MENJENGKELKAN
oleh: Mohamad Bejo
Pagi itu kuayun sepedaku lebih cepat. Matahari tidak
terlihat seperti biasanya. Kurasa terlalu pagi untuk bersinar sepanas ini. Jika
jam yang kupakai tidak salah berarti memang aku yang telat berangkat ke
sekolah, maka dari itu kupercepat sepedaku. Maklum, desaku agak sedikit ke
dalam sekitar 10 Km dari kecamatan, jadi tidak ada angkutan yang masuk. Awas.
Walau begitu, aku tak terima jika desaku dikatakan desa tertinggal. Buktinya rumah-rumah
desaku sekarang sudah banyak yang berubah susunannya, dari kayu menjadi tembok.
Jadi wajarlah jika aku sangat marah saat teman-temanku bilang desaku terpencil,
primitif. Emang aku cewek apaan, diejek seenaknya.
Aku adalah seorang cewek. Alhamdulillah kemarin aku
diterima masuk di SMA favorit kecamatanku. Walaupun aku seorang wanita yang
masih gadis, aku tak kan kalah dengan mereka yang menyebut dirinya cowok.
Kuayun sepedaku 10 Km setiap pagi demi mengejar masa depanku. Aku sangat
optimis bahwa semakin keras aku berusaha maka semakin nyata hasil yang akan
kuraih nanti.
Pertama pagi itu, kukira hanya aku yang berangkat
pakai sepeda ontel, ternyata jauh di depanku sana sudah ada seorang
laki-laki yang berseragam sama persis dengan seragam sekolahku sedang mengayun
sepeda pula seperti aku. Tidak seperti yang lain yang kebanyakan memakai motor
sendiri atau dengan angkutan umum, anak cowok itu lebih memilih pakai sepeda ontel
sepertiku. Kulihat dia mengayun sepeda ontel-nya dengan sangat cepat.
Aku jadi penasaran dengan cowok itu. Pikirku, dia ternyata satu nasib kayak
aku. Mungkin juga pelosok. Tidak, bukan, aku tidak pelosok tapi dia. Aku tak
terima jika aku dikatakan anak pelosok.
Gatot. lengkapnya adalah Muhammad Gatot. Nama itu
lucu terdengar saat absensi kelas. Seorang cowok pun lalu berdiri
memperkenalkan diri di depan kelas. Bukannya itu anak cowok yang tadi pagi
mendahuluiku saat berangkat sekolah? Aku jadi penasaran bercampur ingin tertawa
jika teringat namanya tadi. Kayak nama makanan yang terbuat dari ketela pohon
saja.
Hupps. Aku salah sangka. Seminggu aku sekolah, anak
itu ternyata bukan anak sembarangan. Dia sering tanya pada guru-guru saat pelajaran
di kelas. Bahkan malah ditanyai oleh para guru. Kenyataan yang seharusnya
terbalik. Aku jadi semakin agak minder dengan cowok itu. Dia adalah calon
sainganku di kelas yang sepertinya berat untuk dikalahkan.
Sial. Hebat banget sih cowok itu. Semester pertama
dia raih peringkat teratas. Ingin kupukul saja kepalanya sampai benjol biar
pandainya hilang. Aku sudah payah-payah belajar ternyata masih kalah darinya.
Apalagi saat pagi aku berangkat bersepeda, dia selalu menyelip aku. Lagaknya
sih kayaknya tidak mau kalah, bahkan kayaknya malah menantangku.
"Fi, aku pinjam buku Biologinya ya!" Gatot
mulai akrab denganku. Waktu itu masih di kelas XI SMA dan entah kenapa
kebetulan kami berdua memilih IPA. Sebel aku lihat mukanya. Aku sebetulnya
keberatan sekali saat bukuku dipinjam olehnya. Ingin rasanya kujungging kepala
anak itu. Dia kan musuhku, masak malah pinjam bukuku. Andai bukan karena malu
sudah kutamparkan buku Biologiku ke mukanya. Bagaimana tidak gemas, dia selalu
dapat ringking satu.
"Gini caranya, 'x' ini diakar dulu baru
nanti dikalikan sama 'y'. Nah, hasilnya dibagi dengan lima". Aku
menjadi semakin menyerah melawannya. Dia jadi superior Matematika di kelas.
Jadi super heronya cewek-cewek saat ada PR. Tidak Cuma Matematika, dia bagai
master semua bidang. Dia aktivis di OSIS, PMR, Rebana, Theater, Seni, bahkan
suaranya pun juga merdu. Saat itu kudengar remang-remang dia menyanyi di kelas
kuperhatikan dia dari bangkuku. Dia geleng-gelengkan kepala menikmati musiknya,
namun setelah tahu bahwa dia kuperhatikan, spontan dia diam, sepertinya malu.
Makan itu malu.
Aku malah menjadi salut pada musuhku satu ini.
Kenapa aku semakin takluk saja. Apalagi waktu itu, saat pelajaran Matematika,
yang ngajar adalah Pak Teddy, guru sekaligus dosen lulusan Australia. Saat itu
Pak Teddy mengerjakan soal matematika di papan tulis yang terasa njelimet.
Tak disangka setelah Pak Teddy selesai, Gatot malah tiba-tiba mengingatkan Pak
Teddy bahwa ada kesalahan di bagian tertentu. Aku terperana. Hebat banget.
Sampai-sampai setelah itu Pak Tedy bilang, "Ternyata dari semua siswa,
hanya Gatot saja yang berfikir". Berarti aku bodoh dong? Berarti aku tidak
berfikir dong? Ingin rasa aku marah waktu itu. Andai tidak seorang guru sudah
kucaci mungkin Pak Teddy itu.
"Kamu hebat Tot!". Entah kenapa tiba-tiba
aku memujinya. Perasaanku seakan telah menguasi lidah mengalahkan akalku yang
selalu bilang bahwa dia adalah musuh. Aku lebih dekat dengan dia sekarang,
apalagi kami berdua adalah sama-sama aktivis di Pramuka, jadi aku bisa lebih
sering berdiskusi dengannya. Dia pun sering memberi solusi pada
masalah-masalahku. Tapi aku juga pun pernah memberi solusi pada dia, walaupun
jarang, satu banding seratus mungkin. Terutama saat itu, ketika ia memakai
pakaian nggak rapi banget. Aku jadi ingin sekali merobek bajunya. Aku pun mendatanginya
dan kumarahi dia, namun dia malah membalas senyum sambil berkata, "Kok
kamu jadi perhatian banget sama aku?". Aku jadi malu sendiri setelah itu.
Huh, mau disuruh jadi orang rapi kok malah mengejek.
What? Banyak banget
cewek yang ngrubungin Gatot. Sialan si Erna, udah gemuk gitu masih mau saja
dekat-dekat dengan Gatot. Si Lisa juga, kan dia kemarin sudah ditembak sama
Erwin. Si Rofiah juga nggak kalah menjengkelkan, malah duduk satu bangku dengan
Gatot. Si Alifah, Saadah, ah, ingin kulempar saja map yang kubawa waktu itu ke
muka Gatot. Kujewer setiap cewek yang dekat dengan Gatot biar kapok. Untung
saja isinya lembaran penting untuk LPJ OSIS, kalau tidak, pasti sudah
kulayangkan ke kepala mereka satu persatu.
"Eh, Fi,
mau ikutan nggak? Trigonometri dua sisi sulit lho?" Dasar, Gatot malah
menyapaku saat aku lewat di depannya. Ingin rasanya kugaruk mukanya
keras-keras, udah tahu lagakku berjalan seperti orang marah malah diajak
poligami bersama cewek-cewek lain untuk berlajar bersama. " Ye, cemburu
ya?" Lisa, si play girl malah meledekku. Kulototi saja dia sambil
aku menarik kursiku dengan keras untuk kubuat duduk.
Beberapa minggu berlalu. LPJ sudah selesai dan aku
ternyata terpilih sebagai pradani baru, pemimpin tertinggi Pramuka putri di
sekolah. Itu bukan hal yang menggembirakan bagiku, tapi sebaliknya. Aku takut
mereka yang tidak suka padaku menjadi dengki karena aku terpilih jadi pradani.
Apalagi sebelumnya kakakku juga adalah pradana putra, aku takut ada desus yang
nggak enak bahwa kami melakukan nepotisme. Aku pun meluapkan tangisku waktu
itu. Di musholla sekolah. Bersama dengan Gatot yang hanya duduk melihatku
menangis. Kami hanya berdua saja. Kubatin dalam hatiku, berharap cowok itu bisa
menenangkanku, melindungiku saat aku sedang dalam masalah, lalu mengelus
kepalaku dengan kasih sayang, karena berlahan-lahan aku ternyata telah tertarik
dengan cowok yang selalu menyelip sepedaku tiap pagi itu.
"Ayolah!" kubatin dalam hatiku seraya
mengucurkan air mataku yang semakin tak tertahankan jika kuingat mereka yang
tidak suka dengan pangkat pradaniku. Kutunggu sekali ucapannya yang lembut
selayak kekasih yang merayu pacarnya untuk jangan bersedih. Dengan bayangan
hiasan-hiasan bunga yang berkucuran dari langit
seperti di film-film cinta yang sangat romantis. Akupun perlebar
bibirku, tak tahan dengan kesedihanku, sekalian memancingnya agar mau
mengucapkan kata romantis yang kuharapkan itu.
"Udah, jangan nangis!!" Hanya tiga kata
lalu diam. Cukup hanya tiga kata saja. Spontan sedihku hilang, ingin rasanya kutampar
cowok IPA yang tak tahu romantis ini. Tak tahukah kau bahwa aku mencintaimu.
"cengeng!" tambahnya menyulut amarahku.
Hari-hariku pun berlalu dengan menyedihkan setelah
itu. Malah katanya temen-temenku, Gatot naksir sama Winiangsih. Sakit rasanya
kurasa hatiku. Pedih saat harapan cinta ini putus. Tapi itu pun tak berlalu
lama karena ternyata Winiangsih dapat lamaran dari orang lain sedesanya. Aku
sangat bahagia mendengar berita itu. Aku masih punya kesempatan. Tapi walau ada
kesempatan Gatot pun tak ada respon sama sekali padaku. Sama saja. Kayaknya
cowok satu ini sangat kaku. Tak ada daya gairah untuk bercinta. Hingga sampai
lulus pun aku masih tersiksa memendam cintaku padanya.
Sebenarnya ingin rasanya di waktu ahir-ahir
perpisahan sekolah kuungkap seluruh perasaanku padanya. Tapi bagaimana caranya?
Aku sendiri juga tidak pernah love-love-an, jadi dari pada mati
malu mendingan mati memendam cinta bagiku. Lagian aku kan cewek. Tak seharusnya
cewek memulai. Cowoklah yang harus datang pada si gadis. Bukannya hokum
percintaan seperti itu? Ah, Namun jika tidak kuungkap kapan Gatot akan datang
padaku?
Itu semua sudah lewat. Itu sudah jadi kenangan dalam
diareku. Sekarang aku sudah kuliah di UIN Jogjakarta jurusan psikologi. Gatot
sendiri memilih kuliah di ITB. Maklum dia kan orang IPA, super IPA, master
segala bidang. Jadi wajar jika ke ITB. Kami jadi jarang hubungan setelah
perpisahan sekolah itu. Lagian waktu itu belum musimnya Hp, jadi pastinya tak
ada tanya-tanya tentang nomor. Harapanku pupus. Aku pun kehilangan jejak cowok
yang kutaksir di cinta pertamaku itu. Tak ada kabar. Tak ada berita. Kadang aku
jadi kangen saat-saat belajar bersamanya. Ingin rasanya kupeluk dia waktu itu.
Senyumnya yang khas IPA membuatku berasa gemas ingin sekali memukulnya dengan
sepatu. Bukan memukul untuk marah, tapi memukul untuk rasa sayang.
"Halo! Ini siapa ya?" tanyaku.
"Aku pacarmu,"
"Pacar siapa? Jangan sinting Mas ya. Aku bukan
wanita jalanan yang bisa seenaknya saja dipermainkan" Kubalas suara itu
dua hari yang lalu dengan nada marah karena ada yang mengaku pacarku tanpa izin
yang resmi dariku.
"Aku Gatot, kekasihmu!!"
"HHAH???!" Akupun pingsan. Untung saja
Habibah, teman satu kosku menangkapku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar