Menu

Minggu, 30 September 2012

Cerpen - MENJENGKELKAN


MENJENGKELKAN
oleh: Mohamad Bejo


Pagi itu kuayun sepedaku lebih cepat. Matahari tidak terlihat seperti biasanya. Kurasa terlalu pagi untuk bersinar sepanas ini. Jika jam yang kupakai tidak salah berarti memang aku yang telat berangkat ke sekolah, maka dari itu kupercepat sepedaku. Maklum, desaku agak sedikit ke dalam sekitar 10 Km dari kecamatan, jadi tidak ada angkutan yang masuk. Awas. Walau begitu, aku tak terima jika desaku dikatakan desa tertinggal. Buktinya rumah-rumah desaku sekarang sudah banyak yang berubah susunannya, dari kayu menjadi tembok. Jadi wajarlah jika aku sangat marah saat teman-temanku bilang desaku terpencil, primitif. Emang aku cewek apaan, diejek seenaknya.
Aku adalah seorang cewek. Alhamdulillah kemarin aku diterima masuk di SMA favorit kecamatanku. Walaupun aku seorang wanita yang masih gadis, aku tak kan kalah dengan mereka yang menyebut dirinya cowok. Kuayun sepedaku 10 Km setiap pagi demi mengejar masa depanku. Aku sangat optimis bahwa semakin keras aku berusaha maka semakin nyata hasil yang akan kuraih nanti.
Pertama pagi itu, kukira hanya aku yang berangkat pakai sepeda ontel, ternyata jauh di depanku sana sudah ada seorang laki-laki yang berseragam sama persis dengan seragam sekolahku sedang mengayun sepeda pula seperti aku. Tidak seperti yang lain yang kebanyakan memakai motor sendiri atau dengan angkutan umum, anak cowok itu lebih memilih pakai sepeda ontel sepertiku. Kulihat dia mengayun sepeda ontel-nya dengan sangat cepat. Aku jadi penasaran dengan cowok itu. Pikirku, dia ternyata satu nasib kayak aku. Mungkin juga pelosok. Tidak, bukan, aku tidak pelosok tapi dia. Aku tak terima jika aku dikatakan anak pelosok.
Gatot. lengkapnya adalah Muhammad Gatot. Nama itu lucu terdengar saat absensi kelas. Seorang cowok pun lalu berdiri memperkenalkan diri di depan kelas. Bukannya itu anak cowok yang tadi pagi mendahuluiku saat berangkat sekolah? Aku jadi penasaran bercampur ingin tertawa jika teringat namanya tadi. Kayak nama makanan yang terbuat dari ketela pohon saja.
Hupps. Aku salah sangka. Seminggu aku sekolah, anak itu ternyata bukan anak sembarangan. Dia sering tanya pada guru-guru saat pelajaran di kelas. Bahkan malah ditanyai oleh para guru. Kenyataan yang seharusnya terbalik. Aku jadi semakin agak minder dengan cowok itu. Dia adalah calon sainganku di kelas yang sepertinya berat untuk dikalahkan.
Sial. Hebat banget sih cowok itu. Semester pertama dia raih peringkat teratas. Ingin kupukul saja kepalanya sampai benjol biar pandainya hilang. Aku sudah payah-payah belajar ternyata masih kalah darinya. Apalagi saat pagi aku berangkat bersepeda, dia selalu menyelip aku. Lagaknya sih kayaknya tidak mau kalah, bahkan kayaknya malah menantangku.
"Fi, aku pinjam buku Biologinya ya!" Gatot mulai akrab denganku. Waktu itu masih di kelas XI SMA dan entah kenapa kebetulan kami berdua memilih IPA. Sebel aku lihat mukanya. Aku sebetulnya keberatan sekali saat bukuku dipinjam olehnya. Ingin rasanya kujungging kepala anak itu. Dia kan musuhku, masak malah pinjam bukuku. Andai bukan karena malu sudah kutamparkan buku Biologiku ke mukanya. Bagaimana tidak gemas, dia selalu dapat ringking satu.
"Gini caranya, 'x' ini diakar dulu baru nanti dikalikan sama 'y'. Nah, hasilnya dibagi dengan lima". Aku menjadi semakin menyerah melawannya. Dia jadi superior Matematika di kelas. Jadi super heronya cewek-cewek saat ada PR. Tidak Cuma Matematika, dia bagai master semua bidang. Dia aktivis di OSIS, PMR, Rebana, Theater, Seni, bahkan suaranya pun juga merdu. Saat itu kudengar remang-remang dia menyanyi di kelas kuperhatikan dia dari bangkuku. Dia geleng-gelengkan kepala menikmati musiknya, namun setelah tahu bahwa dia kuperhatikan, spontan dia diam, sepertinya malu. Makan itu malu.
Aku malah menjadi salut pada musuhku satu ini. Kenapa aku semakin takluk saja. Apalagi waktu itu, saat pelajaran Matematika, yang ngajar adalah Pak Teddy, guru sekaligus dosen lulusan Australia. Saat itu Pak Teddy mengerjakan soal matematika di papan tulis yang terasa njelimet. Tak disangka setelah Pak Teddy selesai, Gatot malah tiba-tiba mengingatkan Pak Teddy bahwa ada kesalahan di bagian tertentu. Aku terperana. Hebat banget. Sampai-sampai setelah itu Pak Tedy bilang, "Ternyata dari semua siswa, hanya Gatot saja yang berfikir". Berarti aku bodoh dong? Berarti aku tidak berfikir dong? Ingin rasa aku marah waktu itu. Andai tidak seorang guru sudah kucaci mungkin Pak Teddy itu.
"Kamu hebat Tot!". Entah kenapa tiba-tiba aku memujinya. Perasaanku seakan telah menguasi lidah mengalahkan akalku yang selalu bilang bahwa dia adalah musuh. Aku lebih dekat dengan dia sekarang, apalagi kami berdua adalah sama-sama aktivis di Pramuka, jadi aku bisa lebih sering berdiskusi dengannya. Dia pun sering memberi solusi pada masalah-masalahku. Tapi aku juga pun pernah memberi solusi pada dia, walaupun jarang, satu banding seratus mungkin. Terutama saat itu, ketika ia memakai pakaian nggak rapi banget. Aku jadi ingin sekali merobek bajunya. Aku pun mendatanginya dan kumarahi dia, namun dia malah membalas senyum sambil berkata, "Kok kamu jadi perhatian banget sama aku?". Aku jadi malu sendiri setelah itu. Huh, mau disuruh jadi orang rapi kok malah mengejek.
What? Banyak banget cewek yang ngrubungin Gatot. Sialan si Erna, udah gemuk gitu masih mau saja dekat-dekat dengan Gatot. Si Lisa juga, kan dia kemarin sudah ditembak sama Erwin. Si Rofiah juga nggak kalah menjengkelkan, malah duduk satu bangku dengan Gatot. Si Alifah, Saadah, ah, ingin kulempar saja map yang kubawa waktu itu ke muka Gatot. Kujewer setiap cewek yang dekat dengan Gatot biar kapok. Untung saja isinya lembaran penting untuk LPJ OSIS, kalau tidak, pasti sudah kulayangkan ke kepala mereka satu persatu.
 "Eh, Fi, mau ikutan nggak? Trigonometri dua sisi sulit lho?" Dasar, Gatot malah menyapaku saat aku lewat di depannya. Ingin rasanya kugaruk mukanya keras-keras, udah tahu lagakku berjalan seperti orang marah malah diajak poligami bersama cewek-cewek lain untuk berlajar bersama. " Ye, cemburu ya?" Lisa, si play girl malah meledekku. Kulototi saja dia sambil aku menarik kursiku dengan keras untuk kubuat duduk.
Beberapa minggu berlalu. LPJ sudah selesai dan aku ternyata terpilih sebagai pradani baru, pemimpin tertinggi Pramuka putri di sekolah. Itu bukan hal yang menggembirakan bagiku, tapi sebaliknya. Aku takut mereka yang tidak suka padaku menjadi dengki karena aku terpilih jadi pradani. Apalagi sebelumnya kakakku juga adalah pradana putra, aku takut ada desus yang nggak enak bahwa kami melakukan nepotisme. Aku pun meluapkan tangisku waktu itu. Di musholla sekolah. Bersama dengan Gatot yang hanya duduk melihatku menangis. Kami hanya berdua saja. Kubatin dalam hatiku, berharap cowok itu bisa menenangkanku, melindungiku saat aku sedang dalam masalah, lalu mengelus kepalaku dengan kasih sayang, karena berlahan-lahan aku ternyata telah tertarik dengan cowok yang selalu menyelip sepedaku tiap pagi itu.
"Ayolah!" kubatin dalam hatiku seraya mengucurkan air mataku yang semakin tak tertahankan jika kuingat mereka yang tidak suka dengan pangkat pradaniku. Kutunggu sekali ucapannya yang lembut selayak kekasih yang merayu pacarnya untuk jangan bersedih. Dengan bayangan hiasan-hiasan bunga yang berkucuran dari langit  seperti di film-film cinta yang sangat romantis. Akupun perlebar bibirku, tak tahan dengan kesedihanku, sekalian memancingnya agar mau mengucapkan kata romantis yang kuharapkan itu.
"Udah, jangan nangis!!" Hanya tiga kata lalu diam. Cukup hanya tiga kata saja. Spontan sedihku hilang, ingin rasanya kutampar cowok IPA yang tak tahu romantis ini. Tak tahukah kau bahwa aku mencintaimu. "cengeng!" tambahnya menyulut amarahku.
Hari-hariku pun berlalu dengan menyedihkan setelah itu. Malah katanya temen-temenku, Gatot naksir sama Winiangsih. Sakit rasanya kurasa hatiku. Pedih saat harapan cinta ini putus. Tapi itu pun tak berlalu lama karena ternyata Winiangsih dapat lamaran dari orang lain sedesanya. Aku sangat bahagia mendengar berita itu. Aku masih punya kesempatan. Tapi walau ada kesempatan Gatot pun tak ada respon sama sekali padaku. Sama saja. Kayaknya cowok satu ini sangat kaku. Tak ada daya gairah untuk bercinta. Hingga sampai lulus pun aku masih tersiksa memendam cintaku padanya.
Sebenarnya ingin rasanya di waktu ahir-ahir perpisahan sekolah kuungkap seluruh perasaanku padanya. Tapi bagaimana caranya? Aku sendiri juga tidak pernah love-love-an, jadi dari pada mati malu mendingan mati memendam cinta bagiku. Lagian aku kan cewek. Tak seharusnya cewek memulai. Cowoklah yang harus datang pada si gadis. Bukannya hokum percintaan seperti itu? Ah, Namun jika tidak kuungkap kapan Gatot akan datang padaku?
Itu semua sudah lewat. Itu sudah jadi kenangan dalam diareku. Sekarang aku sudah kuliah di UIN Jogjakarta jurusan psikologi. Gatot sendiri memilih kuliah di ITB. Maklum dia kan orang IPA, super IPA, master segala bidang. Jadi wajar jika ke ITB. Kami jadi jarang hubungan setelah perpisahan sekolah itu. Lagian waktu itu belum musimnya Hp, jadi pastinya tak ada tanya-tanya tentang nomor. Harapanku pupus. Aku pun kehilangan jejak cowok yang kutaksir di cinta pertamaku itu. Tak ada kabar. Tak ada berita. Kadang aku jadi kangen saat-saat belajar bersamanya. Ingin rasanya kupeluk dia waktu itu. Senyumnya yang khas IPA membuatku berasa gemas ingin sekali memukulnya dengan sepatu. Bukan memukul untuk marah, tapi memukul untuk rasa sayang.
"Halo! Ini siapa ya?"  tanyaku.
"Aku pacarmu,"
"Pacar siapa? Jangan sinting Mas ya. Aku bukan wanita jalanan yang bisa seenaknya saja dipermainkan" Kubalas suara itu dua hari yang lalu dengan nada marah karena ada yang mengaku pacarku tanpa izin yang resmi dariku.
"Aku Gatot, kekasihmu!!"
"HHAH???!" Akupun pingsan. Untung saja Habibah, teman satu kosku menangkapku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar