ANALISIS
DISKRIMINASI JENDER QS. AN NISA' : 34 MENURUT PERSPEKTIF MUFASIRIN
Mohamad
Bejo
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيًّا كَبِيرًا
Kata
kunci : jender, diskriminasi,
Pendahuluan
Islam,
agama yang datang dengan bendera penyamaan derajatnya, sering kali mendapat
benturan-benturan kambing hitam sebagai agama yang tidak menghargai HAM. Terlebih
saat sebagian kasus-kasus yang ditemukan mempunyai pelaku yang erat hubunganannya
dengan pemeluk Islam itu sendiri. Padahal kedatangan Islam secara universal sebenarnya
berusaha menghapus adanya diskriminasi sosial agar sesama manusia dapat hidup
rukun sesuai dengan koridor hukum syariat, baik berupa ubudiyah maupun muamalah.
Kerancuan
ini sangat tampak, salah satunya pada kasus persamaan hak antara kaum maskulin
laki-laki dan kuam feminim perempuan. Sejak era jahiliyah ketertidasan kaum hawa selalu mendapat nomor
terahir dalam hak sosial. Sebagai contoh kongkritnya adalah pengurungan wanita
yang ditalak. Untuk menyelesaikan waktu iddah-nya seorang wanita harus
dikurung selama selama satu tahun dalam suatu ruangan tertutup[1].
Kemudian Islam datang. Akan tetapi setelah era Islam berlanjut dalam episodenya
dari generasi ke genarasi, selanjutnya terdapat kericuhan pemahaman yang malah
sebaliknya menganggap Islam tidak menghargai persamaan hak tersebut.
Kerancuan itu malah menuduh sebagian
ulama-ulama yang menafsiri Alquran telah melakukan diskriminasi pada teks-teks
agama. Hal ini terlihat ketika mereka, pihak penuduh mengatakan :
Agama Islam, sebagaimana agama-agama
samawi yang lain, Yahudi dan Nasrani diyakini membawa gagasan pembebasan,
kemaslahatan, dan keadilan bagi kehidupan manusia. Akan tetapi pada
kenyataannya justru tafsir keagamaan atasnya dipandang lebih melahirkan
ketidakadilan atau ketimpangan pola hubungan jender. Bahkan bahasa-bahasa yang
digunakan maupun tafsir atas kitab suci tidak terlepas dari bias-bias
ketimpangan jender, seperti atribusi maskulinitas bagi Tuhan.[2]
Hal
ini menjadi teropsesi lagi ketika ternyata ada sebuah teks nash Alquran yang
secara dzohir-nya mengunggulkan kaum laki-laki di atas kaum perempuan. Nash
ini kerap dialihdalilkan sebagian kalangan ketika mereka membahas tentang
isu-isu jender sebagai senjata untuk menuding Islam tidak menghargai persamaan.
Contoh mudahnya saja adalah pada ayat pembagian warisan, perintah menutup
aurat, dan terlebih lagi yang secara lebih jelas adalah ayat 34 pada surat An
Nisa yang berartikan : "Ar rijalu qowwamuna 'ala nisa".
Secara
sepintas nash ayat tersebut beriinisiatif bahwa laki-laki lebih tinggi strata
kedudukannya dari pada wanita. Bahkan memahami hal tersebut tidak harus
membutuhkan imajinasi tinggi. Kita akan menemukan pendiskriminasian tersebut
secara arti harfiahnya. Namun di sinilah sebenarnya kesalahan kita ketika
memaknai suatu teks tanpa dasar tatanan ilmu yang berlaku. Karena ayat-ayat
dalam Alquran tidak berdiri hanya pada pemahaman satu kalimat saja, akan tetapi
mempunyai keterkaitan dengan ayat-ayat lain dan khususnya lagi keterkaitannya
dengan asbabul nuzul ayat tersebut. Ini yang sering membuat
kesalahpahaman. Ketika unsur-unsur ini terlepas saat mamahami penggalan ayat 34
surat An Nisa maka kita akan terjerumus pada kerancuan yang dampaknya adalah
penuduhan kambing hitam Islam sebagai agama yang tidak menghargai persamaan hak. Andai mereka
tidak menuduh Islam maka mereka akan menuduh para ulama-ulama mufasirin telah
salah dalam memaknai Islam. Dari sini terasa perlu sekali untuk menganalisi
secara benar maksud dari ayat itu. Dengan harapan, teks yang empat belas abad
tanpa masalah itu dapat secara tegas kita terima dalam konteks kehidupan kita sekarang
dan menghilangkan tuduhan-tuduhan yang sebenarnya berunsur penggelapan makna Islam.
Definisi
Jender
Kata
jender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin". Dalam Webster's New World Dictionary, jender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai
dan tingkah laku.
Di
dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary
M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Jender: an Introduction
mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan (cultural expectations for women and men).
Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang
menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai
laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian jender (What a given
society defines as masculine or feminin is a component of jender).
H.
T. Wilson dalam Sex and Jender mengartikan jender sebagai suatu dasar untuk
menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan
laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang
dikutip Showalter yang mengartikan jender lebih dari sekedar pembedaan
laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi
menekankan jender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya
untuk menjelaskan sesuatu (Jender is an analityc concept whose meanings we
work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define
it).
Kata
jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi
istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara
Urusan Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai
"interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni
laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan
pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan".
Dari
berbagai definisi di atas Nasruddin Umar menyimpulkan bahwa jender adalah suatu
konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Jender dalam arti ini adalah suatu
bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang
bersifat kodrati.[3]
Isu
jender merupakan permasalahan yang baru muncul baru-baru ini. Tak bisa dipungkiri
bahwa induk perkara jender berawal dari Eropa kemudian merambat ke seluruh
dunia. Negara-negara Islam pun tak luput menjadi korban. Jalal Al Asyuthi dalam
bukunya Huququl Mar'ah Bainal Haqiqah Wal Khiyal menyebutkan lima sebab
kenapa isu jender ini bisa berkembang dengan begitu cepat dari para pemikir Eropa
:
1. Keinginan untuk memusnahkan adat-istiadat Islam dan norma-norma
di dalamnya.
2. Pemindahan objek untuk menyebarkan paham jender ini setelah
mereka, kaum aktivis, tidak mampu lagi menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka
pada kaum laki-laki. Bahkan mereka mendapat perlawanan dalam pemikiran ini dari
kaum laki-laki. Karena mereka merasa tidak menemukan jalan lain untuk
menyebarkan pemikiran, maka mereka beralih objek dengan membuat perempuan
sebagai sarana untuk mencetuskan pemikiran mereka.
3. Keinginan untuk memperkerjakan wanita-wanita Islam seperti
wanita-wanita Eropa.
4. Merealisasikan hasrat mereka pada wanita muslimah. Karena mereka
tidak bisa secara langsung sampai pada para wanita muslimah disebabkan
larangan-larangan agama, maka secara tidak langsung dengan isu jender mereka
ingin merealisasikan ide mereka, mengajak para wanita muslimah untuk
memberontak dari dalam.
5. Keinginan untuk membuat wanita menjadi murahan dengan berada di
setiap tempat sesuka mereka.[4]
Pembatasan Masalah
Terdapat
banyak ayat yang menyinggung permasalahan jender dalam Alquran sehingga tidak
semua ayat dituntut untuk dibahas secara rinci. Di antara ayat-ayat itu adalah
QS. Al Baqoroh : 228 yang artinya :
"Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan
tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Dalam ayat tersebut
dituturkan bahwa laki-laki memilki tingkatan lebih tinggi daripada perempuan,
isterinya. Dalam ayat lain Allah secara jelas menuturkan adanya
pendiskriminasian tersebut, akan tetapi memerintah agar diskriminasi jangan
sampai menjadikan suatu permasalahan iri antara kaum maskulin, laki-laki dan
kaum feminim perempuan, seperti pada surat QS. An Nisa : 32 yang artinya :
"Dan janganlah kamu iri
hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak
dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada
apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu."
Kemudian
di antara beberapa ayat itu terdapat satu ayat yang secara lebih tegas lagi, dzohir-nya
mengandung unsur pendiskriminasian antara laki-laki dan perempuan. Jika orang
awam memaknai ayat tersebut, secara kasap mata maka akan menyangka bahwa ada
ketidakadilan dalam Alquran. Ayat tersebut adalah QS. An Nisa : 34 yang artinya
:
"Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar."
Arti
kata "Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita" memberikan respon
bahwa ada unsur pembatasan pada wanita untuk menjadi pemimpin. Ketika hal itu
disesuaikan dengan asas hak manusia maka secara lazim akan terjadi sebuah
pertentangan. Padahal kita tahu pasti bahwa Islam tidak datang untuk
mendiskriminasi kaum wanita, akan tetapi sebaliknya, sebagai pembebas mereka
dari pendiskriminasian tersebut.
Dari
sini terasa perlu untuk mengungkap arti ayat tersebut sehingga tidak ada kesalah
pahaman yang berlanjut pada nash Alquran dan membenarkan tudingan yang salah
dari para orientalis yang berkeinginan merusak Islam dari dalam.
Nuzulul
Ayat QS. An Nisa : 34
Al-Baidlowi
menuturkan dalam tafsirnya bahwa QS. An Nisa : 34 ini turun ketika salah satu
sahabat Nabi Muhammad SAW, Sa'ad ibn Ar Robi' menampar istrinya, Habibah binti Zaid,
karena istrinya membantah perintahnya (nusyuz). Setelah Sa'ad ibn Ar Robi'
menampar istrinya itu, karena tidak terima atas perlakuaan suaminya, Habibah dan
ayahnya melaporkan kejadian itu pada nabi Muhammad SAW. Kemudian awal pertama Nabi
mengetahui perkara itu, beliau menghukumi bahwa tamparan itu harus diqishosh, dengan
artian Sa'ad harus dibalas tamparan. Lalu turunlah ayat ini, "Ar rijalu
qowwamuna 'ala annisa ...". Ahir kata dari Nabi setelah mengetahui isi
ayat itu, beliau kemudian berkata : "Aku menghendaki sesuatu akan tetapi Allah
menghendaki yang lain, dan yang dikehendaki Allah adalah lebih baik".[5]
Riwayat
itu pun semakna dengan penuturan al-Baghowi dalam tafsirnya. Dengan
meriwayatkan suatu hadits :
الآية نزلت في سعد بن الربيع وكان من النقباء وفي امرأته
حبيبة بنت زيد بن أبي زهير، قاله مقاتل، وقال الكلبي: امرأته حبيبة بنت محمد بن
مسلمة، وذلك أنها نشزت عليه فلطمها، فانطلق أبوها معها إلى النبي صلى الله عليه
وسلم، فقال: أفرشته كريمتي فلطمها، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((لتقتص
من زوجها)) ، فانصرفت مع أبيها لتقتص منه فجاء جبريل عليه
السلام فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((ارجعوا، هذا
جبريل أتاني بشيء")) ، فأنزل الله هذه الآية ، فقال النبي
صلى الله عليه وسلم: (( أردنا أمرًا وأراد الله أمرًا، والذي أراد الله
خير)) ، ورفع القصاص.
Akan
tetapi ia menambah satu lagi riwayat tentang istri dari Sa'ad ibn Robi'. Dalam
riwayat lain nama dari istri itu adalah Habibah binti Muhammad bin Salamah,
bukan Habibah binti Zaid.[6]
Al-Mawardi
dalam tafsirnya menambahkan bahwa sebelum QS. An Nisa : 34 ini turun, pertama
kali Jibril mewahyukan pada Nabi dengan ayat 114 dari surat Toha, yang
bermaksud agar nabi Muhammad SAW jangan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan
sebelum ada wahyu yang turun. Al-Mawardi pun menambah dalam tafsirnya tentang
ayat ini dengan menukil perkataan al-Zuhri bahwa antara suami istri tidak ada
hukum qishosh kecuali pada penghilangan nyawa.[7]
Secara
kesimpulan dapat kita ambil artian bahwa sebenarnya ayat ini turun merespon
pada kejadian seorang wanita yang nusyuz pada suaminya. Secara sepintas Nabi pertama
menghukumi perlakuan Sa'ad menampar istrinya harus diqishosh, namun dalam hukum
wahyu setelahnya menjelaskan bahwa memukul wanita yang nusyuz pada suami tidak
ada qishosh di dalamnya.
Perspektif
Mufassirin Terhadap Makna Qowwamun.
Lafad
قوام mempunyai bentuk dasar kata قام،
يقوم، قوما فهو قائم, secara harfiahnya bisa berarti berdiri,
bangun, membantu, menjaga, menetapi. Lafadz dasar itu kemudian ditashrif mengikuti
wazan فعَال yang mempunyai arti mubalaghoh,
mempunyai makna dilebih-lebihkan dalam pemakaiannya.[8]
Ibrahim
Mustafa dkk. Dalam Al Mu'jam Al Wasith mendefinisikan arti makna قوام sebagai penanggung segala
sesuatu, sebagai tiang, pengatur, dan juga penanggung segala sesuatu yang
berhubungan dengan kebutuhan dalam berumah tangga. Sedangkan jika kata qowwamun
itu di-idofah-kan dengan kata al-amr (قوام الأمر) berarti sesuatu yang menjadi penanggung
perkara tersebut. Ketika disandarkan dengan ahl/keluarga (قوام
أهل بيته ) maka mempunyai arti orang yang menjadi
penanggung dari segala kebutuhan keluarga tersebut.[9]
Ibn
'Ajibah dalam Al-Bahru Al-Madid memberi gambaran tanggungan beban itu
seperti layaknya tanggungan sebuah pemerintahan atas rakyatnya, baik itu dalam
mendidik akhlaq, memberi nafkah, ataupun pengajaran ilmu.[10]
Al-Sya'rowi
menambah artian kata qowwamun dalam artian orang yang diberi hak lebih
untuk menanggung suatu tanggung jawab. Sehingga maksud dari hak ini adalah
suatu tanggung jawab yang di situ ada unsur beban. Jika dikatakan فلان
يقوم على القوم maka berarti bisa dipahami artinya orang
tersebut tidak bisa bersantai-santai karena adanya beban tanggung jawab pada
suatu kaum.[11]
Dari
sini dapat diambil benang merah bahwa makna qowwamun memang memberi
artian pemberian hak lebih pada kaum laki-laki atas perempuan, akan tetapi hak
tersebut bukan hak secara mutlak, tetapi hak untuk menanggung semua beban. Jadi
hak tersebut sebenarnya adalah hak yang kembali pada makna tanggung jawab.
Seorang suami mempunyai hak lebih besar dari pada istri untuk menanggung semua
beban keluarga.
Kandungan
Makna QS. An Nisa : 34
Dalam
Mafatihu al-Ghoib, Al-Rozi menjelaskan setidaknya ada beberapa pemahaman yang
bisa diambil dari kandungan ayat 34 surat An Nisa.
Pertama,
arti kata قوام
dalam pemakaiannya digunakan untuk makna yang bersifat lebih, mubalaghoh.
Jika arti dasarnya adalah hak menanggung beban, maka ketika kata tersebut
disusun dalam bentuk seghot yang seperti itu maka maknanya berarti lebih
dalam dalam menanggung. Kemudian ada dua aspek kenapa laki-laki diberi hak
lebih seperti itu :
a. Sebab
haqiqiyah, yang mana rujukan sebab ini kembali pada bentuk jasmani dan
kekuatan tubuh antara laki-laki dan perempuan.Tidak diragukan lagi bahwa buah
karya laki-laki dalam perjalanan sejarah lebih banyak ketimbang perempuan di bidang
keilmuan dan tidak diragukan pula jikalau kekuatan tubuh laki-laki lebih kuat
dari perempuan secara tabiat alamiahnya. Atas dasar dua sebab haqiqiyah ini,
poster dan kekuatan tubuh, laki-laki mendapat porsi lebih dalam berfikir, kemantapan
kerja, kekuatan, kemampuan menulis secara umumnya, kepandaian mengendarai kuda
dan memanah. Dan pada kaum maskulin pula diberikan amanat kanabian dan ulama.
Dari hal ini pula kenapa laki-laki diberi hak imamah, baik itu imamah
kubra (pemimpin pemerintahan) atau imamah sughro (pemimpin
sholat), jihad, adzan, khutbah, i'tikaf, persaksian dalam hadd dan qishosh
secara ittifaq ulama, dan dalam pernikahan menurut imam Syafi'i ra.
Begitu juga dalam pembagian pada harta warisan dan hak 'ashobah, dan
penanggungan diyat ketika membunuh tidak sengaja, dan hak qosamah, menjadi wali
nikah, hak talak, ruju', dan hak berpoligami. Pada laki-laki pula seorang anak
dinasabkan silsilah keluarganya. Ini semua menunjukkan adanya hak-hak yang bersifat
beban tanggung jawab dimana laki-laki dilebihkan atas perempuan.[12]
Perbedaan ini pun diakui Seorang
ilmuan Amerika, Dr. D. Wechsler ketika menciptakan serangkaian tes IQ yang
mengurangi prasangka kejenderan antara pria dan wanita selama tes ketrampilan
ruang. Dengan mengkaji masyarakat dari berbagai ras, mulai dari primitif hingga ras yang tinggal di
perkotaan di seluruh dunia, Wechsler, seperti halnya para peneliti lain, menarik
kesimpulan bahwa wanita memiliki keunggulan melebihi pria dalam kecerdasan
umum, walau memiliki otak yang sedikit lebih kecil. Ketika harus menyelasaikan
puzzle yang rumit, pria jauh mengungguli kemampuan wanita; dan tanpa
menghiraukan budayanya kita bisa lihat bahwa pria mendapat nilai 92% dan itu
lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang hanya mendapatkan nilai 8%.[13]
b. Sebab
syar'iyah, dari penggalan ayat وبما
أنفقوا من أموالهم yang mana mempunyai arti bahwa Allah
memberikan hak lebih pada laki-laki atas perempuan karena laki-laki telah
ditetapkan syariat sebagai orang yang wajib memberi mahar ketika menikah.
Begitu pula kewajiban mereka memberi nafkah setelah itu.[14]
Kedua,
ada dua kategori wanita yang dituturkan dalam ayat, memandang setelah
dijelaskannya sebab-sebab pendiskriminasian itu kemudian diterangkan jenis-jenis
sifat wanita. Dua kategori itu melihat bahwa dalam kasus berumah tangga seorang
istri adakalanya dia adalah masuk dalam kategori sholihah dan adakalanya tidak
solihah. Hal ini dapat dilihat pada lafadz فالصالحات
قانتات ... untuk wanita yang bertipe solihah.
Sedangkan tipe wanita yang tidak solihah disebutkan dalam ayat dengan
menggunakan istilah nusyuz, yaitu pada penggalan kalimat واللاتي
تخافون نشوزهن ... . Kemudian perincian dua kategaori itu
terbagi lagi dalam segmen makna dari lafadz yang secara tidak langsung
memberikan pencerahan bagaimana mengetahui kesolihan seorang wanita.
Pada
istri jenis pertama, yakni yang termasuk dalam kategori sholihah, setidaknya
ada dua alamat yang bisa di-istimbath dari ayat :
a. Ketaatannya
dalam menjalankan perintah-perintah Allah. Hal ini dapat dipahami dari kata قانتات
, dimana dalam arti katanya bermakna langgengnya taat terhadap suami.
b. Pemeliharaan
hak-hak suami ketika ada ataupun tidak ada. Alamat ini dapat dipahami dari kata
حافظات للغيب بما حفظ الله
. Sedang pemeliharaan tersebut meliputi beberapa aspek kehidupan berumah
tangga. Di antaranya adalah seorang istri harus menjaga agar tidak berzina
dengan orang lain, menjaga harta benda suami agar tidak terbuang sia-sia,
menjaga tempat di mana ia berada, layak atau tidak bagi seorang istri, dan
lain-lain[15].
Pada
istri yang bersifat tidak solihah, dalam ayat diibaratkan ketika sang suami
merasa ada nusyuz dari pihak istri. Dalam keadaan yang seperti itu, secara
langsung Alquran memberikan solusi pemecahan dengan tiga tahapan, yaitu :
a. Menasehatinya
agar tidak membantah suami.
b. Mengucilkannya,
dalam artian tidak menggaulinya dalam waktu nusyuznya.
c. Kemudian
memukulnya.
Terjadi
perselisihan di kalangan fuqoha' apakah makna ketiga alternatif itu berarti
secara tertib ataukah tidak. Qoul yang mu'tamad menurut Syafiiyah adalah
mengatakan bahwa ketiga alternatif itu bermakna tertib, dengan artian seorang
suami harus menasehati sang istri dulu baru setelah tidak berhasil maka ia
menggunakan jalan mengucilkan istrinya. Jika masih tidak berhasil maka islam
mengizinkan bagi suami untuk memukul istri yang nusyuz tersebut. Kemudian jika
sang istri tersebut telah kembali tidak nusyuz maka tidak ada jalan bagi sang
suami untuk melakukan tiga alternatif tersebut.
Kesimpulan
Permasalahan
jender secara langsung atau tidak langsung sering menuduh Islam tidak
menghargai hak manusia. Jika tidak demikian jalan lain yang mungkin ditempuh
para penuduh-penuduh itu adalah dengan jalan menyalahkan para ulama mufasirin
telah melakukan kesalahan dalam memaknai teks-teks agama. Tuduhan itu semakin tegas
saat sebagian orang awam terkelabuhi akan adanya salah satu ayat dalam Alquran yang
secara dzohir-nya mengunggulkan laki-laki di atas perempuan, yakni QS.
An Nisa : 34
Setelah
menimbang tentang jender yang bermakna suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya
kemudian menyelaraskannya dengan nuzulul ayat QS. An nisa : 34
dan makna kandungannya maka sebenarnya tuduhan itu tidak benar karena
sebenarnya ayat ini turun merespon tentang seorang laki-laki yang menampar istrinya
karena melakukan nusyuz. Sedang arti kata qowwamun sendiri sebenarnya
bermakna melebihkan hak untuk menanggung beban tanggung jawab bukan umum untuk
semua hak.
Dalam ayat itu juga
menyebutkan bahwa diskriminasi memiliki dua alasan, yaitu alasan yang oleh Al-Rozi
diistilahkan dengan alasan haqiqiyah dan syar'iyah. Selain itu
pula ada dua jenis perempuan yang termaktub dalam ayat, wanita yang sholihah
dan tidak sholihah. Wanita yang sholihah digambarkan dengan wanita yang taat
menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjaga hak-hak suaminya baik
ketika ada ataupun tidak. Untuk wanita yang bertipe tidak sholihah digambarkan
dengan wanita yang nusyuz pada suaminya. Alquran memberikan tiga alternatif
untuk menanggapi hal yang seperti ini, yaitu dengan menasehatinya, kemudian
berpisah ranjang jika masih belum sadar dari nusyuznya, kemudian memukulnya
jika dua alternatif sebelumnya tidak berhasil. Setelah itu jika sang wanita
telah sadar maka tidak diperbolehkan memukul atau mengucilkannya. Wa Allahu
a'lam.
Daftar Pustaka
·
Al-Mawardi, Ali
bin Muhammad. Al-Naktu Wa al-'Uyun. Juz. 1. Baerut : Dar al-Kutub
al-Ilmiyah. t.th.
·
Al-Sya'rowi,
Muhammad Mutawalla. Tafsir al-Sya'rowi. Juz. 4. Cairo : Ahbarul Yaum,
1991 M/1411 H.
·
Al-Asyuthi,
Jalal. Huququl Mar'ah Bainal Haqiqah Wal Khiyal. Cet. I. Cairo :
Maktabah al-Qohiroh, 2003 M.
·
Al-Baghowi,
al-Husain bin Mas'ud. Ma'alimu al-Tanzil. Juz. 1. Baerut : Dar Ihyai
al-Turast al-Arabi, 1420 H/2000 M.
·
Al-Baidlowi,
Abdullah bin Umar. Anwaru al-Tanzil Wa al-Asraru al-Ta'wil. Baerut :
Darul al-Fikr, 1402 H/ 1982 M.
·
Allan, dan
Barbara Pease. Why Man Don't Listen And Women Can't Read Maps.
Diterjemahkan oleh Isma Badrawati dengan judul Mengungkap Perbedaan Pikiran
Pria Dan Wanita Agar Sukses Menbina Hubungan. Cet. I. Jakarta Selatan :
Ufuk, 2005.
·
Al-Rozi, Muhammad
bin Umar. Mafatuhul Ghoib. Juz. 9. Baerut : Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M.
·
Ibn 'Ajibah,
Ahmad Bin Muhammad. Al Bahru Al Madid. Maktabah Syamilah.
·
Ibn 'Aqil, Abdullah.
Syarah Ibn 'Aqil 'Ala Alfiyah Ibn Malik. Juz. 4. Cairo : Dar al-Ithla',
2004 M.
·
Ibn Daqiqi
al-Ied, Taqiyyuddin. Ihkamu Al-Ahkam. Baerut : Dar al-Fikr, 1996 M.
·
Latif, Muhammad Nur. "Analisis Kritik Sastra Arab Karya
Nawal El-Sa'dawi", Nadi Al Adab, Tahun ke 4,
Nomor 1, Pebruari 2006, h. 45
·
Mustofa, Ibrahih
dkk. Al-Mu'jam al-Wasith. Cet. II. Istanbul : al-Maktabah al-Islamiyah,
t. th.
·
Umar,
Nasaruddin. "Perspektif Jender Dalam Islam", Jurnal Pemikiran
Islam Paramadina. Jakarta Selatan : Yayasan Paramadina. t.th
Identitas penulis :
Nama : Mohamad Bejo
Tempat/tgl lahir : Demak, 22 Maret 1987
Pendidikan
:
Mahasiswa Universitas Al Ahgaff, mustawa khomis
Alamat : Aided,
Tarim, Hadrahomaut, Yaman
[2] H.Muh.Nur
Latif, "Analisis Kritik Sastra Arab Karya Nawal
El-Sa'dawi", Nadi Al Adab, Tahun ke 4, Nomor 1, Pebruari 2006, hal.
45
[4] Al-Asyuthi,
Jalal. Huququl Mar'ah Bainal Haqiqah Wal Khiyal. Cet. I. Cairo :
Maktabah al-Qohiroh, 2003 M, h. 66
[5] Al-Baidlowi,
Abdullah bin Umar. Anwaru al-Tanzil Wa al-Asraru al-Ta'wil. Baerut :
Darul al-Fikr, 1402 H/1982 M. h. 217.
[6] Al-Baghowi,
al-Husain bin Mas'ud. Ma'alimu al-Tanzil. Juz. 1. Baerut : Dar Ihyai
al-Turast al-Arabi, 1420 H/2000 M. h. 610.
[7] Al-
Mawardi, Ali bin Muhammad. Al-Naktu Wa al-'Uyun. Juz. 1. Baerut : Dar
al-Kutub al-Ilmiyah. h. 480-481.
[11] Muhammad
Mutawalla Al-Sya'rowi. Tafsir al-Sya'rowi. Juz. 4. Cairo : Ahbaru
al-Yaum, 1991 M/1411 H. h. 2200.
[12] Muhammad bin Umar Al-Rozi. Mafatuhul Ghoib.
Juz. 9. Baerut : Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M. h. 92.
[15] Al-Rozi, Muhammad bin Umar. Mafatuhul Ghoib.
Juz. 9. Baerut : Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M. h. 92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar