SERDADU MEGA
Oleh :Mohamad Bejo
Raut wajah Setyo
terpaku diam. Ia rundukkan kepalanya seraya memegang pecis kecil kumal yang
terlihat tua, yang berada di kepalanya. Tongkat gembalanya ia sandarkan di
samping batu besar di bawah sebuah pohon beringin rindang yang tumbuh di sebuah
tanah lapang, ujung selatan desa Jatirogo. Suara kambing riuh piuk di
sekelilingnya melantun bagai musik rok yang tak beraturan menghiasi dendang
telinganya. Sesekali kambing-kambign itu ia bentak untuk diam karena geram,
tapi ia pun sadar bahwa mereka hanya seekor hewan tak berakal, yang hanya
befikir untuk memuasakn nafsu-nafsu mereka saja. Setyo termenung dalam
lamunannya. Baju kokok tebal model tua dengan peniti bulat tebal besar
menunjukkan bahwa laki-laki ini pernah muda sekitar tahun tujuh puluhan yang
lalu. Celana hitam tiga perempat mirip pendekar dengan warna kulit kaki hitam
kelam mengisyaratkan bahwa langkahnya telah banyak menerpa luka-luka kehidupan.
Setyo, lelaki
penggembala kambing yang beumur sekitar lima puluh delapan tahunan. Seorang
pria tua yang tengah menghabiskan masa tuanya bersama kambing-kambing
gembalaannya. Pria yang ditinggal mati istri dan dua anak nya sekitar sepuluh
tahun yang lalu, saat seluruh penduduk desa berondong-bondong mengamuk menuju
rumahnya dengan obor-obor amarah menuntut pengembala kambing itu untuk turun
jabatan waktu itu dari kursi lurahnya. Amukan masa yang biadab malam itu
membuat ia dan semua keluarganya ketakutan dan kaget setengah mati.
Lemparan-lemparan
batu dari jalan menghujani rumahnya, menghancurkan hampir semua kaca rumah yang
ia bangun dengan jerih payahnya selama ini. Tak berhenti sampai disitu,
lemparan batu itu berubah menjadi leparan obor-obor api yang menghujam, selayak
api sihir yang datang menyantet di tengah malam. Dengan tak terelakan semua
harta dan rumahnya yang ia timbun selama ini hancur ludes dalam satu malam,
hanya karena kebodohannya yang pernah ia lakukan pada penduduk desanya. Riuh
piuh gertakan beribu mulut penuh amarah
membludak mendengung di telinganya, seakan terekam jelas sampai waktu
tuanya. Rendo anak sulungnya yang kebetulan kamarnya berada di lantai atas
mendapat nasib sial pertama, setelah segenggam batu sebesar kepalan tangan
melayang menyelinap memecahkan kaca jendela lalu mencium kening Rendo dengan
meninggalkan sebuah bingkisan kematian. Nyawanya pun harus jadi tumbal
kebiadaban malam itu.
Namun tumbal itu
ternyata berantai kepada Lastri, istrinya. Saat mendengar jeritan Rendo dari
kamar, istri lurah itu lekas berlari menuju kamar anaknya, namun
pecahan-pecahan beling telah menghiasi baju Rendo yang telah terkapar tanpa nyawa di tengah kamar dengan
bekas lingkaran yang mengecap di keningnya. Hal ini membuat istri Setyo yang
waktu itu disebut ibu lurah turut ikut mati kaget karena tak kuat melihat
keadaan anaknya. Ia terkaget dahsyat hingga tak mampu menahan goncangan jiwa. Ia
seketika pinsan dan tak pernah sadar hingga harus berahir dengan dua ukiran
batu nisan antara anak dan ibunya. Tinggal Nisa anak putrinya yang masih
selamat dari kebiadaban waktu itu. Namun Bapaknya sekarang bukan lagi
konglomerat seperti dahulu, sehingga rela atau tak rela, harus berkompor kayu
dan bergiling batu.
Hal itu pun tak
berlangsung lama karena Nisa tiba-tiba saja sakit parah dan Setyo tak punya
apa-apa untuk mengobati putrinya. Beribu tangan ia tengadahkan di setiap
pintu-pintu rumah. Ia berharap mungkin bisa mencari tambahan uang untuk obat
putrinya, akan tetapi tuntutan harga rumah sakit menuntut harga yang jauh lebih
tinggi sehingga receh-receh itu terasa tak berarti. Ia pun bertekad mencari
bank atau teman yang mungkin bisa dimintai pinjaman, akan tetapi putri Setyo itu
terlalu tergesa-gesa untuk menemui ibu dan saudaranya. Saat ia sampai di pintu
rumah sakit ia lihat sebuah meja berjalan dengan bungkusan kain kafan yang
sekilas terdesir dalam benaknya Setyo bahwa itu adalah putrinya dan ternyata
benar apa yang disangkanya.
Berbondong mobil
pawai melintas dijalan dekat tempa Setyo mengembala. Terlihat sorakan-sorakan
ajakan politisi untuk memilih mereka yang sedang saling berebut kursi. Sebuah
sayembara untuk memilh para pencuri berdasi. Hamburan kertas berhamburan
membuyar menghiasi pawai pemilu itu seperti hiasan kembang api yang meletus
dengan meriahnya ditambah lagi gembar-gembor para mulut yang tersuap kertas
lapis nol bersusun. Setyo menatap iring-iringan komponi salah satu calon pemilu
itu. Ia runtut pandangannya menyaksikan pawai dari ujung selatan jalan sampai
ujung utara hingga hilang tak berbayang. Ia kemudian mengalihakn pandangannya
ke arah kambing-kambing yang juga ikut-ikut bergembar-gembor dengan bodohnya. "DIAM
KALIAN!!" itu kata yang mungkin bisa memuaskan Setyo ketika merenungi
nasibnya bersama para kambing.
Apakah
orang-orang besar itu ditakdirkan sebagai pembuat onar. Setyo mulai menangisi
perjalanan hidupnya. Ia teringat pada anak dan istrinya yang telah menjadi
korban atas kelalaiannya. Beribu perasaan bersalah menghantuinya jika mengingat
malam biadab itu. Ia sekarang kesepian hidup sendiri bersama kambing-kambing
paiaraannya, mungkin mereka yang akan menemaninya saat ia tubuhnya telah berbau
tanah kematian.
Setyo mencoba
mengangkat matanya kembali melihat ke arah jalan raya bekas lewatan pawai
pemilu itu. Ia mulai berfikir tentang kodrat kedudukan manusia di bumi ini.
Sebagian dari mereka berada di atas dan sebagian yang lain berada di bawah.
Aura-aura semangatnya saat ia masih bergelut dalam politik seakan merebah
sedikit demi sedikit memasuki tubuhnya. Getaran jiwa yang pernah ia rasakan
saat harus menundukkan saudara yang kemudian jadi musuh dan merangkul musuh
menjadi seorang teman, rasa itu seakan membayang kembali di benaknya. Kenangan
kemunafikannya datang.
Ia helai
nafasnya pelan. Ia terunduk mengingat dirinya sendiri. Wajahnya sudah terlihat
berukiran coret-coretan usia tua. Daging yang dulu gemuk kenyal kini telah
lemas lentur. Tangannya pun tak bisa memukul sekuat dulu. Andaikata para
kambingnya mau melawannya maka jelas ia akan kalah. Tak selayaknyalah si tua bangka
ini harus mengulangi kebiadaban yang ia lakukan dulu.
"Mereka budakku
atau tuanku?" Desir hati Setyo mengingat satu pertanyaan ysng dulu pernah
terbenak di hatinya ketika ia menjabat lurah. Kumandang demokrasi yang bergiur
dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat pernah ia lambaikan untuk menipu
kambing-kambing bodoh sedesanya, dan ternyata jimat itu berhasil, karena ditambah
bubuhan bumbu janji-janji. Seketika itu ia pun berfikir kembali tentang bendera
tipu iblis itu. Jika aku jadi lurah seharusnya aku yang jadi budak mereka bukan
mereka yang harus tunduk padaku menjadikan aku tuan karena mereka lah yang
memilihku untuk meladeni mereka. Namun kenapa kenyaataannya berbalik. Takdir
apa yang berada pada permainan ini? Mereka malah tunduk pada budak mereka
sendiri. Menganggap aku tuan mereka. "Berarti mereka adalah budakku?"
Renung Setyo dengan mata terbelalak memikir kerancuan sebuah teori tentang
demokrasi. Ia tatap batu kecil yang berada tepat di samping jempol kakinya. Ia goyangkan
batu itu dengan lembut. Tiba-tiba saja ia tendang batu itu dengan keras hingga
melesat terbuang ke arah reruputan tanah pengembalaan.
"Hehh..heh,
budak yang melahirakn tuannya sendiri. Itu kah demokrasi?" Gumam Setyo dengan
seyum ngilu melihat kenyataan yang berbalik dengan teori. Ia jadi teringat saat
ia congkak dengan sombongnya duduk di kursi jabatan dengan besarnya kala itu.
Namun ia sekarang tak lagi bersepatu hitam kelam mengkilat seperti dulu. Kini sepatu
itu telah berganti dengan alas karet, sandal jepit yang dikuatkan dengan
sebutir paku karena kemarin sempat patah. Sandal ini, tinggal sandal ini.
Tinggal sandal tipis ini jabatanku. Yang tersisa dari hamburan-hamburan
kesombongan nafsu. Sandal ini yang menemaniku nanti untuk menghadap Tuhanku,
bukan jabatanku.
"Heh Pak
Tua! Dasar dungu?! Jangan melamun. Lihat kambing-kambingmu memakan daun-daun
ketela kebunku. Dasar tua sinting!!" Bentak seorang wanita setengah tua
bertopi tani dengan wajah emosi, "Kalau
ingin bertaubat di sono. Tu, di masjid!?" tambah wanita itu menghina
setyo.
"Hah..?!".
Setyo tersadar dari lamunannya. Ia lihat wanita itu yang terlihat marah
padanya.
"Ngapain lihat-lihat?
Mau congkak kayak dulu? Ayo silahkan!" Tantang wanita itu seraya meletakakan
kedua lengan kepinggang.
Setyo bergegas
menyahut tongkatnya. Sesegera mungkin ia hampiri kambing-kambingnya. Menggiring
mereka ke lahan lain yang lebih tenang dan subur dengan banyak rumput-rmput
hijau. Ia sodorkan tongkatnya bagai memegang sebuah pedang dengan muka
menghadap ke langit. Sejenak ia toleh ke arah barat terlihat kerumunan
mendung-mendung beriring petir mengancamnya dari kejauhan, "Kenapa mendung
itu harus dari barat?" Benak hati Setyo seiring menggiring kambingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar