Kembang Tujuh Rupa
"Sudah aku bilang berkali-kali 'politik
itu kejam', lebih kejam daripada setan",
Darsono merundukkan kepalanya.
Segunduk gudang penyesalan mengempul memenuhi dadanya karena telah ceroboh
bertindak. Impian yang ia cita-citakan sudah hilang dalam sekejap di hitungan
biji-biji suara hari senin kemarin, pukul setengah tiga sore, saat tiga calon
bertengger gagah di panggung untuk dipilih menjadi calon bakal lurah yang akan
memimpin desa lima tahun ke depan. Darsono kalah.
"Kalau sudah begini mau
apalagi kau??" Bentak Sarmo, mertua Darsono.
Mulai sejak awal mula, Sarmo memang
sudah tidak setuju jika menantunya ikut-ikutan adu politik, bersaing dengan
juragan-juragan tanah desa. Kejujuran saja masih belum cukup untuk meraih
tampuk kursi kemegahan lurah. Masih ada satu penyakit yang menulang pada
seluruh penduduk desa ini. Penyakit mata
duitan yang menuntut suap sana, suap sini. Penyakit itu seakan sudah terkontaminasi
menjadi bagian tulang pada kebanyakan pikiran-pikiran orang-orang desa. Tak cuma
orang awam, kiai saja harus disodok mulutnya agar mau menutur manis tentang
calon di muka masyarakat, dan ironisnya mereka meminta harga. Inilah yang
membuat Darso miskin.