Pedang Alam
Sang
angin berlari tergesa-gesa menelusuri hamparan lapang padang pasir yang
dikepung oleh bukit-bukit kecil yang penuh fatamorgana. Pasir-pasir menyingkir
ketakutan melihat tingkah laku angin yang tidak biasa melewati dataran daerah
itu. Kelembutannya seakan hilang, tak tersa seperti sebelumnya yang terlihat
lembut. Sang siang pun terlihat semakin bosan melewati katulistiwa, berkehendak
pulang menuju ufuk barat dengan langkah pelannya yang menebar panas di seluruh
gurun itu. Sang angin terus berlari mengkibaskan jubah kemegahannya meneroa
oasir-pasir putih yang sedang berdiam dalam ketenangn semedinya.
Tampak
mata angin terpaku rancu pada suatu sudut di balik beribu sudut di jalan
hamparan padang pasir itu. Mukanya memancarkan cahaya, berisyarat kecemasan
bercampur [enasarn yang menguatkan tujuan jalannya itu. Telapak kaki yang
bertabur pasir itu berhembus menuju suatu bukit aneh, suatu bukit yang biasanya
penuh ketenangan alam dalam kebisuan batu-batu gurun , kini berubah wujud
menjadi sebuah kebisingan suara-suara pedang bernaungkan aura kemarahan.
Suara
itu terdengar dari kejauhan selama sang angin berlari mencari sumber suara itu.
Muka sang angn pun menjadi lebih kegorangan lagi kala ia melihat dua cahaya di
ufuk langit yang bergelut saling mengalahkan satu sama lain. Ia lihat serpihan
cahaya itu menghiasi langit bagai pelangi yang telah hancur menebarkan
percikan-percikan halusianasi keindahan namun beraroma kesedihan. Serpihan
cahaya it uterus menerus bertaburan dari satu bukit kecil yang hendak dituju
sang angin. Iringan music pertarungan pun menambah rancu suasana, membulatkan
tekad sang angin untuk mengetahui sedang ada apa di balik semua ini.
Langkah
telapak sang angin tiba-tiba terhenti. Hatinya terkaget dibalik
keingintahuannya itu. Sekilat ia sembunyikan tubuhnya dalam rasa hati kaget, ia
menelusupkan diri ke balik batu besar dengan tujuan bersembunyi dan mencuri
pandang akan kemelut yang ditakutkannya itu. Ia pandang tanah lapang sumber
suara pedang tadi. Ia temukan kumpulan debu-debu berbaur ambisi mengaroma
bersama terpaan batu gurun. Sang angin pun mencoba menunggu , mencari tahu
tentang apa yang telah terjadi di balik asap aneh yang mengepul, mengepung
seluruh tanah lapang gurun. Perlahan-lahan asap itu pun semakin menipis, pergi,
dan sebagian terhelai jatuh tertarik gravitasi bumi.
Sebuah
layar mulai tampak sedikit demi sedikit mengisi kekosongan monitor panorama
gurun itu. Terlihat sebuah sosok terbungkus jubah kusam penuh blepotan
debu-debu putih bercampur darah di sekujur tubuhnya. Mungkin itu isyarat
kekejaman sebuah perang. Sang angin melihat sosok jubah kusam itu terkulai
lemas di tanah dan tampak iangin berusaha berdiri dengan sisa-sisa kekuatannya.
Tangan lemasnya terlihat masih menggenggam sebilah pedang. Namun dari sisi lain,
tiba-tiba sesosok pedang laras panajang terlihat beriring semakin hilangnya
kemelut asap yang berirama kabut itu. Tak disangka pedang laras panjang itu
ternyata mengacung tepat didepan mata sang jubah hitam yang tadi tergeletak
lemas di tanah. Sebuah pedang yang mirip seperti salib itu seakan memancarkan
amarah bersiap menebas nyawa. Kilauan sinarpun tampak terpantul menyilau dari
pancaran besi pedang merah itu.
"sekarang
kau tak bisa apa-apa!" gertak sesosok hitam pemilik pedang palang merah.
Ia dekatkan runcingan pedang teoat dihadapan mata jubah kusam yang terkulai di
tanah.
Suasana
tercengang seiring ketakutan. Ketenangan yang membawa diam pun datang dengan
isyarat kekalutan. Alam terasa berubah. Warna merah tiba-tiba menebar
menyelimuti langit seperti hawa jahat dalam film-film perang. Pasir-pasir putih
mengkerut diam menambah sengang hiasan suasana. Tak lama setelah itu, suara
siulan pedang pun tiba-tiba bertiup lembut membelah udara dengan pelan,
berputar ke atas 90 derajat beriring dengan gerakan pergelangan tangan. Sosok
jubah merah itu mengangkat pedangnya. Pedang palang merahyang tadi tertidur pun
sekarang terlihat vertical tegak lurus dengan langit. Pantulan pedang sekarang
terlihat tak sejernih kilauan dalam kemurniaanya. Mungkin sudah terlalu banyak
nyawa yang melayang dalam lidah pedang itu. Hingga silau matahari pun enggan
memantulkan cahaya padanya. Jubah kusam korban pedang itu selanjutnya, yang
akan tertimpa kezaliman dari si palang yang tersohor dengan kejahatannya.
"dulu
kau hamper saja membunuhku. Penduduk kota lusia kau kelabuhi. Bahkan kota kota
qalber erop hamper saja kau tulari dengan ajaran satumu itu. Dan
sekarang?..sekarang kau lemah. Tak berdaya melawanku. Hwa..hwa..hwa..!"
tawa sang pelang hitam dalam muka kebengisan setelah sekian lama mencari
kelemahan si jubah kusam untuk di tusuk belakang.
Palang
hitam pun congkak. Kesombongannya ia tengadahkan ke langit seakan mengisyaatkan
bahwa tak ada yang lebih kuat dari pada dia. Lototan matanya menambah suram
harapan kebaikan dari hatinya. Topi baja yang ia pakai lalu ia buang
menunjukkan bahwa si kuat ini tak terkalahkan. Suara benturan batupun terdengar
setelah itu, antara topi besi dengan batu tua gurun yang tandus.
Pedngnya
kemudian ia angkat. Ia dekatkan pedang merah itu ke leher si juah kusam yang
terdusur lemah di hamparan ranjang pasir-pasir gurun panas. Sekejap ia pandang
kembali muka si jubah hitam. Ia pandang dengan kebencian yang sebenci-bencinya.
Palang hitam pun mengulur waktu dengan menyiksa berahan-lahan si jubah kusam, ia
ingin memusakan nasfsunya semelum melihat musuh bebuyutannya benar-benar tewas.
Si
jubah kusam pun coba menghindar, namun kekuatannya sekarang telah terkuras
habis tadi. Ia sudah terjepit sekarang anatara ujung runcing pedang dengan
maut. Beck, percikan darah pun mengalir melukis lembaran pasir alam. Bibir si
jubah kusam berdarah setelah mendapat satu pukulan tajam dari si palang hitam.
Dari balik bebatuan jauh, sang angin pun menutup selaput matanya, tak tega
melihat penyiksaan itu. Hatinya ingin sekali berontak, namun sekilas terbelesit
dalam hatinya kemampuan apa yang ia miliki sehingga mau melawan si palang
hitam? Dari pada tambah jatuh korban lebih baik ia diam di balik batu itu.
"heh.."
satu kata keluar dari mulut si jubab kusam, " kau pikir bisa membunuhku?
Heh, sang guru telah member penjagaan kepadaku, dank au, bangsat, kau tak akan
pernah bisa mencelakaiku. Guru pernah bercerita tentang kedurhakaanmu dan yehud
padaku. Ternyata benar, kalian berdua memang benar-benar menyimpang dari
perintah sang guru. Dengan ini aku yakin bahwa kalian berdua memang benar-benar
telah durhaka pada sang guru…"
"BIADABBBB…!!?"
akulah muridnya, bukan kau" gertak sang palang hitam.
"kenapa
kalian begitu membenciku? Saat sang guru memilihku sebagai murid terahirnya,
kulihat kalian begitu hasud padaku. Mungkin guru benar, kau dan kakak pertama,
yehus telah banyak melukai perintah-perintah guru" lanjut jubah kusam
lemah.
"DIAM
KAU BANGSATTT..!!" gertak palang hitam kedua kalinya. Ia tending muka si
jubah kusam yang terbaring tak berdaya. Otot tangannya spontan ia ia kuatkan
penuh mencekik leher si jubah kusam. Jubah kusam pun hamper tak bisa bernafas.
Untung saja kakinya masih sempat menendang tubuh palang hitam yang melah
membuatnya terpental sekitar 3 meter.
Palang
hitam masih tegar kuat. Tendangan macam itu tak mempan dan tak berasa apa-apa
pada tubuhnya. Ia julurkan kembali pedang merahnya pada si jubah kusam yang
semakin lemah tak berdaya. Si jubah kusam pun mencoba merangkak menjauhi mata
runcing pedang itu. Ia tumpukan sikunya ke hamparan pasir gurun merangkak hina.
Lukisan darah pun tergambar jelas menghias pasir-pasir putih sang seakan ingin
menangis melihat keadaan si jubah kusam. Mata pedang merah pun tak segan
mengikuti rangkakan jubah kusam walau sejengkal tetap ia incar, bersiap menebas
leher si jubah kusam kapan saja ia mau.
"waktu
kau rajai dunia, dan aku bodoh tak mengetahui letak kota Ilmehus yang penuh
harta-harta hikmah. Lalu suku traitor berhasil melumpuhkanmu dan menghabiskan
sejumlah besar kekuatanmu. Hahaha, inilah kesempatanku untuk balas dendam. Akan
kubalas penghinaanmu dulu saat aku masih lemah. Kau akan menyesal, sampai kau
mati sekalipun. Hahaha..!" tawa palang hitam.
"terserah
apa katamu, tapi perlu kau ingat, aku datang ke dunia ini bukan untuk merusak
atau menguasai siapapun. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa sang guru telah
memberikan amanat kepadaku untuk meluruskan mereka. Sudahlah, biar sang guru
sendiri yang akan menentukan siapa yang layak hidup diantara kita. Dan kau
sekali-kali tak punya kekuatan untuk menentukan hidup mati seseorang. Perlu kau
tahu, warisan terahir berada di tangan bangsa kami dan kamu tak akan bisa
membunuh atau membinasakan itu."
"SETAN,
DIAM KAU!!!" gertak palang hitam.
Mata
pedang merincing menatap wajah si juah kusam dalam kesakitannya. Angin
kesedihan tiba-tiba berhembus sepoi menambah suansana semakin cengang berbaur
mati. Tubuh jubah kusam terlihat berhiasa cat-cat merah korban keganasan perang
dengan kaum traitor yang selanjutnya disusul oleh peperangan dengan si palang
hitam.
"serahkan
pedang alam padaku!" pinta si palang hitam tiba-tiba.
"pedang
alam tidak ada padaku" jawab jubah kusam.
"kau
pikir aku bodoh!!!". "brecckk..!!" bentak palang hitam seraya
melepas kakinya yang bersepatu besi ke muka si jubah kusam. Percikan darah pun
lagi-lagi muncrat menggambar di pelataran padang itu. Seakan mengisyaratkan
sebuah kedzaliman telah terjadi dengan penuh kebiadaban.
"inilah
yang dijanjikan sang guru" ucap si jubah kusam setelah semakin terluka
dengan tendangan tadi.
"SETAN
KAMPREEEETT..!!!" . "Breccckk..!!" palang hitam menambah lagi
tendanganya, "kau pikir aku akan kasihan padamu? Cuiiih.." ludah
palang hitam meluapkan amarahnya yang semakin membara.
Pedang
merah yang tersanggar di tangan palang hitam pun sekarang telah mementuk garis
vertical lagi, bersiap menebas leher, tak memebri ampun. Udara terasa memanas
di sekitar daerah itu. Seketika sahaya merarah tiba-tiab keluar dari dalam
pedang itu. Udara terbelah tak beraturan mengikuti alur jahat yang dikeluarkan
pedang setan. Pedang itu pun terus menerjang hendak menebesa leher si jubah
kusam. Kekuatanyya semakin cepat dan hebat seiring semakin cepatnya ia berjalan
menuju sasaran. Hamper kurang satu lengan leher jubah kusam akan tertebas,
tiba-tiba muncul sebuha cahaya [utih jernih terang keluar dari dada si jubah
kusam. Cahaya itupun seketika menanngkis cepat hantaman pedang merah milik si
palang hitam. Spontan suara retakan pun
ttterdengar keras diikuti dengan terpentalnya sebuah benda merah itu
melayang ke tinggi kea rah langit. Langit pun kembali seperti sedia kala
setelah mengalami keburamannya. Cahaya dada si jubah kusam masih terus
bercahaya bahkan semakin terang dan dan sangat terang menyilau seluruh ufuk
bagai matahari yang muncul dari terbenamnya. Bagai kilau surya yang memancarkan
taburan-taburan cahaya ke seluruh pelosok galaksi. Sebuah kilau baja jernih
mengkilat tiba-tiba terlihat muncul dari dada si jubah kusam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar