Terbitlah Matahariku
Oleh: Mohamad Bejo
Langit semakin gelap mengumpulkan tentara-tentara mendung melintas
angkasa. Kulihat mereka seakan ingin menangis turut berduka menunjukkan
kasihannya pada masalah yang sedang kuhadapi ini. Kutancap gas motorku setelah
selesai mengerjakan ujian try out di sekolahku. Hatiku
terpotong-potong oleh soal-soal yang memusingkan dan menaburkan bintang-bintang
kejora di otakku.
Dalam perjalanan pulangku, kupandang langit yang semakin menghitam. Aku
takut jika tangisan kesedihannya mengenaiku. Kupercepat gas tanpa menghiraukan
sekeliling. Kulalui jalan dengan luka hati yang tak tahu obatnya. Bagaimana
tidak, jika seorang putus cinta, obatnya bisa jalin cinta lagi. Kalau orang
sakit kanker bisa pergi ke dokter. Bila tak punya uang untuk makan aku pikir
bisa mendapatkannya walau harus dengan meminta-minta. Tapi penyakitku lain,
penyakit kebodohan dan tulalit yang tak kunjung usai.
Sebenarnya aku juga tidak terlalu peduli, entah aku bodoh atau pintar,
tetapi waktu ini lain. Waktu ini adalah waktu sisa hidupku di sekolah yang
hampir habis dan sebentar lagi aku akan mengikuti ujian nasional. Dan ternyata
apa? Aku belum juga menguasai materi pelajaran UN. Betapa kacau pikiranku.
Ditambah tunanganku yang semakin membuat gusar hati ini untuk segera menikah,
seakan menikam hati untuk lemas bermalas-malasan belajar.
Ahirnya sampai juga aku di rumah. Lima kilometer perjalanan seakan
seperti lima meter buatku dengan kehadiran setan pusing ini. Kubanting tasku ke
meja sebagai ajang ekspresi kekesalanku. Tak peduli apa isinya yang penting aku
puas. Kuganti pakaian, lalu kusahut piring di dapur dan menyalakan TV.
Kunikamati kehidupan ini tuk menghilangkan kegersahan yang berada di balik
kehidupanku yang lain.
Makanan habis, acara TV pun jelek-jelek, membuat setan susahku kumat
lagi. Aku ingat seleksi kemarin aku tak lulus. Kalau nilainya mendekati lima
sih aku masih punya harapan, lha orang nilainya mendekati tiga ke bawah siapa
yang nggak pusing coba? Bisa lulus nggak? Setan susahku menggusar hatiku.
Langsung kumatikan TV. Kubanting tubuhku ke kasur kamarku. Untung saja ibu lagi
arisan dan ayahku lagi kerja. Kalau tidak, bencana yang menimpaku akan
bertambah dengan omelan-omelan mereka. Aku ambil hp-ku, coba saja sms-an dengan
teman, mungkin bisa menghilangkan rasa boring dan kacau ini. Tapi sial, aku
lupa, tadi di sekolah hp-ku dipinjem Fatimah untuk sms-an. Aduuuh, kacau,
kacau, kacau..!!
Kulentangkan kedua tanganku dengan kaki lurus di atas tempat tidur,
seperti layaknya orang yang disalib. Kupandang atap mencoba mengingat laju arus
kakiku mulai dari tadi pagi aku bangun hingga detik ini. Iya, aku ingat, tadi
pagi Laela sempat memberi aku sebuah majalah. Katanya di dalamnya ada cerpen
yang menarik, mungkin cocok denganku yang lagi bete kayak gini. Dengan langkah
berat kubuka tas yang tadi kubanting lalu aku ambil majalah di dalamnya.
Sebenarnya aku malas baca majalah, apalagi yang namanya baca cerpen. Namun tak
apalah, lagian juga nggak ada yang bisa kulakukan saat ini kecuali mengisi
waktu yang membosankan dengan membacanya.
Kupilih-pilih bacaan dalam majalah tersebut dan ahirnya cerpen yang
dikatakan Laela kutemukan, walaupun ternyata di ahir majalah. Jika kutahu
demikian aku takkan membukanya dari depan, tapi dari belakang, buang-buang
waktu saja. Tapi tak apalah, yang penting cerpennya ketemu. Kubaca dengan tenang
sambil duduk santai di lantai, malas jika harus di meja belajar. Enakan di
lantai bisa bebas bergerak. Setelah kupahami dan kuhayati ternyata ceritanya
sama dengan yang kualami. Peran utamanya mengalami nasib yang menyedihkan di
samping dia juga pemalas sama sepertiku. Tapi tunggu, ending-nya begitu
bagus. Aku temukan sebuah inspirasi baru. Sebuah kata mutiara yang belum pernah
aku rasakan efek semangatnya sebelum ini.
“Kebaikan sang waktu terlihat di ahir. Maka jadikan ahir sebaik-baik
kerjamu!”
“Kegagalan bermula dari kebodohan. Kebodohan bermula dari kemalasan.
Kemalasan bermula dari penyia-nyian waktu”.
Aku terperanjat dengan kata ini. Inikah aku yang sekarang? Karena itukah
aku jadi begini? Tanpa kupikir panjang kulanjutkan membaca. Aku sudah mulai
paham. Kutemukan dalam cerpen itu kata-kata hikmah lagi,
“Punggung parang pun akan tajam jika diasah terus”.
Aku merasa kalimat ini menyobek hatiku yang larut dalam kebodohan dan
kemalasan. Dalam hatiku kurasa jialatan api semangat telah tampak membakar dada
untuk membangun semangat baru memulai suatu perjuangan.
“Hanya pengecut yang bilang waktunya kurang”.
Kata ini lagi-lagi menyayat hatiku yang seakan-akan ingin protes
sedikitnya waktu yang kumiliki untuk persiapan ujian. Tapi kurasa benar, aku
tak boleh jadi pengecut. Aku tak boleh lari sebelum aku berusaha walaupun itu
kecil kemungkinannya.
“Entah apa yang ada di belakang pintu, tapi bunuhlah dulu singa yang di
hadapanmu!”
Wow, lagi-lagi terbelesit dalam hatiku kata-kata penyemangat yang
menundukkan seribu alasanku untuk bermalas-malasan. Entah habis lulus nanti aku
nikah atau kerja atau kuliah atau yang lain, aku tak peduli. Yang terpenting
bagaimana aku mengahadapi apa yang ada di depanku, yaitu ujian nasional.
“Terbitlah matahariku! Jangan kau biarkan waktu merebut kemanisan
perjuanganmu!!”
Aku pun berdiri dari dudukku. Kupandang langit-langit rumah. Akan
kutunjukkan bahwa aku bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar