Menu

Minggu, 23 September 2012

ANALISIS DISKRIMINASI JENDER QS. AN NISA' : 34 MENURUT PERSPEKTIF MUFASIRIN


ANALISIS DISKRIMINASI JENDER QS. AN NISA' : 34 MENURUT PERSPEKTIF MUFASIRIN
Mohamad Bejo

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kata kunci : jender, diskriminasi,

Pendahuluan
Islam, agama yang datang dengan bendera penyamaan derajatnya, sering kali mendapat benturan-benturan kambing hitam sebagai agama yang tidak menghargai HAM. Terlebih saat sebagian kasus-kasus yang ditemukan mempunyai pelaku yang erat hubunganannya dengan pemeluk Islam itu sendiri. Padahal kedatangan Islam secara universal sebenarnya berusaha menghapus adanya diskriminasi sosial agar sesama manusia dapat hidup rukun sesuai dengan koridor hukum syariat, baik berupa ubudiyah maupun muamalah.
Kerancuan ini sangat tampak, salah satunya pada kasus persamaan hak antara kaum maskulin laki-laki dan kuam feminim perempuan. Sejak era jahiliyah  ketertidasan kaum hawa selalu mendapat nomor terahir dalam hak sosial. Sebagai contoh kongkritnya adalah pengurungan wanita yang ditalak. Untuk menyelesaikan waktu iddah-nya seorang wanita harus dikurung selama selama satu tahun dalam suatu ruangan tertutup[1]. Kemudian Islam datang. Akan tetapi setelah era Islam berlanjut dalam episodenya dari generasi ke genarasi, selanjutnya terdapat kericuhan pemahaman yang malah sebaliknya menganggap Islam tidak menghargai persamaan hak tersebut.
Kerancuan itu malah menuduh sebagian ulama-ulama yang menafsiri Alquran telah melakukan diskriminasi pada teks-teks agama. Hal ini terlihat ketika mereka, pihak penuduh mengatakan :
Agama Islam, sebagaimana agama-agama samawi yang lain, Yahudi dan Nasrani diyakini membawa gagasan pembebasan, kemaslahatan, dan keadilan bagi kehidupan manusia. Akan tetapi pada kenyataannya justru tafsir keagamaan atasnya dipandang lebih melahirkan ketidakadilan atau ketimpangan pola hubungan jender. Bahkan bahasa-bahasa yang digunakan maupun tafsir atas kitab suci tidak terlepas dari bias-bias ketimpangan jender, seperti atribusi maskulinitas bagi Tuhan.[2]
Hal ini menjadi teropsesi lagi ketika ternyata ada sebuah teks nash Alquran yang secara dzohir-nya mengunggulkan kaum laki-laki di atas kaum perempuan. Nash ini kerap dialihdalilkan sebagian kalangan ketika mereka membahas tentang isu-isu jender sebagai senjata untuk menuding Islam tidak menghargai persamaan. Contoh mudahnya saja adalah pada ayat pembagian warisan, perintah menutup aurat, dan terlebih lagi yang secara lebih jelas adalah ayat 34 pada surat An Nisa yang berartikan : "Ar rijalu qowwamuna 'ala nisa".
Secara sepintas nash ayat tersebut beriinisiatif bahwa laki-laki lebih tinggi strata kedudukannya dari pada wanita. Bahkan memahami hal tersebut tidak harus membutuhkan imajinasi tinggi. Kita akan menemukan pendiskriminasian tersebut secara arti harfiahnya. Namun di sinilah sebenarnya kesalahan kita ketika memaknai suatu teks tanpa dasar tatanan ilmu yang berlaku. Karena ayat-ayat dalam Alquran tidak berdiri hanya pada pemahaman satu kalimat saja, akan tetapi mempunyai keterkaitan dengan ayat-ayat lain dan khususnya lagi keterkaitannya dengan asbabul nuzul ayat tersebut. Ini yang sering membuat kesalahpahaman. Ketika unsur-unsur ini terlepas saat mamahami penggalan ayat 34 surat An Nisa maka kita akan terjerumus pada kerancuan yang dampaknya adalah penuduhan kambing hitam Islam sebagai agama yang  tidak menghargai persamaan hak. Andai mereka tidak menuduh Islam maka mereka akan menuduh para ulama-ulama mufasirin telah salah dalam memaknai Islam. Dari sini terasa perlu sekali untuk menganalisi secara benar maksud dari ayat itu. Dengan harapan, teks yang empat belas abad tanpa masalah itu dapat secara tegas kita terima dalam konteks kehidupan kita sekarang dan menghilangkan tuduhan-tuduhan yang sebenarnya berunsur penggelapan makna Islam.
Definisi Jender
Kata jender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin". Dalam Webster's New World Dictionary, jender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Jender: an Introduction mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian jender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of jender).
H. T. Wilson dalam Sex and Jender mengartikan jender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan jender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan jender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Jender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).
Kata jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan".
Dari berbagai definisi di atas Nasruddin Umar menyimpulkan bahwa jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Jender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.[3]
Isu jender merupakan permasalahan yang baru muncul baru-baru ini. Tak bisa dipungkiri bahwa induk perkara jender berawal dari Eropa kemudian merambat ke seluruh dunia. Negara-negara Islam pun tak luput menjadi korban. Jalal Al Asyuthi dalam bukunya Huququl Mar'ah Bainal Haqiqah Wal Khiyal menyebutkan lima sebab kenapa isu jender ini bisa berkembang dengan begitu cepat dari para pemikir Eropa :
1.      Keinginan untuk memusnahkan adat-istiadat Islam dan norma-norma di dalamnya.
2.      Pemindahan objek untuk menyebarkan paham jender ini setelah mereka, kaum aktivis, tidak mampu lagi menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka pada kaum laki-laki. Bahkan mereka mendapat perlawanan dalam pemikiran ini dari kaum laki-laki. Karena mereka merasa tidak menemukan jalan lain untuk menyebarkan pemikiran, maka mereka beralih objek dengan membuat perempuan sebagai sarana untuk mencetuskan pemikiran mereka.
3.      Keinginan untuk memperkerjakan wanita-wanita Islam seperti wanita-wanita Eropa.
4.      Merealisasikan hasrat mereka pada wanita muslimah. Karena mereka tidak bisa secara langsung sampai pada para wanita muslimah disebabkan larangan-larangan agama, maka secara tidak langsung dengan isu jender mereka ingin merealisasikan ide mereka, mengajak para wanita muslimah untuk memberontak dari dalam.
5.      Keinginan untuk membuat wanita menjadi murahan dengan berada di setiap tempat sesuka mereka.[4]
Pembatasan Masalah
Terdapat banyak ayat yang menyinggung permasalahan jender dalam Alquran sehingga tidak semua ayat dituntut untuk dibahas secara rinci. Di antara ayat-ayat itu adalah QS. Al Baqoroh : 228 yang artinya :
"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Dalam ayat tersebut dituturkan bahwa laki-laki memilki tingkatan lebih tinggi daripada perempuan, isterinya. Dalam ayat lain Allah secara jelas menuturkan adanya pendiskriminasian tersebut, akan tetapi memerintah agar diskriminasi jangan sampai menjadikan suatu permasalahan iri antara kaum maskulin, laki-laki dan kaum feminim perempuan, seperti pada surat QS. An Nisa : 32 yang artinya :
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu."
Kemudian di antara beberapa ayat itu terdapat satu ayat yang secara lebih tegas lagi, dzohir-nya mengandung unsur pendiskriminasian antara laki-laki dan perempuan. Jika orang awam memaknai ayat tersebut, secara kasap mata maka akan menyangka bahwa ada ketidakadilan dalam Alquran. Ayat tersebut adalah QS. An Nisa : 34 yang artinya :
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar."
Arti kata "Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita" memberikan respon bahwa ada unsur pembatasan pada wanita untuk menjadi pemimpin. Ketika hal itu disesuaikan dengan asas hak manusia maka secara lazim akan terjadi sebuah pertentangan. Padahal kita tahu pasti bahwa Islam tidak datang untuk mendiskriminasi kaum wanita, akan tetapi sebaliknya, sebagai pembebas mereka dari pendiskriminasian tersebut.
Dari sini terasa perlu untuk mengungkap arti ayat tersebut sehingga tidak ada kesalah pahaman yang berlanjut pada nash Alquran dan membenarkan tudingan yang salah dari para orientalis yang berkeinginan merusak Islam dari dalam.
Nuzulul Ayat QS. An Nisa : 34
Al-Baidlowi menuturkan dalam tafsirnya bahwa QS. An Nisa : 34 ini turun ketika salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, Sa'ad ibn Ar Robi' menampar istrinya, Habibah binti Zaid, karena istrinya membantah perintahnya (nusyuz). Setelah Sa'ad ibn Ar Robi' menampar istrinya itu, karena tidak terima atas perlakuaan suaminya, Habibah dan ayahnya melaporkan kejadian itu pada nabi Muhammad SAW. Kemudian awal pertama Nabi mengetahui perkara itu, beliau menghukumi bahwa tamparan itu harus diqishosh, dengan artian Sa'ad harus dibalas tamparan. Lalu turunlah ayat ini, "Ar rijalu qowwamuna 'ala annisa ...". Ahir kata dari Nabi setelah mengetahui isi ayat itu, beliau kemudian berkata : "Aku menghendaki sesuatu akan tetapi Allah menghendaki yang lain, dan yang dikehendaki Allah adalah lebih baik".[5]
Riwayat itu pun semakna dengan penuturan al-Baghowi dalam tafsirnya. Dengan meriwayatkan suatu hadits :

الآية نزلت في سعد بن الربيع وكان من النقباء وفي امرأته حبيبة بنت زيد بن أبي زهير، قاله مقاتل، وقال الكلبي: امرأته حبيبة بنت محمد بن مسلمة، وذلك أنها نشزت عليه فلطمها، فانطلق أبوها معها إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: أفرشته كريمتي فلطمها، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((لتقتص من زوجها)) ، فانصرفت مع أبيها لتقتص منه فجاء جبريل عليه السلام فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((ارجعوا، هذا جبريل أتاني بشيء")) ، فأنزل الله هذه الآية ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (( أردنا أمرًا وأراد الله أمرًا، والذي أراد الله خير)) ، ورفع القصاص.
Akan tetapi ia menambah satu lagi riwayat tentang istri dari Sa'ad ibn Robi'. Dalam riwayat lain nama dari istri itu adalah Habibah binti Muhammad bin Salamah, bukan Habibah binti Zaid.[6]
Al-Mawardi dalam tafsirnya menambahkan bahwa sebelum QS. An Nisa : 34 ini turun, pertama kali Jibril mewahyukan pada Nabi dengan ayat 114 dari surat Toha, yang bermaksud agar nabi Muhammad SAW jangan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan sebelum ada wahyu yang turun. Al-Mawardi pun menambah dalam tafsirnya tentang ayat ini dengan menukil perkataan al-Zuhri bahwa antara suami istri tidak ada hukum qishosh kecuali pada penghilangan nyawa.[7]
Secara kesimpulan dapat kita ambil artian bahwa sebenarnya ayat ini turun merespon pada kejadian seorang wanita yang nusyuz pada suaminya. Secara sepintas Nabi pertama menghukumi perlakuan Sa'ad menampar istrinya harus diqishosh, namun dalam hukum wahyu setelahnya menjelaskan bahwa memukul wanita yang nusyuz pada suami tidak ada qishosh di dalamnya.
Perspektif Mufassirin Terhadap Makna Qowwamun.
Lafad قوام mempunyai bentuk dasar kata قام، يقوم، قوما فهو قائم, secara harfiahnya bisa berarti berdiri, bangun, membantu, menjaga, menetapi. Lafadz dasar itu kemudian ditashrif mengikuti wazan فعَال yang mempunyai arti mubalaghoh, mempunyai makna dilebih-lebihkan dalam pemakaiannya.[8] 
Ibrahim Mustafa dkk. Dalam Al Mu'jam Al Wasith mendefinisikan arti makna قوام sebagai penanggung segala sesuatu, sebagai tiang, pengatur, dan juga penanggung segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan dalam berumah tangga. Sedangkan jika kata qowwamun itu di-idofah-kan dengan kata al-amr (قوام الأمر) berarti sesuatu yang menjadi penanggung perkara tersebut. Ketika disandarkan dengan ahl/keluarga (قوام أهل بيته ) maka mempunyai arti orang yang menjadi penanggung dari segala kebutuhan keluarga tersebut.[9]
Ibn 'Ajibah dalam Al-Bahru Al-Madid memberi gambaran tanggungan beban itu seperti layaknya tanggungan sebuah pemerintahan atas rakyatnya, baik itu dalam mendidik akhlaq, memberi nafkah, ataupun pengajaran ilmu.[10]
Al-Sya'rowi menambah artian kata qowwamun dalam artian orang yang diberi hak lebih untuk menanggung suatu tanggung jawab. Sehingga maksud dari hak ini adalah suatu tanggung jawab yang di situ ada unsur beban. Jika dikatakan فلان يقوم على القوم maka berarti bisa dipahami artinya orang tersebut tidak bisa bersantai-santai karena adanya beban tanggung jawab pada suatu kaum.[11]
Dari sini dapat diambil benang merah bahwa makna qowwamun memang memberi artian pemberian hak lebih pada kaum laki-laki atas perempuan, akan tetapi hak tersebut bukan hak secara mutlak, tetapi hak untuk menanggung semua beban. Jadi hak tersebut sebenarnya adalah hak yang kembali pada makna tanggung jawab. Seorang suami mempunyai hak lebih besar dari pada istri untuk menanggung semua beban keluarga.
Kandungan Makna QS. An Nisa : 34
Dalam Mafatihu al-Ghoib, Al-Rozi menjelaskan setidaknya ada beberapa pemahaman yang bisa diambil dari kandungan ayat 34 surat An Nisa.
Pertama, arti kata قوام  dalam pemakaiannya digunakan untuk makna yang bersifat lebih, mubalaghoh. Jika arti dasarnya adalah hak menanggung beban, maka ketika kata tersebut disusun dalam bentuk seghot yang seperti itu maka maknanya berarti lebih dalam dalam menanggung. Kemudian ada dua aspek kenapa laki-laki diberi hak lebih seperti itu :
a.       Sebab haqiqiyah, yang mana rujukan sebab ini kembali pada bentuk jasmani dan kekuatan tubuh antara laki-laki dan perempuan.Tidak diragukan lagi bahwa buah karya laki-laki dalam perjalanan sejarah lebih banyak ketimbang perempuan di bidang keilmuan dan tidak diragukan pula jikalau kekuatan tubuh laki-laki lebih kuat dari perempuan secara tabiat alamiahnya. Atas dasar dua sebab haqiqiyah ini, poster dan kekuatan tubuh, laki-laki mendapat porsi lebih dalam berfikir, kemantapan kerja, kekuatan, kemampuan menulis secara umumnya, kepandaian mengendarai kuda dan memanah. Dan pada kaum maskulin pula diberikan amanat kanabian dan ulama. Dari hal ini pula kenapa laki-laki diberi hak imamah, baik itu imamah kubra (pemimpin pemerintahan) atau imamah sughro (pemimpin sholat), jihad, adzan, khutbah, i'tikaf, persaksian dalam hadd dan qishosh secara ittifaq ulama, dan dalam pernikahan menurut imam Syafi'i ra. Begitu juga dalam pembagian pada harta warisan dan hak 'ashobah, dan penanggungan diyat ketika membunuh tidak sengaja, dan hak qosamah, menjadi wali nikah, hak talak, ruju', dan hak berpoligami. Pada laki-laki pula seorang anak dinasabkan silsilah keluarganya. Ini semua menunjukkan adanya hak-hak yang bersifat beban tanggung jawab dimana laki-laki dilebihkan atas perempuan.[12]
Perbedaan ini pun diakui Seorang ilmuan Amerika, Dr. D. Wechsler ketika menciptakan serangkaian tes IQ yang mengurangi prasangka kejenderan antara pria dan wanita selama tes ketrampilan ruang. Dengan mengkaji masyarakat dari berbagai ras, mulai  dari primitif hingga ras yang tinggal di perkotaan di seluruh dunia, Wechsler, seperti halnya para peneliti lain, menarik kesimpulan bahwa wanita memiliki keunggulan melebihi pria dalam kecerdasan umum, walau memiliki otak yang sedikit lebih kecil. Ketika harus menyelasaikan puzzle yang rumit, pria jauh mengungguli kemampuan wanita; dan tanpa menghiraukan budayanya kita bisa lihat bahwa pria mendapat nilai 92% dan itu lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang hanya mendapatkan nilai 8%.[13]

b.      Sebab syar'iyah, dari penggalan ayat وبما أنفقوا من أموالهم yang mana mempunyai arti bahwa Allah memberikan hak lebih pada laki-laki atas perempuan karena laki-laki telah ditetapkan syariat sebagai orang yang wajib memberi mahar ketika menikah. Begitu pula kewajiban mereka memberi nafkah setelah itu.[14]
Kedua, ada dua kategori wanita yang dituturkan dalam ayat, memandang setelah dijelaskannya sebab-sebab pendiskriminasian itu kemudian diterangkan jenis-jenis sifat wanita. Dua kategori itu melihat bahwa dalam kasus berumah tangga seorang istri adakalanya dia adalah masuk dalam kategori sholihah dan adakalanya tidak solihah. Hal ini dapat dilihat pada lafadz فالصالحات قانتات ... untuk wanita yang bertipe solihah. Sedangkan tipe wanita yang tidak solihah disebutkan dalam ayat dengan menggunakan istilah nusyuz, yaitu pada penggalan kalimat واللاتي تخافون نشوزهن ... . Kemudian perincian dua kategaori itu terbagi lagi dalam segmen makna dari lafadz yang secara tidak langsung memberikan pencerahan bagaimana mengetahui kesolihan seorang wanita.
Pada istri jenis pertama, yakni yang termasuk dalam kategori sholihah, setidaknya ada dua alamat yang bisa di-istimbath dari ayat :
a.       Ketaatannya dalam menjalankan perintah-perintah Allah. Hal ini dapat dipahami dari kata قانتات , dimana dalam arti katanya bermakna langgengnya taat terhadap suami.
b.      Pemeliharaan hak-hak suami ketika ada ataupun tidak ada. Alamat ini dapat dipahami dari kata حافظات للغيب بما حفظ الله . Sedang pemeliharaan tersebut meliputi beberapa aspek kehidupan berumah tangga. Di antaranya adalah seorang istri harus menjaga agar tidak berzina dengan orang lain, menjaga harta benda suami agar tidak terbuang sia-sia, menjaga tempat di mana ia berada, layak atau tidak bagi seorang istri, dan lain-lain[15].
Pada istri yang bersifat tidak solihah, dalam ayat diibaratkan ketika sang suami merasa ada nusyuz dari pihak istri. Dalam keadaan yang seperti itu, secara langsung Alquran memberikan solusi pemecahan dengan tiga tahapan, yaitu :
a.       Menasehatinya agar tidak membantah suami.
b.      Mengucilkannya, dalam artian tidak menggaulinya dalam waktu nusyuznya.
c.       Kemudian memukulnya.
Terjadi perselisihan di kalangan fuqoha' apakah makna ketiga alternatif itu berarti secara tertib ataukah tidak. Qoul yang mu'tamad menurut Syafiiyah adalah mengatakan bahwa ketiga alternatif itu bermakna tertib, dengan artian seorang suami harus menasehati sang istri dulu baru setelah tidak berhasil maka ia menggunakan jalan mengucilkan istrinya. Jika masih tidak berhasil maka islam mengizinkan bagi suami untuk memukul istri yang nusyuz tersebut. Kemudian jika sang istri tersebut telah kembali tidak nusyuz maka tidak ada jalan bagi sang suami untuk melakukan tiga alternatif tersebut.

Kesimpulan

Permasalahan jender secara langsung atau tidak langsung sering menuduh Islam tidak menghargai hak manusia. Jika tidak demikian jalan lain yang mungkin ditempuh para penuduh-penuduh itu adalah dengan jalan menyalahkan para ulama mufasirin telah melakukan kesalahan dalam memaknai teks-teks agama. Tuduhan itu semakin tegas saat sebagian orang awam terkelabuhi akan adanya salah satu ayat dalam Alquran yang secara dzohir-nya mengunggulkan laki-laki di atas perempuan, yakni QS. An Nisa : 34
Setelah menimbang tentang jender yang bermakna suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya kemudian menyelaraskannya dengan nuzulul ayat QS. An nisa : 34 dan makna kandungannya maka sebenarnya tuduhan itu tidak benar karena sebenarnya ayat ini turun merespon tentang seorang laki-laki yang menampar istrinya karena melakukan nusyuz. Sedang arti kata qowwamun sendiri sebenarnya bermakna melebihkan hak untuk menanggung beban tanggung jawab bukan umum untuk semua hak.
Dalam ayat itu juga menyebutkan bahwa diskriminasi memiliki dua alasan, yaitu alasan yang oleh Al-Rozi diistilahkan dengan alasan haqiqiyah dan syar'iyah. Selain itu pula ada dua jenis perempuan yang termaktub dalam ayat, wanita yang sholihah dan tidak sholihah. Wanita yang sholihah digambarkan dengan wanita yang taat menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjaga hak-hak suaminya baik ketika ada ataupun tidak. Untuk wanita yang bertipe tidak sholihah digambarkan dengan wanita yang nusyuz pada suaminya. Alquran memberikan tiga alternatif untuk menanggapi hal yang seperti ini, yaitu dengan menasehatinya, kemudian berpisah ranjang jika masih belum sadar dari nusyuznya, kemudian memukulnya jika dua alternatif sebelumnya tidak berhasil. Setelah itu jika sang wanita telah sadar maka tidak diperbolehkan memukul atau mengucilkannya. Wa Allahu a'lam.



Daftar Pustaka

·         Al-Mawardi, Ali bin Muhammad. Al-Naktu Wa al-'Uyun. Juz. 1. Baerut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah. t.th.
·         Al-Sya'rowi, Muhammad Mutawalla. Tafsir al-Sya'rowi. Juz. 4. Cairo : Ahbarul Yaum, 1991 M/1411 H.
·        Al-Asyuthi, Jalal. Huququl Mar'ah Bainal Haqiqah Wal Khiyal. Cet. I. Cairo : Maktabah al-Qohiroh, 2003 M.
·        Al-Baghowi, al-Husain bin Mas'ud. Ma'alimu al-Tanzil. Juz. 1. Baerut : Dar Ihyai al-Turast al-Arabi, 1420 H/2000 M.
·        Al-Baidlowi, Abdullah bin Umar. Anwaru al-Tanzil Wa al-Asraru al-Ta'wil. Baerut : Darul al-Fikr, 1402 H/ 1982 M.
·         Allan, dan Barbara Pease. Why Man Don't Listen And Women Can't Read Maps. Diterjemahkan oleh Isma Badrawati dengan judul Mengungkap Perbedaan Pikiran Pria Dan Wanita Agar Sukses Menbina Hubungan. Cet. I. Jakarta Selatan : Ufuk, 2005.
·        Al-Rozi, Muhammad bin Umar. Mafatuhul Ghoib. Juz. 9. Baerut : Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M.
·        Ibn 'Ajibah, Ahmad Bin Muhammad. Al Bahru Al Madid. Maktabah Syamilah.
·        Ibn 'Aqil, Abdullah. Syarah Ibn 'Aqil 'Ala Alfiyah Ibn Malik. Juz. 4. Cairo : Dar al-Ithla', 2004 M.
·         Ibn Daqiqi al-Ied, Taqiyyuddin. Ihkamu Al-Ahkam. Baerut : Dar al-Fikr, 1996 M.
·         Latif, Muhammad Nur. "Analisis Kritik Sastra Arab Karya Nawal El-Sa'dawi", Nadi Al Adab, Tahun ke 4, Nomor 1, Pebruari 2006, h. 45
·        Mustofa, Ibrahih dkk. Al-Mu'jam al-Wasith. Cet. II. Istanbul : al-Maktabah al-Islamiyah, t. th.
·         Umar, Nasaruddin. "Perspektif Jender Dalam Islam", Jurnal Pemikiran Islam Paramadina. Jakarta Selatan : Yayasan Paramadina. t.th


Identitas penulis :
Nama                                           : Mohamad Bejo
Tempat/tgl lahir                       : Demak, 22 Maret 1987
Pendidikan                                  : Mahasiswa Universitas Al Ahgaff, mustawa khomis
Alamat                                         : Aided, Tarim, Hadrahomaut, Yaman






[1]Ibn Daqiqul al-Ied, Ihkamu al-Ahkam. h. 516
[2] H.Muh.Nur Latif, "Analisis Kritik Sastra Arab Karya Nawal El-Sa'dawi", Nadi Al Adab, Tahun ke 4, Nomor 1, Pebruari 2006, hal. 45
[3]  Umar, Nasaruddin. "Perspektif Jender Dalam Islam", Jurnal Pemikiran Islam Paramadina.
[4] Al-Asyuthi, Jalal. Huququl Mar'ah Bainal Haqiqah Wal Khiyal. Cet. I. Cairo : Maktabah al-Qohiroh, 2003 M, h. 66
[5] Al-Baidlowi, Abdullah bin Umar. Anwaru al-Tanzil Wa al-Asraru al-Ta'wil. Baerut : Darul al-Fikr, 1402 H/1982 M. h. 217.
[6] Al-Baghowi, al-Husain bin Mas'ud. Ma'alimu al-Tanzil. Juz. 1. Baerut : Dar Ihyai al-Turast al-Arabi, 1420 H/2000 M. h. 610.
[7] Al- Mawardi, Ali bin Muhammad. Al-Naktu Wa al-'Uyun. Juz. 1. Baerut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah. h. 480-481.
[8] Lihat Syarah Ibn 'Aqil 'Ala Alfiah Ibn Malik, juz : 4, h. 56
[9]  Ibrahih Mustofa. Al-Mu'jam Al-Wasith. Cet. II. Istanbul : Al-Maktabah Al-Islamiyah, h. 767-768.
[10]  Ahmad Bin Muhammad Ibn 'Ajibah,. Al Bahru Al Madid. Juz 1. Maktabah Syamilah. h. 422.
[11] Muhammad Mutawalla Al-Sya'rowi. Tafsir al-Sya'rowi. Juz. 4. Cairo : Ahbaru al-Yaum, 1991 M/1411 H. h. 2200.

[12] Muhammad bin Umar Al-Rozi. Mafatuhul Ghoib. Juz. 9. Baerut : Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M. h. 92.
[13] Allan dan Barbara Pease. Why Man Don't Listen And Women Can't Read Maps, h. 207
[14] Muhammad bin Umar Al-Rozi, op. cit. h. 92.
[15]  Al-Rozi, Muhammad bin Umar. Mafatuhul Ghoib. Juz. 9. Baerut : Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M. h. 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar