Menu

Kamis, 16 Januari 2014

Kembang Tujuh Rupa

Kembang Tujuh Rupa


"Sudah aku bilang berkali-kali 'politik itu kejam', lebih kejam daripada setan",
Darsono merundukkan kepalanya. Segunduk gudang penyesalan mengempul memenuhi dadanya karena telah ceroboh bertindak. Impian yang ia cita-citakan sudah hilang dalam sekejap di hitungan biji-biji suara hari senin kemarin, pukul setengah tiga sore, saat tiga calon bertengger gagah di panggung untuk dipilih menjadi calon bakal lurah yang akan memimpin desa lima tahun ke depan. Darsono kalah.
"Kalau sudah begini mau apalagi kau??" Bentak Sarmo, mertua Darsono.
Mulai sejak awal mula, Sarmo memang sudah tidak setuju jika menantunya ikut-ikutan adu politik, bersaing dengan juragan-juragan tanah desa. Kejujuran saja masih belum cukup untuk meraih tampuk kursi kemegahan lurah. Masih ada satu penyakit yang menulang pada seluruh penduduk desa  ini. Penyakit mata duitan yang menuntut suap sana, suap sini. Penyakit itu seakan sudah terkontaminasi menjadi bagian tulang pada kebanyakan pikiran-pikiran orang-orang desa. Tak cuma orang awam, kiai saja harus disodok mulutnya agar mau menutur manis tentang calon di muka masyarakat, dan ironisnya mereka meminta harga. Inilah yang membuat Darso miskin.