Menu

Minggu, 30 September 2012

Cerpen - BIBIT KALIJOGO


BIBIT KALIJOGO
Oleh : Mohamad Bejo

Siti Jenar terlihat tenang-tenang saja. Raden Patah dan Sembilan Wali tampak mengepungnya sebagai orang yang terdakwa. Suasana Masjid seakan bernuansa panas, penuh rahasia. Hembusan Angin malam itu tampak membisu. Heningan hati-hati suci para wali bersenandung dzikir sayup-sayup menyela suasana. Tampak seorang berjubah sufi dengan ikat imamah di kepalanya sedang tegar duduk bersila di tengah majlis dengan goyangan kaki merah, yang menjadi julukannya ketika menginjakkan kaki itu di tanah. Siti Jenar, si tanah merah sedang disidang masjlis Wali karena terdakwa sebagai biang keladi keonaran aqidah wahdatul wujud.
Wahdatul wujud, sebuah kaidah sufiah yang berteori rancu di luar akal orang awam. Inilah sumber malapetka kerajaan Demak pertama yang baru lahir setelah keruntuhan Majapahit dikarenakan peperangan saudara. Orang awam yang tak cukup akal untuk menerima dan memahami akan merespon salah-kaprah teori setengah iblis ini. Pengumbaran nafsu, itu juga hasil ahir dari tujuan Iblis melesatkan kaidah berjubah malaikat ini. Butuh intelejensi yang kuat untuk memahami konsep sufi satu ini, atau bahkan di kalangan sufi sendiri ajaran ini termasuk ajaran yang terlarang. Karena mengandung unsur kemusyrikan menyekutukan Tuhan. Walau memang jika direka-reka dengan kata, seakan konsep ini benar tak menyalahi agama. Tapi siapa yang tahu jika di balik jubah agama itu ada ide Iblis yang menelusupkan belatinya untuk menusuk dan menyayat keimanan di hati. Apalagi Siti Jenar mengibarkan bendara wahdatul wujud-nya di saat-saat kerajaan Demak baru terlahir. Kerajaan yang baru saja ingin menghindari percekcokan Majapahit dalam masa-masa terahirnya, akan tetapi setelah baru saja belajar menyusu tiba-tiba ada keributan, yang ditimbulkan yang tidak lain dari pemuka agama sendiri. Lebih terasa tragis lagi kalau korbannya adalah orang awam yang tak tahu-menahu tentang makna dan efek teori setengah iblis itu.
Hantaman hujjah mengepul di surau Masjid. Siti Jenar dengan kelihaiannya membual alasan-alasan tindakannya. Sudah jelas salah akan tetapi masih berjilat lidah, inikah watak anak Ibu pertiwi? Sembilan Wali merasa gerah dengan tingkah laku satu ulama ini, Siti Jenar, yang sudah layak sampai ke tingkat wali. Bagaimana bisa dan tega ia menjerumuskan orang-orang awam ke jurang nista yang berluap bara neraka. Orang yang tak tahu-menahu harus ikut-ikutan tersiksa lantaran keteledoran satu ulama yang nyeleneh dari jalan Syariat.
Jikalau Siti Jenar berfikir sendiri kemudian menyimpannya dalam hati tanpa harus mengedarkan racun itu, mungkin bisa dimaklumi sebagai prosesnya dalam mencapai kesempurnaan suluk-nya pada sang Pencipta. Atau paling tidak kesesatan itu hanya sebatas pada dirinya sendiri saja, tak merembet ke hati orang lain. Jika ingin masuk neraka masuk saja sendiri jangan ajak-ajak, tapi Siti Jenar telah menyebarkannya. Itu yang membuat dia harus dimusuhi oleh wali-wali lain.
Deras genjatan hujjah memanas. Para Wali tengah kewalahan menghadapi penjilat model ulama ini. Raden Patah hanya bisa diam melihat guru-gurunya saling berdebat sengit. Ia tak bisa membela atau menyalahkan orang-orang yang telah membimbingnya dan mengangkatnya sebagai raja pemegang tahta pertama kerajaan. Siti Jenar terlalu lihai untuk permasalahan ini sehingga walau dia nyatanya salah, ia masih bisa berbelok arah untuk mencari alasan.
Persidangan pun tak berpihak pada Siti Jenar sebagai pemenang. Tampak satu orang aneh yang berpakaian beda dari yang lain dengan blangkon Jawa di kepalanya meladeni Siti Jenar dalam perdebatannya. Sesekali Siti Jenar berhujjah, ia balikkan hujjah itu dan menukik dengan kesalahan dari ucapan Siti Jenar dalam mengaplikasi syariatnya. Rompi jawa berbelang hitam coklat mengisyaratkan satu orang ini mempunyai kemampuan lain dalam kepribadiaanya. Tidak seperi Wali-wali lain yang memakai imamah ala Timur Tengah di kepalanya. Suatu kejanggalan aneh yang istimewa dari seorang wali berpangkat dalang ini.
Kalijogo, sebuah gelar yang ia dapat setelah tirakatnya tiga tahun bertapa di tepi sungai menunggui sebuah tongkat amanat dari Sunan Bonang, gurunya. Bekas perampok yang bergelar "Brandal Lokajaya" ini walau tak memakai atribut Timur Tengah sebagai tanda kewaliannya, namun pengaplikasian syariatnya tak pernah melenceng dari kaidah agama yang sah, dan bahkan menyumbang simbangsih besar dalam penyebaran Islam di pulau Jawa, dengan metode dakwahnya wayang, yang dapat menarik kalangan-kalangan awam dengan mudah tanpa harus banyak membantah.
Ia tampak meladeni Siti Jenar berdebat. Hujjah-hujjah si Tanah Merah itu dapat ia tangkis dengan dalil kebenaran dalam menyeimbangkan syariat, thoriqot, dan haqiqat. Matanya terlihat meruncing serius menunggu umpan balik dari Siti Jenar dalam berhujjah. Siti Jenar sendiri ahirnya pun kewalahan menghadapi Sunan Kalijogo. Walau begitu para Wali sebenarnya pun menunggu saat mungkin Siti Jenar mau bertaubat dari tindakannya itu.
Siti Jenar terlalu keras kepala. Ia tetap mempertahankan I'tiqad wahdatulwujud-nya walau dia sudah terbukti salah. Suatu tindakan yang selayaknya harus dijauhi oleh seorang yang dipercaya dalam agama. Sudah tahu itu salah, namun masih keras kepala. Ahir dari cerita, Siti Jenar pun harus berkalung maut di pemancungan karena difonis dengan tindak kemurtadannya.
*****
Terdengar sebuah alarm Hp berbunyi dari sebuah saku laki-laki yang terlihat berpantat besar. Celana dan jasnya menunjukkan bahwa orang itu bertitel intelek. Sebuah tangan besar terbungkus lemak meraba-raba seluruh tubuh, mencoba mencari dari saku mana Hp itu berbunyi. Pecis hitam kelam yang tak punya suara ikut-ikutan diperikasanya sebagai terdakwa yang dicurigai.
"Hanya sms!"
"Dari siapa, pak Yanto?" Tanya Dedi pada lelaki gemuk pemilik Hp yang baru saja berbunyi itu.
Pak Yanto, sarjana Ekonomi yang kini telah bergelar doctor. Hari ini kebetulan ia sedang tak ada acara jadi ia buat saja untuk mengunjungi, bertamu ke rumah kiainya. Pak Yanto terdiam. Sejenak ia pandang Hp-nya. Hp di tangan gemuknya terlihat seperti mainan kecil anak-anak saja. Tak lama melihat isi Hp, Keningnya tiba-tiba mengkerut. Mulutnya melebar masam seakan baru saja terinfeksi virus-virus susah.
"Oh.. ini dari Khumaidi yang di Mesir. Katanya ia akan dievakuasi karena adanya demonstrasi di Mesir yang semakin memburuk" Jawab pak Yanto mencoba menerangkan nasib keponakannya yang sekitar tiga tahunan ini belajar di tanah Pyramid itu.
"evakuasi apa maksudmu, pak?" tanya kiai Anwar yang tengah duduk tepat di depan pak Yanto.
Kiai Anwar, lelaki setengah tua dengan pakaian putih lengan panjang, bersarung batik ala Samarinda dan pecis putih hajinya. Ia tiba-tiba terlihat lebih murung dari pada pak Yanto saat mendengar jawaban pak Yanto. Kiai pondok Miftahul Falah itu merasa terhungus hatinya dengan ungkapan-ungkpan pak Yanto. Dia tak percaya jika khumaidi dievakuasi dan dipulangkan lagi di Indonesia. Khumaidi adalah anak pandai dan terpelajar. Kiai Anwar berharap suatu saat Khumaidi dapat menjadi penggantinya. Kemarin, sebelum ia berangkat ke mesir, keluarganya baru saja meminang putri kiai Anwar. Harapan hatinya, khumaidi, menantunya nanti bisa meneruskan perjuangan pondoknya. Namun jika Khumaidi pulang di tengah perjalanan mencari ilmunya itu berarti ilmunya masih tidak cukup matang untuk bisa diandalkan. Evakuasi itu akan memutus belajarnya.
Suasana ruang mosalla tempat mereka berada terdiam sejenak. Azizah dan ibunya yang berada di balik satir tempat wanita ikut-ikutan sedih. Anak ibu itu saling memeluk satu sama lain mencoba saling menguatkan rasa sedih mereka. Ruang musolla pribadi berukuran enam kali enam meter itu berubah haluan menjadi ruang sedih.
Lima orang di ruang itu. Pak Yanto, si sarjana ekonomi. Kiai Anwar, pengasuh pondok, Dedi, santri sekaligus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi, ditambah lagi Azizah putri pak Kiai dan ibunya.
Mereka sengaja berkumpul di musolla itu setelah tiba-tiba ada kabar setan yang mengganggu pemikiran sebagian anak-anak muda. Apalagi katanya desas-desus itu berasal dari sekolah perguruan tinggi yang notabennya agamis. Seperti iblis yang meminjam jubah malaikat untuk menipu. Azizah kebetulan juga belajar di perguruan tinggi itu. Ia pertama bimbang tentang adanya pemikiran-pemikiran aneh yang sedang tenar di kuliahnya. Karena merasa tak menemukan jawaban yang pasti ia coba bertanya pada ayahnya yang notabennya sebagai kiai pondok yang berpengalaman tinggi dalam agama.
Serentak kiai Anwar terkaget saat Azizah menanyakan masalah itu. Ia tak percaya bahwa ada pengajar agama yang nyelewah[1] sejauh itu dari tuntunan syariat. Kiai Anwar terlihat seperti kehantuan setelah mendengar kabar Azizah tentang pelencongan aqidah di perguruan tingginya. Ia tak menyangka betul ada iblis di balik sutra agama. Karena merasa penasaran dengan kebenaran itu maka sengaja kiai Anwar, pengasuh pondok, mengumpulkan lima orang itu. Dedi sengaja dipanggil karena dia juga menimba ilmu di perguruan itu. Sedang pak Yanto, sarjana ekonomi itu, karena dia adalah orang berpendidikan yang dekat dengan pak Kiai, maka sengaja ia juga diundang.
Kiai Anwar menggeleng kepala. Seakan tak percaya dengan dengan kabar itu namun kenyataan telah membuktikannya. Beribu perasaan takut mulai menghujani hatinnya. Ia bayangkan bagaimana nanti jika umat terserang virus setan ini. Bayangan api seakan dapat ia rasakan dalam raut mukanya saat membayangkan lidah-lidah penganut sesat itu meneror pemikiran-pemikiran kaum muda. Pemikiran yang hanya berambisi untuk pemuasan. Pemikiran yang mlenceng dari jalan para pendahulu yang berjuang mati-matian menegakkan Islam. Sepintas terlintas dalam benak kiai Anwar cerita tentang Walisongo yang telah menyebarkan Islam di bumi pertiwi ini. Ia merasa sedih jika sebagai penerus dari ajaran Walisongo, ia tak mampu lagi mempertahankan pendirian-pendirian mereka.
Pak Yanto tampak sibuk sendiri dengan Hp-nya. Tombol-tombol Hp itu ia pencet seakan menimbulkan music, mengiringi kekhawatiran kiai Anwar. Suasana tegang diam menghiasi musolla itu. Detik jam yang sebelumnya terdengar diam seakan semakin mengeras, berbunyi mengikuti lantunan pejetan tombol Hp pak Yanto.
"Pak Yanto!" Tegur kiai Anwar pelan yang merasa geram dengan ulah teman gemuknya itu yang malah bermain-main Hp di saat-saat lagi serius.
"E..e.. iya pak Kiai!" Jawab pak Yanto gugup, "Ini saya lagi lihat-lihat foto-foto Khumaidi di Mesir. Kemarin dia kirim ke saya foto-foto lewat internet!" Lanjut pak Yanto mencoba beralasan agar tidak disalahkan dengan tindakan kekanak-kanakan itu.
Ia lalu tunjukkan foto-foto Khumaidi pada kiai Anwar, agar tahu keadaan calon menantunya. Pak Yanto menjelaskan satu persatu tempat-tempat di mana Khumaidi sedang berfoto. Ia tunjukkan foto saat berada di samping piramida. Ia tunjukkan foto kota Kairo, sungai Nil dari langit dan juga tempat-tempat kuliah Khumaidi di Al Ahzar. Dia tunjukkan saat Khumaidi berpose di depan gedung kuliah. Di saat-saat pelajarannya, foto-foto bersama guru-guru dan masyayih-nya di Mesir, dan lain-lainnya.
"Tunggu sebentar!" Pinta kiai Anwar mendiamkan penjelasan pak Yanto sambil mencari gambar Khumaidi saat bersama dengan guru dan Masyayihnya.
"Dedi! Tolong ambilkan foto Walisongo yang berada di lemari depan dekat pintu!" Perintah pak Kiai tiba-tiba. Merasa ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan. Dedi pun bergegas bangun dan mengambilnya. Mengambil sebuah foto rekaan orang-orang yang berjasa besar di Indonesia, Walisongo.
Dedi kemudian menghaturkan foto yang ia ambil itu pada kiai Anwar. Kedua tangannya menyerahkan foto itu dengan lembut dan penuh sopan santun, suatu tanda penghormatan kepada yang lebih tua, suatu penghormatan pada seorang guru yang telah berjasa baginya. Kiai Anwar kemudian mengambil foto itu dari tangan muridnya yang terlihat lugu tapi berbakti itu. Ia pandang foto itu dengan mata tajam. Lalu ia ambil Hp dari tangan pak Yanto. Ia jejerkan foto Khumaidi bersama guru-guru dan masyayihnya dengan foto Walisongo yang berada di tangan kirinya. Kiai Anwar tiba-tiba berdiri dengan gaya curiga memandang foto itu. Ia bawa foto itu ke dekat jendela musolla agar lebih jelas gambar dari kedua barang itu.
"Kenapa pakaian mereka berbeda?" Tanya kiai Anwar membuka kecurigaannya, "Baju dan ikat kepala Walisongo ini berbeda dengan yang berada di foto Khumaidi dengan gurunya di Mesir??"
"Kumis dan jengggot mereka berbeda? Berarti mereka bukan dari Mesir. Kekuatan mereka juga bukan kekuatan alam Mesir?!" Lanjut kiai Anwar, "Lalu, dari Timur Tengah mana mereka?"


[1]  Nyelewah; berlainan.

Cerpen - SERDADU MEGA


SERDADU MEGA
                                                                  Oleh :Mohamad Bejo
Raut wajah Setyo terpaku diam. Ia rundukkan kepalanya seraya memegang pecis kecil kumal yang terlihat tua, yang berada di kepalanya. Tongkat gembalanya ia sandarkan di samping batu besar di bawah sebuah pohon beringin rindang yang tumbuh di sebuah tanah lapang, ujung selatan desa Jatirogo. Suara kambing riuh piuk di sekelilingnya melantun bagai musik rok yang tak beraturan menghiasi dendang telinganya. Sesekali kambing-kambign itu ia bentak untuk diam karena geram, tapi ia pun sadar bahwa mereka hanya seekor hewan tak berakal, yang hanya befikir untuk memuasakn nafsu-nafsu mereka saja. Setyo termenung dalam lamunannya. Baju kokok tebal model tua dengan peniti bulat tebal besar menunjukkan bahwa laki-laki ini pernah muda sekitar tahun tujuh puluhan yang lalu. Celana hitam tiga perempat mirip pendekar dengan warna kulit kaki hitam kelam mengisyaratkan bahwa langkahnya telah banyak menerpa luka-luka kehidupan.
Setyo, lelaki penggembala kambing yang beumur sekitar lima puluh delapan tahunan. Seorang pria tua yang tengah menghabiskan masa tuanya bersama kambing-kambing gembalaannya. Pria yang ditinggal mati istri dan dua anak nya sekitar sepuluh tahun yang lalu, saat seluruh penduduk desa berondong-bondong mengamuk menuju rumahnya dengan obor-obor amarah menuntut pengembala kambing itu untuk turun jabatan waktu itu dari kursi lurahnya. Amukan masa yang biadab malam itu membuat ia dan semua keluarganya ketakutan dan kaget setengah mati.
Lemparan-lemparan batu dari jalan menghujani rumahnya, menghancurkan hampir semua kaca rumah yang ia bangun dengan jerih payahnya selama ini. Tak berhenti sampai disitu, lemparan batu itu berubah menjadi leparan obor-obor api yang menghujam, selayak api sihir yang datang menyantet di tengah malam. Dengan tak terelakan semua harta dan rumahnya yang ia timbun selama ini hancur ludes dalam satu malam, hanya karena kebodohannya yang pernah ia lakukan pada penduduk desanya. Riuh piuh gertakan beribu mulut penuh amarah  membludak mendengung di telinganya, seakan terekam jelas sampai waktu tuanya. Rendo anak sulungnya yang kebetulan kamarnya berada di lantai atas mendapat nasib sial pertama, setelah segenggam batu sebesar kepalan tangan melayang menyelinap memecahkan kaca jendela lalu mencium kening Rendo dengan meninggalkan sebuah bingkisan kematian. Nyawanya pun harus jadi tumbal kebiadaban malam itu.
Namun tumbal itu ternyata berantai kepada Lastri, istrinya. Saat mendengar jeritan Rendo dari kamar, istri lurah itu lekas berlari menuju kamar anaknya, namun pecahan-pecahan beling telah menghiasi baju Rendo yang telah  terkapar tanpa nyawa di tengah kamar dengan bekas lingkaran yang mengecap di keningnya. Hal ini membuat istri Setyo yang waktu itu disebut ibu lurah turut ikut mati kaget karena tak kuat melihat keadaan anaknya. Ia terkaget dahsyat hingga tak mampu menahan goncangan jiwa. Ia seketika pinsan dan tak pernah sadar hingga harus berahir dengan dua ukiran batu nisan antara anak dan ibunya. Tinggal Nisa anak putrinya yang masih selamat dari kebiadaban waktu itu. Namun Bapaknya sekarang bukan lagi konglomerat seperti dahulu, sehingga rela atau tak rela, harus berkompor kayu dan bergiling batu.
Hal itu pun tak berlangsung lama karena Nisa tiba-tiba saja sakit parah dan Setyo tak punya apa-apa untuk mengobati putrinya. Beribu tangan ia tengadahkan di setiap pintu-pintu rumah. Ia berharap mungkin bisa mencari tambahan uang untuk obat putrinya, akan tetapi tuntutan harga rumah sakit menuntut harga yang jauh lebih tinggi sehingga receh-receh itu terasa tak berarti. Ia pun bertekad mencari bank atau teman yang mungkin bisa dimintai pinjaman, akan tetapi putri Setyo itu terlalu tergesa-gesa untuk menemui ibu dan saudaranya. Saat ia sampai di pintu rumah sakit ia lihat sebuah meja berjalan dengan bungkusan kain kafan yang sekilas terdesir dalam benaknya Setyo bahwa itu adalah putrinya dan ternyata benar apa yang disangkanya.
Berbondong mobil pawai melintas dijalan dekat tempa Setyo mengembala. Terlihat sorakan-sorakan ajakan politisi untuk memilih mereka yang sedang saling berebut kursi. Sebuah sayembara untuk memilh para pencuri berdasi. Hamburan kertas berhamburan membuyar menghiasi pawai pemilu itu seperti hiasan kembang api yang meletus dengan meriahnya ditambah lagi gembar-gembor para mulut yang tersuap kertas lapis nol bersusun. Setyo menatap iring-iringan komponi salah satu calon pemilu itu. Ia runtut pandangannya menyaksikan pawai dari ujung selatan jalan sampai ujung utara hingga hilang tak berbayang. Ia kemudian mengalihakn pandangannya ke arah kambing-kambing yang juga ikut-ikut bergembar-gembor dengan bodohnya. "DIAM KALIAN!!" itu kata yang mungkin bisa memuaskan Setyo ketika merenungi nasibnya bersama para kambing.
Apakah orang-orang besar itu ditakdirkan sebagai pembuat onar. Setyo mulai menangisi perjalanan hidupnya. Ia teringat pada anak dan istrinya yang telah menjadi korban atas kelalaiannya. Beribu perasaan bersalah menghantuinya jika mengingat malam biadab itu. Ia sekarang kesepian hidup sendiri bersama kambing-kambing paiaraannya, mungkin mereka yang akan menemaninya saat ia tubuhnya telah berbau tanah kematian.
Setyo mencoba mengangkat matanya kembali melihat ke arah jalan raya bekas lewatan pawai pemilu itu. Ia mulai berfikir tentang kodrat kedudukan manusia di bumi ini. Sebagian dari mereka berada di atas dan sebagian yang lain berada di bawah. Aura-aura semangatnya saat ia masih bergelut dalam politik seakan merebah sedikit demi sedikit memasuki tubuhnya. Getaran jiwa yang pernah ia rasakan saat harus menundukkan saudara yang kemudian jadi musuh dan merangkul musuh menjadi seorang teman, rasa itu seakan membayang kembali di benaknya. Kenangan kemunafikannya datang.
Ia helai nafasnya pelan. Ia terunduk mengingat dirinya sendiri. Wajahnya sudah terlihat berukiran coret-coretan usia tua. Daging yang dulu gemuk kenyal kini telah lemas lentur. Tangannya pun tak bisa memukul sekuat dulu. Andaikata para kambingnya mau melawannya maka jelas ia akan kalah. Tak selayaknyalah si tua bangka ini harus mengulangi kebiadaban yang ia lakukan dulu.
"Mereka budakku atau tuanku?" Desir hati Setyo mengingat satu pertanyaan ysng dulu pernah terbenak di hatinya ketika ia menjabat lurah. Kumandang demokrasi yang bergiur dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat pernah ia lambaikan untuk menipu kambing-kambing bodoh sedesanya, dan ternyata jimat itu berhasil, karena ditambah bubuhan bumbu janji-janji. Seketika itu ia pun berfikir kembali tentang bendera tipu iblis itu. Jika aku jadi lurah seharusnya aku yang jadi budak mereka bukan mereka yang harus tunduk padaku menjadikan aku tuan karena mereka lah yang memilihku untuk meladeni mereka. Namun kenapa kenyaataannya berbalik. Takdir apa yang berada pada permainan ini? Mereka malah tunduk pada budak mereka sendiri. Menganggap aku tuan mereka. "Berarti mereka adalah budakku?" Renung Setyo dengan mata terbelalak memikir kerancuan sebuah teori tentang demokrasi. Ia tatap batu kecil yang berada tepat di samping jempol kakinya. Ia goyangkan batu itu dengan lembut. Tiba-tiba saja ia tendang batu itu dengan keras hingga melesat terbuang ke arah reruputan tanah pengembalaan.
"Hehh..heh, budak yang melahirakn tuannya sendiri. Itu kah demokrasi?" Gumam Setyo dengan seyum ngilu melihat kenyataan yang berbalik dengan teori. Ia jadi teringat saat ia congkak dengan sombongnya duduk di kursi jabatan dengan besarnya kala itu. Namun ia sekarang tak lagi bersepatu hitam kelam mengkilat seperti dulu. Kini sepatu itu telah berganti dengan alas karet, sandal jepit yang dikuatkan dengan sebutir paku karena kemarin sempat patah. Sandal ini, tinggal sandal ini. Tinggal sandal tipis ini jabatanku. Yang tersisa dari hamburan-hamburan kesombongan nafsu. Sandal ini yang menemaniku nanti untuk menghadap Tuhanku, bukan jabatanku.
"Heh Pak Tua! Dasar dungu?! Jangan melamun. Lihat kambing-kambingmu memakan daun-daun ketela kebunku. Dasar tua sinting!!" Bentak seorang wanita setengah tua bertopi tani dengan  wajah emosi, "Kalau ingin bertaubat di sono. Tu, di masjid!?" tambah wanita itu menghina setyo.
"Hah..?!". Setyo tersadar dari lamunannya. Ia lihat wanita itu yang terlihat marah padanya.
"Ngapain lihat-lihat? Mau congkak kayak dulu? Ayo silahkan!" Tantang wanita itu seraya meletakakan kedua lengan kepinggang.
Setyo bergegas menyahut tongkatnya. Sesegera mungkin ia hampiri kambing-kambingnya. Menggiring mereka ke lahan lain yang lebih tenang dan subur dengan banyak rumput-rmput hijau. Ia sodorkan tongkatnya bagai memegang sebuah pedang dengan muka menghadap ke langit. Sejenak ia toleh ke arah barat terlihat kerumunan mendung-mendung beriring petir mengancamnya dari kejauhan, "Kenapa mendung itu harus dari barat?" Benak hati Setyo seiring menggiring kambingnya.

Cerpen - BIBIT PLAYBOY


BIBIT PLAYBOY
Oleh : Mohamad Bejo
 
Namaku adalah, siapa namaku? Tunggu dulu. Jika aku pakai nama asliku, maka aku akan malu. Oleh karena itu aku harus pakai nama samaran palsu agar rahasia cerita ini tidak terungkap oleh orang lain. Bisa malu aku nanti kalau terungkap. Masalahnya ceritaku agak berbau rahasia sedikit, apalagi kalau yang baca cewek, mau taruh mana mukaku nanti. Taruh lutut kali biar tetap terjaga. Atau taruh ketiak? Ah, jadi nglantur.
OK, kupilih nama Rojer Sujadi. Nama yang cocok, tidak katrok dan juga tidak gaul. Lihat saja kata Rojer dapat dikatakan nama ini lebih condong ke gaya ke-Eropa-an, jadi kalau didengar agak sangar sedikit keren dan gaul. Ya, satu saudaralah dengan nama-nama sejenis Peter, Tiger, John, dan lain-lain. Karena aku asli Jawa, Indonesia kayaknya tak pantaslah jika harus menghianati negeri sendiri. Kasihan kan Indonesia. Udah sakit dilanda krismon masih dihianati penduduknya sendiri. Kayak udah jatuh dari pohon, masih kejatuhan buah kelapa. Dua kali lipat terasa sakitnya. Oleh karena itu ditambahilah embel-embel Sujadi buat tolak durhaka pada negara. Lalu kenapa harus Sujadi? Itu masalah yang kayaknya perlu dibahas selanjutnya.
Rojer Sujadi, Ayahku memberikan nama itu padaku. Kadang aku juga bingung apa sih yang sebenarnya dikehendaki Ayahku. Padahal Ayahku itu seorang Kiai lho. Ya walaupun cuma kiai musolla kecil-kecilan namun bekal ilmu agama Ayahku berani bersaing melawan lulusan Tebu Ireng atau Lirboyo atau pondok-pondok ngetren yang lain. Tapi anehnya, kenapa dia malah memberi nama aku setengah mistik kayak gitu. Kayak nama kartu remi saja. Eh bukan, kalau yang di kartu remi kan joker, bukan rojer. Maaf.
Andai saat kecil aku bisa protes akan kubantah Ayahku. Kudebat dia sampai darah penghabisanku. Kuganti namaku dengan nama yang sedikit berbau islami. Kayak Taufiq safalas, Syahdan Kasogi, Aditya Cleopatra atau apalah yang radak agamis-agamis dikit. Tapi apa boleh buat, tangan Bapak Moden telah melakukan kesalahan waktu itu, dengan menulis nama Rojer Sujadi dengan jelas sekali di nokte kelahiranku hingga sampai sekarang terpaksa beban moral nama itu harus kupikul mengarungi hidupku. Capek juga rasanya jika harus mengingat kejadian itu. Penuh misteri dan teka-teki. Pak moden perlu dituntut. Lho? kok malah jadi nyalahin Pak Moden?
Tanpa panjang kata aku pun tumbuh menjadi pria dewasa. Tak begitu kekar, tapi bisa jugalah dikatakan tampan. Lagian mana ada cowok cantik. Hanya otak eror yang bilang cowok itu cantik. Perawakanku menawan nggak kampungan, tapi aku juga agak beda dari yang lain, karena aku lebih suka menyendiri. Itu keistimewaanku. Entah darimana aku kena virus model itu, tapi kalau boleh diingat-ingat, saat itu kalau nggak salah aku kena virus suka uzlah ini karena Ayahku adalah seorang Kiai. Ya,  benar, karena Ayahku seorang Kiai musolla.
Jadi gini jalan ceritanya. Dalam syariat Islam banyak sekali aku mendapat petuah-petuah baik itu dari Ayahku sendiri atau Da'i-da'i lain yang berceramah agar jangan berteman dengan orang-orang yang nggak bener akhlaknya. Terus kebayang deh dibenakku sebuah monitor proyektor berisi anak-anak yang sering duduk-duduk begadang di pertigaan jalan kampung, tempat tikungan menuju kuburan yang sering ramai dengan anak-anak muda yang sok gaul, padahal ndeso. Setelah aku kebayang mereka, bayanganku jadi tambah nglantur, mereka itu mabuk-mabuk bersama sambil teler minum-minum ala setan. Tambah lagi ada joget-joget saat ada suara musik, terutama lagi saat ada tetangga yang nanggap orkes. Pokoknya, saking serunya kabar pertumpahan darah akan terdengar menggema mengiringi subuh setelah itu. Pasalnya para anak-anak tikungan itu pada berantem satu sama lain. Maklumlah, mereka pada mabuk, jadi pada nggak sadar.
Dari itu semua aku simpulkan jadi sedikit agak terpengaruh pada petuah agamis itu untuk menjauhi dunia foya-foya. Maka aku pun jaga jarak dari mereka, ditambah lagi kabarnya mereka sering godain cewek-cewek yang lewat pertigaan situ. Aku juga sebenarnya pengen juga sih, tapi Allah tak suka yang seperti itu. Aku jadi memilih tetep diam di musolla saja. Lagian ada efek sampingnya lho kalau duduk di pertigaan itu, yaitu pada setiap malam harus dibentak-bentak hujan gelegar suara, karena perang dengan para Hansip yang sedang ronda. Maksudnya, anak-anak yang katanya sok gaul itu sering berantem sama tukang ronda. Bukan itu saja, bahkan sama para tetangga yang dekat tempat nongkrong itu. Bahkan lagi, kadang pak Lurah saja ditantang. Hebat.. wow! Sudah punya nyawa cadangan kali.
Rasanya aku ingin tambah bumbu untuk menyalahkan Ayahku. Kenapa begitu? Ya karena Ayahku kan yang tugas memegang amanat agama di daerah situ, jadi kayak-kayak Ayahku gagal membuat warga untuk menjadi orang yang taat beribadah, khususnya anak muda. Tapi sepertinya kasihan juga Ayahku jika harus disalahkan. Masalahnya dalam Hadits kan ada yang mengatakan bahwa kemaksiatan akan merajalela di zaman ahir seperti ini. Berarti sudah biasa dong jika banyak anak muda yang lalai akan agama. Tapi sebaliknya aku juga malah berfikir, lalu buat apa kita nasehatin mereka lawong sudah di nash(ditetapkan) Hadits bahwa mereka akan rusak akhlaqnya. Cukup. Berhenti kau setan. Rasanya hanya orang bodoh yang bertanya begitu. Aku benci hatiku yang model seperti  ini. Coba kita pikir balik saja, dinasehatin pakai mauidzoh hasanah saja masih ndluyo tidak mempan apalagi nggak dinasehati. Emang kau mau kalau kiamat lebih cepet?! Itu yang mungkin bisa menjawab untuk membungkam mulut setan yang kerap mendesis dalam hati untuk ingkar pada Agama.
Sepertinya kita sudah keluar jalur ini. Kita harus kembali ke inti cerita tentang Bibit Playboy. Itu judul yang aku pilih untuk diareku. Aku sebenarnya malu jika harus menyebutnya diare, kayak cewek saja. Aku kan laki-laki. Aku harus tegar. Jangan suka menangis untuk cuma sekedar ngungkapin perasaan pakai diare. Tapi mau bagaimana lagi, aku suka menulis, jadi ya kutulis saja riwayat hidupku, mungkin saja kapan-kapan bisa dimasukkan oleh DEPPENNAS (Depertemen Pendidikan Nasional) dalam kurikulum dua ribu berapa nanti sebagai materi pelajaran wajib dalam seleksi ujian ahir sekolah. Mungkin, tapi mendekati mustahil.
Alhamdulillah, ternyata darah agamis menjalar dalam takdir hidupku. Tak kusangka sekarang aku telah berada di bangku mahasiswa untuk menimba ilmu syariat. Kubilang ini takdir yang agak aneh, karena sebenarnya aku tak begitu tertarik dengan pelajaran-pelajaran agama. Sebenarnya aku lebih tertarik pada pelajaran umum, karena pelajaran agama kebanyakan hanya seputar doktrin-doktrin teks dan tak ada apa itu yang namanya praktek labolatorium.
Jadi sejarahnya  begini. Aku dulu, setelah lulus MTs, sebenarnya ingin melanjutkan ke jenjang SMA. Maka aku pun mendaftar di Madrasah Aliyah terdekat saat itu, walaupun sebenarnya orang tuaku mengharapkan aku untuk mondok di Pati agar bisa meneruskan langkah si Ayah. Tapi karena konsep kebo melu gudel telah merajalela di kalangan masyarakat melebihi teori evolusi, maka orang tuaku pun mengikuti pendapatku. Aku menang.
Aku mendaftar di sekolah MA. Maaf sebelumnya, nama sekolah itu kurahasiakan demi keamanan dan agar pembaca tidak banyak tanya dimana letak sekolah itu. Aku pun mendaftar dan ahirnya mengikuti orientasi siswa. Ahir peristiwa, saat terahir aku orientasi ternyata aku terpilih sebagai siswa yang paling giat mengikuti kegiatan itu. Sangat menggembirakan sekali. Tapi juga awal dari kesedihan. Pasalnya, teman-teman wajah gembong ala brutal ternyata menyelundupkan hasud pada diriku dan teman-teman dekatku. Kami pun diancam. Kayak di film-film itu lho.
Sayang, waktu itu aku belum bisa karate. Jadi lihat kayak gitu ya takut, bener-bener takut. Apalagi saat malam itu, waktu kegiatan pramuka, aku ternyata satu kelompok dengan mereka, para gembong itu. Waduh, nasib, perasaanku bakal celaka aku. Saat itu kami sedang mau tidur, dengan suasana ruang yang gelap. Tiba-tiba ada suara lirih berbisik yang isinya akan mencegat anak-anak desaku di jalan saat nanti mau pulang. Aku jadi tambah minder. Langsung saja besoknya, saat kegiatan hampir selesai aku mendesus pada teman sedesaku saat berbaris di lapangan untuk upacara, Makmur namanya. Aku ceritakan semua kejadian tadi malam dan ternyata dia juga merasakan seperti apa yang aku rasakan. Dan ahirnya kami pun berencana hendak pindah sekolah saja. Kebetulan waktu itu ada sekolah SMA yang baru berdiri, Cuma masih sedikit muridnya.
Aku bodoh. Ketika aku pulang sampai ke rumah, tanpa pikir panjang aku kok malah bilang ke Orang tuaku kalau aku ingin mondok. Waduh, Orang tua ya jadi seneng banget mendengarnya. Kemenanganku terampas. Padahal itu tidak dari lubuk hatiku. Tak lama setelah itu si Makmur pun mendatangiku, untuk menegaskan rencana awal yang katanya mau pindah sekolah. Tapi aku harus gimana lagi. Sudah terlanjur bilang sama Ayahku ingin mondok. Terpaksa Aku pun harus menyayangkan pada dia karena aku sudah terlanjur bilang pada orang tuaku untuk mondok. Uh, dasar takdir. Tapi Alhamdulillah aku tetap bersyukur.
Lho, kok bisa cerita sampai ke situ. Wah, salah jalur ini. Padahal aku hendak bercerita tentang pengalamanku kemarin akan nasib cintaku yang sedang porak poranda, tapi bisa bangun. Untung saja ingat. Pasalnya, aku Cuma ingin buat pendek saja ceritaku, sekitar tiga halaman saja. Tapi sampai huruf  ini tertata, ternyata sudah dua setengah halaman. Bukan, empat halaman malah. Wah, ini diluar rencana. Harus cepat-cepat nih.
Jadi gini, setelah aku mondok sekitar dua tahun, ternyata aku jadi terpengaruh gaya-gaya sufiisme. Pokoknya hidup ini serba dzikir. Tiada hari tanpa dzikir. Dzikir, dzikir dan dzikir. Saat teman-temanku pada sibuk ngintip para cewek-cewek santriwati, aku pun bergaya sok cuek, sok tangguh, sok sufi, sok tak butuh dunia. Aku bisa dibilang sangat sufiistik lah. Hingga bisa dikatakan kalau aku juga mampu bertahan tiga jam bersila mulai ba'da subuh sampai sekitar jam tujuh pagi, tidak pindah tempat dan itu pun setiap hari. Kayak wali saja. Tapi bukan wali band, ini lain.
Itu dulu. Ingat, itu dulu sekitar empat tahun silam. Sekarang aku sudah gaul, dan gaulku itupun ada sejarahnya yang nggak bim salabim jadi, tapi butuh proses pelan-pelan. Hingga pada ahirnya aku menyimpulkan bahwa diriku ternyata mempunyai bakat terpendam yang tidak disangka-sangka. Kalau dipikir-pikir kayaknya bakatku ini tidak kalah dengan Leonardo dan Jerry Tomy. Tentang siapa mereka kayaknya tidak perlu saya jelaskan demi mempersingkat halaman. Pokoknya kalau tahu tikus dan kucing pasti juga tahu siapa mereka.
Waktu itu, setelah aku lulus dari pondok ternyata ijasahku bisa dibuat untuk mendaftar Perguruan Tinggi, Negeri lagi. Ini benar-benar Kesepatan emas. Jangan sampai terlewatkan. Lagian nilaiku juga lumayanlah untuk dibuat saingan sama mereka-mereka yang lulusan SMA atau MA umum. Ahirnya, masuklah sang sufi di dunia kuliah. Rojer Sujadi masuk kuliah. Si katrok yang bakalan jadi gaul akan masuk kuliah dengan bakat terpendamnya.
Semester kelima aku kenal dunia baru yang dulu kuanggap busuk bagiku. Dunia pacaran. Entah kenapa aku seakan-akan ada dorongan untuk ingin mempunyai seorang pasangan hidup. Apakah karena umurku semakin tua? Ataukah karena memang reaksi biologis dan psikologis pada diriku yang semakin menjadi-jadi? Ataukah karena aku terpengaruh teman-temanku satu kos saat pada jagongan membicarakan cewek terus tiap malam sebelum tidur? Yang Ketiga kayaknya yang paling berpengaruh. Setengah jam sebelum aku tidur, aku kerap nonton TV sebentar, alasannya sih buat refreshing the brain setelah belajar mulai habis isya'. Nah, dalam sela-sela nonton TV itu, sekejap si Renggo, temanku dari Tegal, sekejap dia lihat cewek langsung saja pikirannya jadi mesum. Bobroknya lagi, teman-temanku yang lain meladeni anak ini untuk memperdalam pembahasan. Lebih bobrok lagi adalah aku, sudah tahu pembahasan itu berbahaya tapi tetep saja bersemedi di kursi dekat mereka. Malah bisa dibilang kursiku adalah paling depan. Maklum, acaranya box office, jadi nggak boleh ketinggalan karena filmnya seru-seru. Maklum juga lagi karena nggak ada cepek untuk ke bioskop jadi ya pilih gratisan saja di TV tempat kos.
Wuaduh, kok udah empat halaman. Cepet banget sih. Bukan empat tapi lima halaman. Langsung saja biar nggak menghabiskan banyak kertas, setelah itu pun aku jadi tertarik dengan apa yang namanya wanita. Aku ganti hp-ku yang model kuno, merk nokia 2600 yang paling mentok cuma bisa sms sama nelpon, kuganti dengan model baru N 70. Ya walaupun nggak Blackberry tapi lumayankan, toh hasilnya juga sama. Cuma masalah cepat tidaknya saja.
Akupun mulai tertarik dengan fb. Aku mulai coba deh nge-add cewek-cewek. Aku pilih dulu mereka yang fotonya pakai kerudung dan tentunya yang cantik-cantik dong, masak cari cewek yang jelek. Malahan aku juga nge-add seorang Syarifah. Orangnya putih cantik terlihat kalem. Tapi aku rasa itu bukan levelku, terlalu tinggi. Aku mundur saja kalau itu. Toh yang biasa tapi cantik juga banyak.
Aku dikomentari seorang cewek. Itu kelanjutan fb-anku setelah mungkin dua bulan menunggu. Kenapa dua bulan baru dikomnetari cewek? Ya karena aku polang-paling kalau buat status ya yang berbau dakwah gitu. Pengennya sih sambil nyelam minum air. Sambil dapat cewek mau dakwah. Tapi ternyata kebanyakan minum air, statusku bahasanya kaku-kaku jadi jarang ada yang komen. Namun tidak disangka, pada ahirnya ternyata ada cewek aneh yang mau komen ke statusku. Wah perkembangan nih. Harus dicatat dengan tebal.
Dia merayuku diam-diam secara terselubung. Komennya ternyata menggemaskan. Dari balik tirai dia seakan-akan menginginkan aku untuk menembaknya. Masak aku yang terbilang baru tingkat mula pacaran dibilAngin pandai merayu. Yang benar saja. Masak bekas sufi pindah ke fb langsung dibilang pinter merayu. Aku pun semakin lama semakin tergoda. Aku buka deh profilnya kayak apa sih wanita itu. Ternyata dia  lumayan juga, nggak gitu-gitu jelek, tapi juga nggak cantik-cantik banget. Kulihat status-statusnya kok kayak mengisyaratkan kalau dia ingin ditembak. Kuanggap saja ini kesempatan dalam kesempitan. Ini sela dalam kejepitan. Aku datang my darling. Akan kubawa panah asmara untukmu.
Dia menerima aku ternyata. Katrok kayak gini ternyata ada juga yang mau. Malah waktu itu, saat aku kirim fotoku ke fb-nya dia bilangnya kalau aku ganteng. Waras atau nggak sih wanita ini? Aku sendiri saja tidak yakin kalau aku ini ganteng. Hal ini pun memberikab efek difraksi besar pada hatiku. Mulai saat itu, dan mungkin satelah itu, aku jadi agak percaya diri sedikit. Ternyata aku ganteng. Ternyata aku pantas jadi anak gaul.
Tas punggungku pun aku ganti dengan tas gaul yang apa itu namanya? yang kayak tas yang biasa di bawa ibu-ibu ke pasar atau supermarket itu apa namanya?lupa aku. Yang biasanya anak muda yang gaul saking gaulnya sampai manjangin talinya kelutut. Tas apa itu namanya? Aku kok lupa. Pokoknya yang itulah. Baju lengan panjangku pun kusetrika rapi untuk kuucapkan selamat tinggal, berganti dengan kaos model dagadu baru masih bau pabrik. Kalau celana, kayaknya masih tetep saja. Tidak berubah. Masalahnya aku paling malu jika harus beli celana di pasar. Apalagi celana dalam. Tambah lagi kalau yang jual adalah cewek, huh, lebih baik keliling lapangan seribu kali daripada mati malu. Selain itu juga, biar cocok sama namaku, Rojer Sujadi, setengah gaul, setengah katrok.
Apa? Putus? Cintaku diputus? Aku tak percaya. Tiba-tiba dengan tanpa alasan cewek yang kutemukan di fb itu dengan mendadak memutusku. Sakit rasanya. Hatiku lemas tak berdaya. Ke-gaul-anku hilang dalam sekejap setelah itu. Kok tega-teganya dia hianati aku. Tidak hanya itu, semingggu setelah memutus dia bilang kalau dia sudah punya pacar baru. Oh, sakitnya hati ini. Geram rasanya hatiku. Ingin kucekik dia. Aku banting lalu aku buang ke kali. Biar buat makan ikan.
Tapi tunggu dulu. Jika dia kucekik terus kubuang. Berarti aku juga pendusta cinta dong? Masak orang yang dicintai dicekik sendiri. Bukan cinta berarti. Aku jadi agak sedikit sadar tentang kata pepatah hitam "cinta ditolak dukun bertindak", Kayaknya juga aku ingin kayak gitu. Tapi sama juga dong aku mencekik dia dan aku tidak mencintainya secara tulus. Jika aku benar mencintainya maka aku tak akan menyakitinya. Cinta adalah berapa banyak kita memberi bukan berapa banyak kita menerima. Itu yang pernah kudengar dari lirih seorang penyair yang aku tak kenal. Lagian kalau pergi ke Dukun aku juga pun harus pikir-pikir dulu. Kantong kosong nggak ada modal mau beli gula sama kopi pakai apa? Dasar miskin. Nasib.
Akupun lemas. Hari-hariku terasa menyusahkan. Lihat cewek lewat depan kos ingin rasanya kuludahi, tapi yang salah kan pacarku bukan setiap cewek harus kubenci. Capek rasanya hati ini. Entah bagaimana lagi aku bisa bangun kembali menjadi seorang sufi kayak dulu. Cinta pertamaku telah pupus.
Tegar. Aku Rojer Sujadi. Asli keturunan Jawa tulen. Tidak ada dalam kamus keluargaku untuk menyerah. Aku harus bangun. Aku tidak boleh merusak reputasi silsilah kabilah Sujadi yang terkenal pantang menyerah. Kusingkapkan rasa sedihku. Aku berdiri. Dengan gaya tangan kumasukkan saku celana sambil lihat atap jendela aku berjalan. Aku ambil sebilah bunga plastic di meja tamu sekalian dengan potnya. Aku tuju halaman depan lalu kutudingkan bunga itu seperti pedang ke arah jalan sambil gaya sok gaul.
"Wahai para wanita, tunggu pembalasanku!"
"He, mas ngapain telanjang dada pegang bunga kayak orang gila seperti itu???" Teriakan Ibu kos menegurku. Aku jadi malu.