp yang biasanya ia gunakan untuk berhubungan dengan si Dia, cowoknya. Kepalanya seakan merunduk merasakan hal yang baru ia dapat dari Ibu itu. Sepertinya ia sudah terkena hipnotis pelenyap cinta dari Ibu yang ia ajak omong-omong tadi.
Ia turun dari angkutan. Kakinya terlihat lemas tak berdaya. Kekutan  cinta yang tadi memberi tenaga bensin sekaligus pelumas tiba-tiba habis gara-gara korek api kata seorang Ibu di angkutan tadi. Ia masuk kos dengan tubuh lemas. Sihir apa yang sedang melandanya, memindahnya seratus delapan puluh derajat dari tawa menjadi susah.
Winiangsih membanting tubuhnya ke kasur setelah sampai di kamar. Teman-teman kosnya juga agak heran, tumben cewek ini tiba-tiba sembuh, nggak senyum-senyum lagi. Tapi kasihan juga, raut mukanya terlihat susah gara-gara suatu musibah.
"Ada apa, Win?" Tanya Mia, teman akrabnya yang sering ia ajak curhat tentang cintanya itu.
"Diputus pacarmu?" Tambah Mia.
Winiangsih tetap diam saja tak merespon kata Mia. Kayak-kayak Mia merasa bicara sama sebuah patuh yang tergeletak di kasur yang baru saja selesai dipahat. Mia coba menyelundupkan tangannya, pegang Hp temannya itu, mengambilnya dan ingin mengetahui baru diapakan pacarnya sih hingga membuatnya mematung tak mau bicara.
"Eitz.., mau ngapain kamu?" Sahut Winiangsih tiba-tiba setelah merasa Hp di tangannya ada yang mau mengambil.
"Oo.. Masih hidup toh kamu. Tak kira udah jadi patung?!" Jawab Mia jengkel pada tingkah laku Winiangsih.
"Habis diputus ya?" Lanjut Mia bertanya pada temanya itu.
"Nggak…!" Jawab Winiangsih lemah.
"Terus …!?"
"Aku tiba-tiba aja ragu pada cintaku…" Lanjut Winiangsih menjabarkan sebab sedihnya itu.
"Ragu gimana maksud lo…?"
"Ya… ragu, ragu dia bisa setia atau nggak?" Lanjut Winiangsih sambil memegang Hp-nya. Menatapnya seperti cermin.
"Aku kan dulu pernah diputus pacarku! Rasanya sakit, Mi..,!? Kok bisa-bisanya aku percaya pada orang yang tak pernah aku kenal di alam nyata, cuma lewat fb aja. Aku ragu Mi..!" Jelas Winiangsih.
Mia terperangah mendengarnya. Ia terlamun tak berkata dan hanya bisa melihat Winiangsih curhat tentang pacarnya, sambil meletakkan dua punggung tanggannya ke dagu.
"Oo.. Gitu ya!" respon Mia tiba-tiba.
"Terus??"
"Terus apa maksudmu?"
"Ya pacarmu lah, Win…" Tegas Mia meminta pendapat Winiangsih.
"Tak tahulah. Apalagi dia juga agak tampan orangnya, kata temen-temenku dia juga pandai. Pastilah banyak cewek yang naksir. Aku jadi ragu pada dia."
"Bukannya kemarin katamu dia sudah janji mau setia??"
"Yah… sekedar janji. Laki-laki itu tak bisa dipegang janjinya Mia…!" Gerutu Winiangsih sambil tiba-tiba ia menangis mengeluarkan air mata.
”Kok nangis sih…?" Sahut Mia merasa aneh melihat Winiangsih yang tiba-tiba menangis.
"Heh…heh…ehg…ehg…! Kamu tak tahu rasanya putus cinta Mi…" Lanjut Winiangsih menangis tersedu-sedu.
"Sakit sekali, Mi, sakit…!"
"Terus berarti kamu mau putus sama pacarmu??" Lanjut Mia
"Wuuaaaaa…. !" Winiangsih mengeraskan tangisnya sambil mengusap matanya dengan seprai yang berada di samping batal kasur.
"Lho…lho…lho… jangan menangis kayak gitu, malu dong ah sama orang!?" Mia mencoba menenangkan perasaan Winiangsih.
"Dia juga kemarin katanya nge-add kamu supaya bisa tanya-tanya tentang aku."
"Ya, udah tak add dia jadi temenku…," Mia menjawab sambil mengelus rambut waniangsih.
"Orang aneh kayak gitu kok bisa seneng sih, kamu?" Tambah Mia bertanya.
Suasana semakin agak tenang. Tangis Winiangsih berangsur-angsur reda. Namun perasaannya tak lagi seperti dulu. Apakah dia diputus, serpertinya tidak juga. Ia malah jadi ragu setelah itu untuk menjawab pesan-pesan facebook cowoknya. Apalagi orangnya juga bahasanya aneh, sulit untuk dipaham. Itu yang membuat Winiangsih semakin menjadi ragu dengan semua itu. Katanya sih dianya nggak pernah pacaran. Apa benar itu, masak cowok seganteng itu tak pernah pacaran. Sembilan puluh persen bohong. Sudahlah jangan balas dia lagi biar kehidupannya adalah kehidupannya dan kehidupanku adalah kehidupanku.