Menu

Minggu, 30 September 2012

Cerpen - SERDADU MEGA


SERDADU MEGA
                                                                  Oleh :Mohamad Bejo
Raut wajah Setyo terpaku diam. Ia rundukkan kepalanya seraya memegang pecis kecil kumal yang terlihat tua, yang berada di kepalanya. Tongkat gembalanya ia sandarkan di samping batu besar di bawah sebuah pohon beringin rindang yang tumbuh di sebuah tanah lapang, ujung selatan desa Jatirogo. Suara kambing riuh piuk di sekelilingnya melantun bagai musik rok yang tak beraturan menghiasi dendang telinganya. Sesekali kambing-kambign itu ia bentak untuk diam karena geram, tapi ia pun sadar bahwa mereka hanya seekor hewan tak berakal, yang hanya befikir untuk memuasakn nafsu-nafsu mereka saja. Setyo termenung dalam lamunannya. Baju kokok tebal model tua dengan peniti bulat tebal besar menunjukkan bahwa laki-laki ini pernah muda sekitar tahun tujuh puluhan yang lalu. Celana hitam tiga perempat mirip pendekar dengan warna kulit kaki hitam kelam mengisyaratkan bahwa langkahnya telah banyak menerpa luka-luka kehidupan.
Setyo, lelaki penggembala kambing yang beumur sekitar lima puluh delapan tahunan. Seorang pria tua yang tengah menghabiskan masa tuanya bersama kambing-kambing gembalaannya. Pria yang ditinggal mati istri dan dua anak nya sekitar sepuluh tahun yang lalu, saat seluruh penduduk desa berondong-bondong mengamuk menuju rumahnya dengan obor-obor amarah menuntut pengembala kambing itu untuk turun jabatan waktu itu dari kursi lurahnya. Amukan masa yang biadab malam itu membuat ia dan semua keluarganya ketakutan dan kaget setengah mati.
Lemparan-lemparan batu dari jalan menghujani rumahnya, menghancurkan hampir semua kaca rumah yang ia bangun dengan jerih payahnya selama ini. Tak berhenti sampai disitu, lemparan batu itu berubah menjadi leparan obor-obor api yang menghujam, selayak api sihir yang datang menyantet di tengah malam. Dengan tak terelakan semua harta dan rumahnya yang ia timbun selama ini hancur ludes dalam satu malam, hanya karena kebodohannya yang pernah ia lakukan pada penduduk desanya. Riuh piuh gertakan beribu mulut penuh amarah  membludak mendengung di telinganya, seakan terekam jelas sampai waktu tuanya. Rendo anak sulungnya yang kebetulan kamarnya berada di lantai atas mendapat nasib sial pertama, setelah segenggam batu sebesar kepalan tangan melayang menyelinap memecahkan kaca jendela lalu mencium kening Rendo dengan meninggalkan sebuah bingkisan kematian. Nyawanya pun harus jadi tumbal kebiadaban malam itu.
Namun tumbal itu ternyata berantai kepada Lastri, istrinya. Saat mendengar jeritan Rendo dari kamar, istri lurah itu lekas berlari menuju kamar anaknya, namun pecahan-pecahan beling telah menghiasi baju Rendo yang telah  terkapar tanpa nyawa di tengah kamar dengan bekas lingkaran yang mengecap di keningnya. Hal ini membuat istri Setyo yang waktu itu disebut ibu lurah turut ikut mati kaget karena tak kuat melihat keadaan anaknya. Ia terkaget dahsyat hingga tak mampu menahan goncangan jiwa. Ia seketika pinsan dan tak pernah sadar hingga harus berahir dengan dua ukiran batu nisan antara anak dan ibunya. Tinggal Nisa anak putrinya yang masih selamat dari kebiadaban waktu itu. Namun Bapaknya sekarang bukan lagi konglomerat seperti dahulu, sehingga rela atau tak rela, harus berkompor kayu dan bergiling batu.
Hal itu pun tak berlangsung lama karena Nisa tiba-tiba saja sakit parah dan Setyo tak punya apa-apa untuk mengobati putrinya. Beribu tangan ia tengadahkan di setiap pintu-pintu rumah. Ia berharap mungkin bisa mencari tambahan uang untuk obat putrinya, akan tetapi tuntutan harga rumah sakit menuntut harga yang jauh lebih tinggi sehingga receh-receh itu terasa tak berarti. Ia pun bertekad mencari bank atau teman yang mungkin bisa dimintai pinjaman, akan tetapi putri Setyo itu terlalu tergesa-gesa untuk menemui ibu dan saudaranya. Saat ia sampai di pintu rumah sakit ia lihat sebuah meja berjalan dengan bungkusan kain kafan yang sekilas terdesir dalam benaknya Setyo bahwa itu adalah putrinya dan ternyata benar apa yang disangkanya.
Berbondong mobil pawai melintas dijalan dekat tempa Setyo mengembala. Terlihat sorakan-sorakan ajakan politisi untuk memilih mereka yang sedang saling berebut kursi. Sebuah sayembara untuk memilh para pencuri berdasi. Hamburan kertas berhamburan membuyar menghiasi pawai pemilu itu seperti hiasan kembang api yang meletus dengan meriahnya ditambah lagi gembar-gembor para mulut yang tersuap kertas lapis nol bersusun. Setyo menatap iring-iringan komponi salah satu calon pemilu itu. Ia runtut pandangannya menyaksikan pawai dari ujung selatan jalan sampai ujung utara hingga hilang tak berbayang. Ia kemudian mengalihakn pandangannya ke arah kambing-kambing yang juga ikut-ikut bergembar-gembor dengan bodohnya. "DIAM KALIAN!!" itu kata yang mungkin bisa memuaskan Setyo ketika merenungi nasibnya bersama para kambing.
Apakah orang-orang besar itu ditakdirkan sebagai pembuat onar. Setyo mulai menangisi perjalanan hidupnya. Ia teringat pada anak dan istrinya yang telah menjadi korban atas kelalaiannya. Beribu perasaan bersalah menghantuinya jika mengingat malam biadab itu. Ia sekarang kesepian hidup sendiri bersama kambing-kambing paiaraannya, mungkin mereka yang akan menemaninya saat ia tubuhnya telah berbau tanah kematian.
Setyo mencoba mengangkat matanya kembali melihat ke arah jalan raya bekas lewatan pawai pemilu itu. Ia mulai berfikir tentang kodrat kedudukan manusia di bumi ini. Sebagian dari mereka berada di atas dan sebagian yang lain berada di bawah. Aura-aura semangatnya saat ia masih bergelut dalam politik seakan merebah sedikit demi sedikit memasuki tubuhnya. Getaran jiwa yang pernah ia rasakan saat harus menundukkan saudara yang kemudian jadi musuh dan merangkul musuh menjadi seorang teman, rasa itu seakan membayang kembali di benaknya. Kenangan kemunafikannya datang.
Ia helai nafasnya pelan. Ia terunduk mengingat dirinya sendiri. Wajahnya sudah terlihat berukiran coret-coretan usia tua. Daging yang dulu gemuk kenyal kini telah lemas lentur. Tangannya pun tak bisa memukul sekuat dulu. Andaikata para kambingnya mau melawannya maka jelas ia akan kalah. Tak selayaknyalah si tua bangka ini harus mengulangi kebiadaban yang ia lakukan dulu.
"Mereka budakku atau tuanku?" Desir hati Setyo mengingat satu pertanyaan ysng dulu pernah terbenak di hatinya ketika ia menjabat lurah. Kumandang demokrasi yang bergiur dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat pernah ia lambaikan untuk menipu kambing-kambing bodoh sedesanya, dan ternyata jimat itu berhasil, karena ditambah bubuhan bumbu janji-janji. Seketika itu ia pun berfikir kembali tentang bendera tipu iblis itu. Jika aku jadi lurah seharusnya aku yang jadi budak mereka bukan mereka yang harus tunduk padaku menjadikan aku tuan karena mereka lah yang memilihku untuk meladeni mereka. Namun kenapa kenyaataannya berbalik. Takdir apa yang berada pada permainan ini? Mereka malah tunduk pada budak mereka sendiri. Menganggap aku tuan mereka. "Berarti mereka adalah budakku?" Renung Setyo dengan mata terbelalak memikir kerancuan sebuah teori tentang demokrasi. Ia tatap batu kecil yang berada tepat di samping jempol kakinya. Ia goyangkan batu itu dengan lembut. Tiba-tiba saja ia tendang batu itu dengan keras hingga melesat terbuang ke arah reruputan tanah pengembalaan.
"Hehh..heh, budak yang melahirakn tuannya sendiri. Itu kah demokrasi?" Gumam Setyo dengan seyum ngilu melihat kenyataan yang berbalik dengan teori. Ia jadi teringat saat ia congkak dengan sombongnya duduk di kursi jabatan dengan besarnya kala itu. Namun ia sekarang tak lagi bersepatu hitam kelam mengkilat seperti dulu. Kini sepatu itu telah berganti dengan alas karet, sandal jepit yang dikuatkan dengan sebutir paku karena kemarin sempat patah. Sandal ini, tinggal sandal ini. Tinggal sandal tipis ini jabatanku. Yang tersisa dari hamburan-hamburan kesombongan nafsu. Sandal ini yang menemaniku nanti untuk menghadap Tuhanku, bukan jabatanku.
"Heh Pak Tua! Dasar dungu?! Jangan melamun. Lihat kambing-kambingmu memakan daun-daun ketela kebunku. Dasar tua sinting!!" Bentak seorang wanita setengah tua bertopi tani dengan  wajah emosi, "Kalau ingin bertaubat di sono. Tu, di masjid!?" tambah wanita itu menghina setyo.
"Hah..?!". Setyo tersadar dari lamunannya. Ia lihat wanita itu yang terlihat marah padanya.
"Ngapain lihat-lihat? Mau congkak kayak dulu? Ayo silahkan!" Tantang wanita itu seraya meletakakan kedua lengan kepinggang.
Setyo bergegas menyahut tongkatnya. Sesegera mungkin ia hampiri kambing-kambingnya. Menggiring mereka ke lahan lain yang lebih tenang dan subur dengan banyak rumput-rmput hijau. Ia sodorkan tongkatnya bagai memegang sebuah pedang dengan muka menghadap ke langit. Sejenak ia toleh ke arah barat terlihat kerumunan mendung-mendung beriring petir mengancamnya dari kejauhan, "Kenapa mendung itu harus dari barat?" Benak hati Setyo seiring menggiring kambingnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar