Menu

Rabu, 19 Februari 2014

Terbitlah Matahariku

Terbitlah Matahariku
Oleh: Mohamad Bejo


Langit semakin gelap mengumpulkan tentara-tentara mendung melintas angkasa. Kulihat mereka seakan ingin menangis turut berduka menunjukkan kasihannya pada masalah yang sedang kuhadapi ini. Kutancap gas motorku setelah selesai mengerjakan ujian try out di sekolahku. Hatiku terpotong-potong oleh soal-soal yang memusingkan dan menaburkan bintang-bintang kejora di otakku.
Dalam perjalanan pulangku, kupandang langit yang semakin menghitam. Aku takut jika tangisan kesedihannya mengenaiku. Kupercepat gas tanpa menghiraukan sekeliling. Kulalui jalan dengan luka hati yang tak tahu obatnya. Bagaimana tidak, jika seorang putus cinta, obatnya bisa jalin cinta lagi. Kalau orang sakit kanker bisa pergi ke dokter. Bila tak punya uang untuk makan aku pikir bisa mendapatkannya walau harus dengan meminta-minta. Tapi penyakitku lain, penyakit kebodohan dan tulalit yang tak kunjung usai.


Sebenarnya aku juga tidak terlalu peduli, entah aku bodoh atau pintar, tetapi waktu ini lain. Waktu ini adalah waktu sisa hidupku di sekolah yang hampir habis dan sebentar lagi aku akan mengikuti ujian nasional. Dan ternyata apa? Aku belum juga menguasai materi pelajaran UN. Betapa kacau pikiranku. Ditambah tunanganku yang semakin membuat gusar hati ini untuk segera menikah, seakan menikam hati untuk lemas bermalas-malasan belajar.
Ahirnya sampai juga aku di rumah. Lima kilometer perjalanan seakan seperti lima meter buatku dengan kehadiran setan pusing ini. Kubanting tasku ke meja sebagai ajang ekspresi kekesalanku. Tak peduli apa isinya yang penting aku puas. Kuganti pakaian, lalu kusahut piring di dapur dan menyalakan TV. Kunikamati kehidupan ini tuk menghilangkan kegersahan yang berada di balik kehidupanku yang lain.
Makanan habis, acara TV pun jelek-jelek, membuat setan susahku kumat lagi. Aku ingat seleksi kemarin aku tak lulus. Kalau nilainya mendekati lima sih aku masih punya harapan, lha orang nilainya mendekati tiga ke bawah siapa yang nggak pusing coba? Bisa lulus nggak? Setan susahku menggusar hatiku. Langsung kumatikan TV. Kubanting tubuhku ke kasur kamarku. Untung saja ibu lagi arisan dan ayahku lagi kerja. Kalau tidak, bencana yang menimpaku akan bertambah dengan omelan-omelan mereka. Aku ambil hp-ku, coba saja sms-an dengan teman, mungkin bisa menghilangkan rasa boring dan kacau ini. Tapi sial, aku lupa, tadi di sekolah hp-ku dipinjem Fatimah untuk sms-an. Aduuuh, kacau, kacau, kacau..!!
Kulentangkan kedua tanganku dengan kaki lurus di atas tempat tidur, seperti layaknya orang yang disalib. Kupandang atap mencoba mengingat laju arus kakiku mulai dari tadi pagi aku bangun hingga detik ini. Iya, aku ingat, tadi pagi Laela sempat memberi aku sebuah majalah. Katanya di dalamnya ada cerpen yang menarik, mungkin cocok denganku yang lagi bete kayak gini. Dengan langkah berat kubuka tas yang tadi kubanting lalu aku ambil majalah di dalamnya. Sebenarnya aku malas baca majalah, apalagi yang namanya baca cerpen. Namun tak apalah, lagian juga nggak ada yang bisa kulakukan saat ini kecuali mengisi waktu yang membosankan dengan membacanya.
Kupilih-pilih bacaan dalam majalah tersebut dan ahirnya cerpen yang dikatakan Laela kutemukan, walaupun ternyata di ahir majalah. Jika kutahu demikian aku takkan membukanya dari depan, tapi dari belakang, buang-buang waktu saja. Tapi tak apalah, yang penting cerpennya ketemu. Kubaca dengan tenang sambil duduk santai di lantai, malas jika harus di meja belajar. Enakan di lantai bisa bebas bergerak. Setelah kupahami dan kuhayati ternyata ceritanya sama dengan yang kualami. Peran utamanya mengalami nasib yang menyedihkan di samping dia juga pemalas sama sepertiku. Tapi tunggu, ending-nya begitu bagus. Aku temukan sebuah inspirasi baru. Sebuah kata mutiara yang belum pernah aku rasakan efek semangatnya sebelum ini.
“Kebaikan sang waktu terlihat di ahir. Maka jadikan ahir sebaik-baik kerjamu!”
“Kegagalan bermula dari kebodohan. Kebodohan bermula dari kemalasan. Kemalasan bermula dari penyia-nyian waktu”.
Aku terperanjat dengan kata ini. Inikah aku yang sekarang? Karena itukah aku jadi begini? Tanpa kupikir panjang kulanjutkan membaca. Aku sudah mulai paham. Kutemukan dalam cerpen itu kata-kata hikmah lagi,
“Punggung parang pun akan tajam jika diasah terus”.
Aku merasa kalimat ini menyobek hatiku yang larut dalam kebodohan dan kemalasan. Dalam hatiku kurasa jialatan api semangat telah tampak membakar dada untuk membangun semangat baru memulai suatu perjuangan.
“Hanya pengecut yang bilang waktunya kurang”.
Kata ini lagi-lagi menyayat hatiku yang seakan-akan ingin protes sedikitnya waktu yang kumiliki untuk persiapan ujian. Tapi kurasa benar, aku tak boleh jadi pengecut. Aku tak boleh lari sebelum aku berusaha walaupun itu kecil kemungkinannya.
“Entah apa yang ada di belakang pintu, tapi bunuhlah dulu singa yang di hadapanmu!”
Wow, lagi-lagi terbelesit dalam hatiku kata-kata penyemangat yang menundukkan seribu alasanku untuk bermalas-malasan. Entah habis lulus nanti aku nikah atau kerja atau kuliah atau yang lain, aku tak peduli. Yang terpenting bagaimana aku mengahadapi apa yang ada di depanku, yaitu ujian nasional.
“Terbitlah matahariku! Jangan kau biarkan waktu merebut kemanisan perjuanganmu!!”

Aku pun berdiri dari dudukku. Kupandang langit-langit rumah. Akan kutunjukkan bahwa aku bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar