Menu

Senin, 24 Juni 2013

IBU SEBAGAI MADRASAH UNTUK ANAK


IBU SEBAGAI MADRASAH UNTUK ANAK


Melihat posisi seorang ibu dalam menghadapi anaknya maka supaya lebih terperinci dalam kajian, peranan ibu mempunyai pengaruh kehidupan pada anak dalam tiga sudut kehidupan; pertama, ketika anak itu masih kecil. Kedua, ketika memasuki masa-masa pubertas. Ketiga, ketika anak itu beranjak dewasa memahami sisi kehidupan yang sebenarnya.
A. Ketika Masa Kecil
Masa kecil adalah masa dimana anak masih membutuhkan banyak informasi tentang kehidupan alam sekitar. Masa ini bisa dikatakan masa pembentukan ketangkasan seorang anak, atau bahkan dalam masa inilah hati seorang anak sedikit demi sedikit berkembang untuk memproses akidah dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan sabda Rosulullah saw. bahwa semua bayi itu lahir dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Nasrani dan Yahudi. Dari sini tampak betapa pentingnya peran orang dekat bagi seorang anak tersebut. Dan tidak ada orang terdekat dengan seorang anak kecuali ibunya sendiri. Inilah wahana seorang ibu untuk merealisasikan perannya sebagai pencetak kaderisasi bangsa yang beriman, bertaqwa, dan bermanfaat bagi bangsa.


UNIVERSALITAS FUNGSI IBU
DALAM KEHIDUPAN ANAK




PENDAHULUAN
Dalam bukunya Madzâ 'Ani Al-Mar'ah?, Nurdin Eter sempat menuturkan sebagian bendera orientalis dalam semboyan mereka mengangkat martabat wanita dengan berkata "Wanita adalah setengah dari masyarakat". Lebih menarik lagi komentar Nurdin Eter dalam menanggapi semboyan plastik itu dengan berkata bahwa "Islam mengangkat wanita tidak sebatas setengah dari masyarakat, namun lebih dari setengah masyarakat".
Polemik tentang feminisme memang kerap menjadi roti bakar dalam berbagai perdebatan ilmiah. Tak jarang isu-isu yang menuntut persamaan hak laki-laki dan perempuan dikibarkan, dan menuduh orang yang tidak mendukungnya adalah para pelanggar HAM. Tak sebatas itu, konsep-konsep wanita Eropa yang tengah tertindas pun diusung, disamakan dengan wanita muslimah yang jelas telah diatur strata sosialnya oleh Syariat sedemikian indah. Hawa nafsu pun menjadi penopang pertama dalam usaha penyelundupan paham ini. Tak jarang banyak wanita muslimah telah lari dari posisi wajibnya sebagai istri yang semestinya diajarkan oleh Islam. Tak jarang pula mereka lupa akan tugas dan bagaimana posisi mereka dalam kodratnya berkeluarga.

Senin, 03 Juni 2013

Reparasi Ulama Dalam Etika Politik, Perlukah?


Reparasi Ulama
Dalam Etika Politik, Perlukah?
Oleh: Mohamad Bejo



Berbicara tentang peran ulama dalam membina moral politik memang agak sulit. Bagaimana tidak, beberapa waktu lalu ternyata KPK menangkap gembong koruptor malah dari petugas kantor agama sendiri. Dikatakan memalukan juga bisa saja, dan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah, jika seperti itu ulama'nya, lalu bagaimana dengan yang lain?
Politik, suatu arena pertandingan mempengaruhi atau dipengaruhi, begitulah kiranya slogan tersirat itu dipampang oleh para petarung-petarung di dalamnya. Tanpa politik kita akan kacau, tapi dengan politik pula kita juga sering kacau balau.
Berbeda dengan pemikul agama Nasrani yang menyebut mereka dengan sebutan pihak Gereja, Islam lebih dominan memberikan keluasan bagi siapa saja dari rakatnya untuk mengajukan pendapat dan berekspresi. Jika selama berabad-abad Eropa kelam karena monopoli yang dilakukan pihak Gereja terhadap perpolitikan, hingga saking gempungnya rakyat prancis mengadakan revolusi besar-besaran ingin menghapus pengaruh gereja, maka ulama islam berbeda jauh, Islam tidak pernah memberikan kekuasan untuk ulamanya saja. Tidak ada monopoli dalam islam, bahkan islam malah memberikan kebebasan berpendapat pada siapa saja, walau kadang juga harus bertentangan sendiri dengan kebijakan yang dipilih Negara.

Jumat, 03 Mei 2013

Aku Malu Mengaku Salafi





Skenario sebuah pemikiran berkembang sejalan dengan semakin banyaknya ilmu yang dimiliki oleh seorang individu manusia secara naluri. Semakin banyak ilmu yang dimiliki maka ia akan semakin mempunyai wawasan luas dan mampu merespon situasi dalam bertindak. Namun seringkali kita dapati teori ini tidak sesuai dengan kenyataan, karena beberapa orang setelah mendapat banyak ilmu bukan menjadi lebih baik, malah menjadi lebih buruk, bahkan bisa malah menyalahkan orang lain yang beda pendapat dengan kita. Perkembangan pemikirian yang masih mengira bahwa ilmunya lah yang paling benar. Dialah yang paling benar, dan jangan sampai kalah debat dengan siapapun.
Sekitar sembilan tahunan yang lalu, ketika penulis masih berumur sekitar 17 tahun. Ada pengalaman menarik yang tak terlupakan. Waktu itu penulis memang lagi mengenyam masa-masa di pondok pesantren. Di sana diajarkan bagaimana menjaga Tauhid, bagaimana kita berma'rifat kepada Sang Kholiq/pencipta, bagaimana reaksi  pendapat Ahlussunah yang terlihat berbeda dengan aliran Mu'tazilah? dan ajaran-ajaran tauhid lainnya yang berhubungan dengan akidah yang sah. Salah satu di antaranya ditegaskan bahwa tiada yang memiliki kekuatan, tiada yang memilki daya kecuali Allah swt. I'tikad itu pun tertanam dalam dalam sanubari, hingga suatu saat penulis pulang dari pondok pesantren, bergaya dengan ilmu yang ia rasa telah mumpuni.