Sang Pemberontak
Aku ayun
sepedaku dengan hati kalut seakan pusat tubuhku terserang virus ketakutan.
Pasalnya teman-teman kemarin sore memberi kabar pedas padaku jikalau hasil
rapat yang mereka lakukan adalah akan menyidang aku di depan Waka. Kucoba
tenang dengan semua keaadaan, kukatakan pada hatiku untuk jangan takut. Kumotivasi
dia untuk tetap tegar karena aku yakin artikelku yang kutempel di kelas-kelas kemarin
mempunyai tujuan baik, hanya saja mungkin sebagian dari mereka ada yang merasa
terhina atau bahkan tersakiti oleh isinya.
Pedal sepeda kuinjak
selirih bergantian dengan dua kakiku. Genggaman tangan kuperkuat memegang besi
tua berlumur karat itu. Kuangkat dahiku, kupandang ujung jalan sambil kupercepat
laju sepedaku menenangkan situasi hati yang yang kalut akan kemungkinan apa saja yang akan terjadi hari
ini. Walaupun kemungkinan besar
berdampak negatif padaku. Ditambah saat kulewati desa tempat tinggal
sang ketua OSIS, kulihat ia berpaling muka dariku seakan berisyarat tentang
kebenciaannya padaku. Tapi aku cuek saja, aku bilang dalam hatiku untuk tetap
tegar menghadapi mereka. Jangan takut, karena kebanyakan siswa pun mendukungku,
dan kalaupun ada yang menentang karyaku yang kucoba tuang dalam artikel
kemarin, mereka adalah para pengurus-pengurus yang mungkin terbakar hatinya
dengan mantra-mantra dalam artike itu.
Aku sampai di
sekolah. Pelajaran pagi pun berjalan seperti biasanya tanpa ada yang berubah,
hanya saja aku dan teman sebangkuku Amin namanya tak lagi membicarakan
pelajaran akan tetapi membahas tentang keadaan terdesakku yang akan disidang
oleh anggota-anggota OSIS nanti. Amin dan Muslimin, dua orang temanku yang
mendukungku waktu itu. Kucoba mencari taktik bersama mereka untuk melawan
kucing-kucing OSIS yang sedang terbakar ekornya. Pelajaran berganti menjadi
hujan desas-desus ide-ide konyol untuk mematahkan gugatan mereka yang salah
satunya tentang artikelku dan tentunya aku cari alasan untuk menguatkan
pendapatku kenapa aku berani mengeluarkan artikel jenis monster itu.
Ide-ide bodoh
datang menghiasi kepala mengisi perdebatanku dengan teman sebangkuku, hingga
tiba-tiba datang selembar kertas yang berisi berita mendebar bercampur khawatir
datang dengan taring tajamnya kedepanku. Surat dari Waka sekolah. Kubaca surat
hitam panggilan itu dan setelah kubaca ternyata benar apa yang dikatakan
temanku kemarin tentang persidangan itu. Kupahami betul-betul surat menjengkelkan
itu hingga sampai sekarang pun masih teringat. Kuingat akan kata-kata pedas di
dalamnya, seakan kebencian tercermin dari aura kertas bermasalah itu. Suatu
pembuka surat yang menjengkelkan jika kukomentari lembaran itu, dan kini pun
masih terniang dalam benakku gambaran suram waktu itu, seakan perbuatan mereka
kubayangkan bagai menusuk-nusuk hatiku dari dalam dengan pisau jejeran kata pedas.
Tapi ingat, ini bukan surat cinta akan tetapi surat panggilan untuk disidang
karena aku kemarin menulis artikel, memprotes cara kerja pengurus yang kurang
baik menurutku.
Badanku kutegarkan.
Kusikapkan diriku sebagai laki-laki jantan yang bertanggung jawab atas apa yang
diperbuat. Kumulai menjalankan rencana-rencana yang tersusun tadi. Kuundang
semua perwakilan kelas yang mendukungku dengan tujuan memperkuat posisiku.
Mereka sebenarnya banyak tapi jika kubawa semua takut nggak muat nanti, jadi
perwakilan saja, walau ternyata setelah kulihat kebanyakan perwakilan itu pun adalah
anak-anak yang ndluyo (nakal). Hal itu karena mereka merasa diberlakukan
tidak adil sehingga untuk mengungkap perasaan mereka, mereka bergabung denganku
karena salah satu tujuan dari apa yang kulampirkan dalam artikel adalah
membentuk organisasi yang mengaspirasikan pendapat-pendapat siswa.
Aku berjalan layaknya
ketua geng yang hendak tawuran, hanya saja tawuranku tidak memakai batu atau
pun kayu ataupun sejenis benda-benda tajam lainnya, itu kuno. Tawuranku berbeda
dari itu karena yang kulempar tidak batu tapi meriam argumen dan bantahan akan
kebenaranku dalam menulis artikel kemarin. Para pendukungku kulihat seakan
bersenang dengan apa yang kami lakukan, padahal di sini, di hati ini adrenalin sudah
mulai tak sabar menggrogoti ketakutan menggetarkan tubuhku. Aku sebenarnya
takut.
Aku harus tetap
tegar dengan semua itu karena aku adalah tembok utama dalam peperangan ini.
Jika aku roboh bagaimana jadinya nanti?Dengan hati linglung terpaksa kudatangi
tantangan mereka dengan serdaduku. Aku akan berperang dengan tetua-tetua yang
terbentuk dalam barisan lebel OSIS itu.
Ke Musolla, itu
tempat yang dijanjikan lembaran hitam itu. Kubawa serdaduku selayak magnet yang
menarik pernik-pernik besi ke kutub-kutubnya. Setelah sampai, kududuk santai
menikmati kekalutan itu sambil menunggu para musuh yang belum datang, biasa, budaya
Indonesia selalu molor. Kuingat waktu itu aku duduk menghadap kiblat karena
memang tempatnya di musolla, jadi nggak salah jika kukatakan menghadap kiblat.
Aku dudukkan
tubuhku yang beraroma kekhawatiran itu. Para tentara lawan pun belum juga
datang walaupun sudah ada satu atau dua yang sudah ada di tempat, tapi kan
sedikit, buat apa menghukumi perkara yang sedikit. Sedikit itu bagai tidak ada.
Kembali, teman-temanku berdatangan ingin mendukungku. Kuingat Muslimin, ia
berada di kiriku dan Amin berada di kananku dan yang lain berposisi porak-poranda
tidak teratur di belakangku.
Mereka datang.
Satu persatu memposisikan tempat mereka masing-masing. Kulihat sang ketua OSIS
dan ketua Ambalan pramuka duduk berjejer di tengah para anggota OSIS, disertai
sang Waka sebagai pusat dari lengkungan yang mereka bentuk selayak busur panah,
yang siap melepaskan anaknya tetkala musuh lengah. Sedangkan aku, kupikir
bayangkan saja gambaran Syekh Siti Jenar yang disidang oleh Walisongo, tapi
masalahku ini adalah masalah duniawi bukan masalah ukhrowi.
Jikalau
tidak salah, waktu itu ketua OSIS yang membuka acara. Tentunya sedikit banyak menyinggung
akan isi artikelku dengan kata-kata pedasnya. Setelah selesai berceramah aku
pun diberi kesempatan untuk berbicara. Tapi sebelum aku berbicara aku suruh
Muslimin untuk membacakan selembar artikelku yang baru kubuat pagi itu juga,
dan tentunya menyinggung tentang kebenaranku. Jika kau bawa api maka akan
kubawa air untuk keseimbangan. Kubayangkan waktu itu seakan keresmian dan
kekuatan berbicara berada di pihakku.
Muslimin
pun membaca dengan gaya spesifiknya dengan mimik kekesalan dan keinginan untuk
bertindak. Setelah ia selasai membaca artikel itu, kini giliranku. Dengan hati
yang sudah mulai terbakar kubuka pendapatku satu persatu. Kuberalasan tentang
pandapat ini. Kukuatkan kenapa aku bertindak seperti ini. Aku membantah kenapa
mereka mengatakan seperti ini-itu dan yang lainnya, yang berintikan menguatkan
penadapatku. Kucari kesalahan-kesalahan mereka dan mulai menghujam mereka
dengan berbagai meriam-meriam tanda tanya akan tindakan-tindakan salah mereka. Karena
saking semangatnya, amarahku mengaung semakin terbakar. Apalagi setelah aku
ingat dengan kata-kata konyol "OOT" (Omong-Omong Tok[1]),
hatiku lebih tersayat. Seakan aku ingin melepas cambuk lidahku untuk menikam
kata-kata pedas yang ditujukan pada aku itu dan teman-teman seperjuanganku.
Aku
merasa marah benar karena kata itu. Kami yang sudah bersusah payah tidak
dihargai malahan dihina seperti itu. Kutambah pendapatku dengan kekuatan
bom-bom penjelasan tentang apa saja yang selama ini aku lakukan yang mungkin
menurut mereka salah. Kuingat saat itu aku sebagai ketua kegiatan Pelatihan Menejemen,
aku tidak mengundang satupun dari kakak kelas, kulemparkan geranat bom alasan
bahwa aku ingin membuktikan bahwa kami bukan OOT yang kalian ucapkan. Ruangan
waktu itu seakan menjadi medan tempur antar mulut ke mulut, melampiaskan amarah
masing-masing. Mereka pun menghujamku dengan alasan aku iri pada ketua OSIS
karena aku kalah dalam pemilihan manjadi ketua, sehingga mereka memutar alasan
bahwa aku membentuk organisasi baru agar aku bisa menyaingi ketua OSIS.
Kericuhan
bertambah hingga akhirnya sang Waka turun campur ke medan perang. Ini yang
kutakuti. Jika aku menang aku akan mendapat cap jelek sebagai murid yang
melawan guru. Jika aku kalah, keinginanku tidak akan tercapai. Kulihat
teman-temanku berdiam mengunci mulut mereka kala harimau satu ini datang, dan
tinggal aku yang bertahan dalam kebimbangan itu mempertahankan benteng
pertahanan. Ruangan semakin panas terbanjiri hujatan-hujatan antara aku dan
Waka. Aku semakin terdesak dengan keadaanku yang kian terjepit dalam jurang
hujatan itu ditambah, peluru kata-kataku yang sudah banyak kulempar sehingga
aku kesulitan mencari kata-kata penguat pendapatku. Aku semakin terjepit dan
terjepit dengan keadaan, hingga pada akhirnya bom bunuh diri kulontarkan di
antara tank-tank panas itu.
Aku
keluar dari OSIS. Itulah senjata terahirku. Aku yang dulu dipilih sebagai
anggota OSIS dan aktif dalam berbagai kegiatan sekarang akan mengundurkan diri
dari jabatan. Aku tidak akan lagi ikut campur tangan untuk membantu para
pengurus sekolah. Aku sudah tertusuk sekarang dengan tingkah 'Air susu dibalas
dengan air tuba' mereka. itulah peristiwa yang menyakitkan yang bisa aku
hujamkan untuk mengahiri semua. Seakan perjuanganku selama itu luntur oleh bom
bunuh diri ini.
Hatiku
tersayat dengan semua itu. Hari-hariku selanjutnya berjalan ambigu, yang
dulunya aktivis Full Time kini tersia-sia terbuang dalam
kekalutan. Kurasakan bagaiman rasanya saat jatuh dan dibenci oleh teman-teman
perjuangan. Hari-hari saat aku bertemu mereka tak seperti dulu sebelum
peristiwa ini terjadi, seakan jurang hati telah runtuh lebih dalam memisah
antara aku dengan mereka. Aku tak lagi aktif sebagai pengurus dan tiada jalan
lagi waktu itu selain aku harus lebih sungguh-sungguh dalam pelajaran.
Baiklah
aku mundur dalam panggung kepengurusan tapi aku takkan mundur dalam panggung pengetahuan.
Aku akan berusaha mengobati lukaku waktu itu dan terniang dalam kepalaku untuk
membentuk suatu kelompok belajar kecil. Selanjutnya Alhamdulillah, aku
masih punya teman-temanku sekelas yang lain yang bisa kuajak berdiskusi
walaupun bukan lagi para anggota OSIS. Kubentuk kelompok belajar bersama mereka
dan berdiskusi dengan mereka. Kuberi
nama kelompok ini dengan sebutan "DEWAN" dalam artian Dewasa,
Berwawasan, dan Antusias untuk maju. Kelompok ini sengaja dibentuk selain untuk
jangka pendek menghadapi tes-tes pelajaran, juga untuk jangka panjang
menghadapi ujian ahir sekolah. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Kutahu manfaat
kelompok ini setelah di ahir-ahir masa ujian sekolah ternyata mapel ujian
ditambah menjadi lima. Dulunya tiga, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan
Matematika saja, sekarang ditambah dengan Fisika, Biologi, dan Kimia. Ya karena
aku orang IPA, jadi tambahannya pun juga IPA. Aku pun tak terlalu kaget untuk
menghadapi ujian setelah itu karena sudah ada persiapan belajar diskusi
bersama, mulai aku keluar dari kepengurusan OSIS.
Dari
peristiwa-peritiwa itu aku seakan bisa merasakan sadar, kenapa Ronggo Lawe
memberontak pada Majapahit, mengapa Mustofa Kamal Attatruk memberlakukan bangsa
Turki dengan aturan bodohnya, dan yang lebih terkesan dalam hatiku adalah aku
seakan mendapat kunci pengetahuan baru yang mungkin tidak akan kudapat tanpa
peritiwa itu, 'Sang Harimau tak akan bangun dari tidur pulasnya hanya dengan
disenggol halus, tapi sang Harimau itu akan bangun, marah dan kemudian
bertindak manakala dibangunkan dengan pukulan'. Setelah itu kulihat para aktivis-aktivis
OSIS lebih giat dari sebelumnya dan mereka kemudian merubah nama OSIS menjadi
OPMA (Organisasi Pelajar Madrasah Aliyah).