Menu

Jumat, 21 September 2012

Pedang Alam


Pedang Alam

Sang angin berlari tergesa-gesa menelusuri hamparan lapang padang pasir yang dikepung oleh bukit-bukit kecil yang penuh fatamorgana. Pasir-pasir menyingkir ketakutan melihat tingkah laku angin yang tidak biasa melewati dataran daerah itu. Kelembutannya seakan hilang, tak tersa seperti sebelumnya yang terlihat lembut. Sang siang pun terlihat semakin bosan melewati katulistiwa, berkehendak pulang menuju ufuk barat dengan langkah pelannya yang menebar panas di seluruh gurun itu. Sang angin terus berlari mengkibaskan jubah kemegahannya meneroa oasir-pasir putih yang sedang berdiam dalam ketenangn semedinya.
Tampak mata angin terpaku rancu pada suatu sudut di balik beribu sudut di jalan hamparan padang pasir itu. Mukanya memancarkan cahaya, berisyarat kecemasan bercampur [enasarn yang menguatkan tujuan jalannya itu. Telapak kaki yang bertabur pasir itu berhembus menuju suatu bukit aneh, suatu bukit yang biasanya penuh ketenangan alam dalam kebisuan batu-batu gurun , kini berubah wujud menjadi sebuah kebisingan suara-suara pedang bernaungkan aura kemarahan.
Suara itu terdengar dari kejauhan selama sang angin berlari mencari sumber suara itu. Muka sang angn pun menjadi lebih kegorangan lagi kala ia melihat dua cahaya di ufuk langit yang bergelut saling mengalahkan satu sama lain. Ia lihat serpihan cahaya itu menghiasi langit bagai pelangi yang telah hancur menebarkan percikan-percikan halusianasi keindahan namun beraroma kesedihan. Serpihan cahaya it uterus menerus bertaburan dari satu bukit kecil yang hendak dituju sang angin. Iringan music pertarungan pun menambah rancu suasana, membulatkan tekad sang angin untuk mengetahui sedang ada apa di balik semua ini.
Langkah telapak sang angin tiba-tiba terhenti. Hatinya terkaget dibalik keingintahuannya itu. Sekilat ia sembunyikan tubuhnya dalam rasa hati kaget, ia menelusupkan diri ke balik batu besar dengan tujuan bersembunyi dan mencuri pandang akan kemelut yang ditakutkannya itu. Ia pandang tanah lapang sumber suara pedang tadi. Ia temukan kumpulan debu-debu berbaur ambisi mengaroma bersama terpaan batu gurun. Sang angin pun mencoba menunggu , mencari tahu tentang apa yang telah terjadi di balik asap aneh yang mengepul, mengepung seluruh tanah lapang gurun. Perlahan-lahan asap itu pun semakin menipis, pergi, dan sebagian terhelai jatuh tertarik gravitasi bumi.
Sebuah layar mulai tampak sedikit demi sedikit mengisi kekosongan monitor panorama gurun itu. Terlihat sebuah sosok terbungkus jubah kusam penuh blepotan debu-debu putih bercampur darah di sekujur tubuhnya. Mungkin itu isyarat kekejaman sebuah perang. Sang angin melihat sosok jubah kusam itu terkulai lemas di tanah dan tampak iangin berusaha berdiri dengan sisa-sisa kekuatannya. Tangan lemasnya terlihat masih menggenggam sebilah pedang. Namun dari sisi lain, tiba-tiba sesosok pedang laras panajang terlihat beriring semakin hilangnya kemelut asap yang berirama kabut itu. Tak disangka pedang laras panjang itu ternyata mengacung tepat didepan mata sang jubah hitam yang tadi tergeletak lemas di tanah. Sebuah pedang yang mirip seperti salib itu seakan memancarkan amarah bersiap menebas nyawa. Kilauan sinarpun tampak terpantul menyilau dari pancaran besi pedang merah itu.
"sekarang kau tak bisa apa-apa!" gertak sesosok hitam pemilik pedang palang merah. Ia dekatkan runcingan pedang teoat dihadapan mata jubah kusam yang terkulai di tanah.
Suasana tercengang seiring ketakutan. Ketenangan yang membawa diam pun datang dengan isyarat kekalutan. Alam terasa berubah. Warna merah tiba-tiba menebar menyelimuti langit seperti hawa jahat dalam film-film perang. Pasir-pasir putih mengkerut diam menambah sengang hiasan suasana. Tak lama setelah itu, suara siulan pedang pun tiba-tiba bertiup lembut membelah udara dengan pelan, berputar ke atas 90 derajat beriring dengan gerakan pergelangan tangan. Sosok jubah merah itu mengangkat pedangnya. Pedang palang merahyang tadi tertidur pun sekarang terlihat vertical tegak lurus dengan langit. Pantulan pedang sekarang terlihat tak sejernih kilauan dalam kemurniaanya. Mungkin sudah terlalu banyak nyawa yang melayang dalam lidah pedang itu. Hingga silau matahari pun enggan memantulkan cahaya padanya. Jubah kusam korban pedang itu selanjutnya, yang akan tertimpa kezaliman dari si palang yang tersohor dengan kejahatannya.
"dulu kau hamper saja membunuhku. Penduduk kota lusia kau kelabuhi. Bahkan kota kota qalber erop hamper saja kau tulari dengan ajaran satumu itu. Dan sekarang?..sekarang kau lemah. Tak berdaya melawanku. Hwa..hwa..hwa..!" tawa sang pelang hitam dalam muka kebengisan setelah sekian lama mencari kelemahan si jubah kusam untuk di tusuk belakang.
Palang hitam pun congkak. Kesombongannya ia tengadahkan ke langit seakan mengisyaatkan bahwa tak ada yang lebih kuat dari pada dia. Lototan matanya menambah suram harapan kebaikan dari hatinya. Topi baja yang ia pakai lalu ia buang menunjukkan bahwa si kuat ini tak terkalahkan. Suara benturan batupun terdengar setelah itu, antara topi besi dengan batu tua gurun yang tandus.
Pedngnya kemudian ia angkat. Ia dekatkan pedang merah itu ke leher si juah kusam yang terdusur lemah di hamparan ranjang pasir-pasir gurun panas. Sekejap ia pandang kembali muka si jubah hitam. Ia pandang dengan kebencian yang sebenci-bencinya. Palang hitam pun mengulur waktu dengan menyiksa berahan-lahan si jubah kusam, ia ingin memusakan nasfsunya semelum melihat musuh bebuyutannya benar-benar tewas.
Si jubah kusam pun coba menghindar, namun kekuatannya sekarang telah terkuras habis tadi. Ia sudah terjepit sekarang anatara ujung runcing pedang dengan maut. Beck, percikan darah pun mengalir melukis lembaran pasir alam. Bibir si jubah kusam berdarah setelah mendapat satu pukulan tajam dari si palang hitam. Dari balik bebatuan jauh, sang angin pun menutup selaput matanya, tak tega melihat penyiksaan itu. Hatinya ingin sekali berontak, namun sekilas terbelesit dalam hatinya kemampuan apa yang ia miliki sehingga mau melawan si palang hitam? Dari pada tambah jatuh korban lebih baik ia diam di balik batu itu.
"heh.." satu kata keluar dari mulut si jubab kusam, " kau pikir bisa membunuhku? Heh, sang guru telah member penjagaan kepadaku, dank au, bangsat, kau tak akan pernah bisa mencelakaiku. Guru pernah bercerita tentang kedurhakaanmu dan yehud padaku. Ternyata benar, kalian berdua memang benar-benar menyimpang dari perintah sang guru. Dengan ini aku yakin bahwa kalian berdua memang benar-benar telah durhaka pada sang guru…"
"BIADABBBB…!!?" akulah muridnya, bukan kau" gertak sang palang hitam.
"kenapa kalian begitu membenciku? Saat sang guru memilihku sebagai murid terahirnya, kulihat kalian begitu hasud padaku. Mungkin guru benar, kau dan kakak pertama, yehus telah banyak melukai perintah-perintah guru" lanjut jubah kusam lemah.
"DIAM KAU BANGSATTT..!!" gertak palang hitam kedua kalinya. Ia tending muka si jubah kusam yang terbaring tak berdaya. Otot tangannya spontan ia ia kuatkan penuh mencekik leher si jubah kusam. Jubah kusam pun hamper tak bisa bernafas. Untung saja kakinya masih sempat menendang tubuh palang hitam yang melah membuatnya terpental sekitar 3 meter.
Palang hitam masih tegar kuat. Tendangan macam itu tak mempan dan tak berasa apa-apa pada tubuhnya. Ia julurkan kembali pedang merahnya pada si jubah kusam yang semakin lemah tak berdaya. Si jubah kusam pun mencoba merangkak menjauhi mata runcing pedang itu. Ia tumpukan sikunya ke hamparan pasir gurun merangkak hina. Lukisan darah pun tergambar jelas menghias pasir-pasir putih sang seakan ingin menangis melihat keadaan si jubah kusam. Mata pedang merah pun tak segan mengikuti rangkakan jubah kusam walau sejengkal tetap ia incar, bersiap menebas leher si jubah kusam kapan saja ia mau.
"waktu kau rajai dunia, dan aku bodoh tak mengetahui letak kota Ilmehus yang penuh harta-harta hikmah. Lalu suku traitor berhasil melumpuhkanmu dan menghabiskan sejumlah besar kekuatanmu. Hahaha, inilah kesempatanku untuk balas dendam. Akan kubalas penghinaanmu dulu saat aku masih lemah. Kau akan menyesal, sampai kau mati sekalipun. Hahaha..!" tawa palang hitam.
"terserah apa katamu, tapi perlu kau ingat, aku datang ke dunia ini bukan untuk merusak atau menguasai siapapun. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa sang guru telah memberikan amanat kepadaku untuk meluruskan mereka. Sudahlah, biar sang guru sendiri yang akan menentukan siapa yang layak hidup diantara kita. Dan kau sekali-kali tak punya kekuatan untuk menentukan hidup mati seseorang. Perlu kau tahu, warisan terahir berada di tangan bangsa kami dan kamu tak akan bisa membunuh atau membinasakan itu."
"SETAN, DIAM KAU!!!" gertak palang hitam.
Mata pedang merincing menatap wajah si juah kusam dalam kesakitannya. Angin kesedihan tiba-tiba berhembus sepoi menambah suansana semakin cengang berbaur mati. Tubuh jubah kusam terlihat berhiasa cat-cat merah korban keganasan perang dengan kaum traitor yang selanjutnya disusul oleh peperangan dengan si palang hitam.
"serahkan pedang alam padaku!" pinta si palang hitam tiba-tiba.
"pedang alam tidak ada padaku" jawab jubah kusam.
"kau pikir aku bodoh!!!". "brecckk..!!" bentak palang hitam seraya melepas kakinya yang bersepatu besi ke muka si jubah kusam. Percikan darah pun lagi-lagi muncrat menggambar di pelataran padang itu. Seakan mengisyaratkan sebuah kedzaliman telah terjadi dengan penuh kebiadaban.
"inilah yang dijanjikan sang guru" ucap si jubah kusam setelah semakin terluka dengan tendangan tadi.
"SETAN KAMPREEEETT..!!!" . "Breccckk..!!" palang hitam menambah lagi tendanganya, "kau pikir aku akan kasihan padamu? Cuiiih.." ludah palang hitam meluapkan amarahnya yang semakin membara.
Pedang merah yang tersanggar di tangan palang hitam pun sekarang telah mementuk garis vertical lagi, bersiap menebas leher, tak memebri ampun. Udara terasa memanas di sekitar daerah itu. Seketika sahaya merarah tiba-tiab keluar dari dalam pedang itu. Udara terbelah tak beraturan mengikuti alur jahat yang dikeluarkan pedang setan. Pedang itu pun terus menerjang hendak menebesa leher si jubah kusam. Kekuatanyya semakin cepat dan hebat seiring semakin cepatnya ia berjalan menuju sasaran. Hamper kurang satu lengan leher jubah kusam akan tertebas, tiba-tiba muncul sebuha cahaya [utih jernih terang keluar dari dada si jubah kusam. Cahaya itupun seketika menanngkis cepat hantaman pedang merah milik si palang hitam. Spontan suara retakan pun   ttterdengar keras diikuti dengan terpentalnya sebuah benda merah itu melayang ke tinggi kea rah langit. Langit pun kembali seperti sedia kala setelah mengalami keburamannya. Cahaya dada si jubah kusam masih terus bercahaya bahkan semakin terang dan dan sangat terang menyilau seluruh ufuk bagai matahari yang muncul dari terbenamnya. Bagai kilau surya yang memancarkan taburan-taburan cahaya ke seluruh pelosok galaksi. Sebuah kilau baja jernih mengkilat tiba-tiba terlihat muncul dari dada si jubah kusam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar