Menu

Minggu, 30 September 2012

Cerpen - Kaulah Bungaku


Kaulah Bungaku
                                                                  oleh : Mohamad Bejo

Hp itu terus berbunyi. Sepertinya memang sengaja Hp itu tidak diangkat. Kerlap-kerlip lampu yang berada di atas papan nama toko 'Wahyu-Jadi' menghias malam dengan hiasan bunga listrik yang dipancarkannya. Tak begitu banyak pelanggan. Sudah sekitar jam setengah sebelas malam. Rerentetan suara mobil pun mulai jarang terdengar melintas jalan. Sahid, salesman toko itu terlihat sibuk dengan barang-barang yang tadi siang baru saja datang dari distributor pabrik. Ia tampak terlihat sibuk mengangkat barang-barang hingga tidak sempat mengangkat Hp-nya yang telah berdering lima kali itu.
"Aku butuh cowok yang perhatian, bukan orang egois kayak kamu" Kata itu terniang di hati Sahid seiring Ia berjalan pulang dari kerjanya malam itu. Dua minggu yang lalu Ia mendapatkan sial harus diputus pacar pertamanya yang Ia sangat dambakan akan menjadi mempelainya kelak. Sahid berjalan termenung dengan dua tangan yang dimasukkan ke dalam saku depan celana panjangnya. Matanya memerah, terasa pedih. Ia sebenarnya ingin menangis, bahkan ingin menjerit, namun Ia bingung apa hasilnya jika Ia harus berlaku seperti wanita kayak gitu. "Aku tidak mau lagi pacaran dengan lelaki miskin kayak kamu. Bondan lebih baik dari pada kamu, lebih perhatian, tampan, dan juga kaya." Hati Sahid semakin hancur.
Pagi-pagi sekali Hp tua merk Soni itu sudah berdering lagi. Lisa, cewek itu lagi, gadis yang ingin menelpon Sahid hanya untuk menjelaskan masalah hubungan mereka yang baru saja kemarin putus. Setelah enam hari bersama Bondan yang katanya lebih baik daripada Sahid, tiba-tiba Ia meminta Sahid untuk kembali padanya, menjadi pacarnya lagi.
Sahid sebenarnya masih cinta dengan wanita itu, namun Ia tak tahu harus berbuat apa ketika Ia teringat dengan kata-kata pedas yang dihujamkan Lisa padanya di kafe Lucky, yang terletak tepat di sebelah plaza kota. Kafe yang sangat ramai dengan orang-orang yang lalu-lalang, samping tempat duduk mereka waktu itu. Betapa malunya Sahid saat kekasihnya melukainya di depan umum, di hadapan banyak orang.
Sahid sebenarnya tak begitu mempermasalahkan apakah Lisa nanti bisa setia atau tidak. Tapi Ia tiba-tiba merasa takut saat mengingat kata pedas Lisa. Sahid teringat dengan pamannya, Patmo, seorang satpam di salah satu rumah juragan beras kotanya. Karena Ia tidak bisa membelikan istrinya motor Supra X yang lagi maraknya saat itu, istrinya mencacinya dengan sangat pedas sekali, bahkan melebihi Lisa. Ia tahu betul karena mendengar langsung dengan telinganya sendiri. Ia saat itu sebenarnya tak sengaja, karena disuruh ayahnya mengembalikan tangga yang dipinjam untuk memperbaiki genteng rumah. Setelah sampai di pintu rumah Patmo, pamannya, Ia mendengar pertengkaran untuk itu.  Sahid melapang dadanya, ia jadikan peristiwa itu pelajaran baginya kelak ketika memilih seorang istri.
Ring tone Hp itu berubah. Ia tahu bahwa musik itu tanda sms. Sahid pun lalu membuka pesan singkat itu. Bukan dari Lisa. Sms itu bukan dari bekas pacarnya. Sejenak Sahid tampak tersenyum kecil setelah membaca sms itu. Keluarganya menanyainya tentang calon istri Sahid. Apakah anak mereka yang tengah mengembara bekerja di kota Metropolitan itu sudah punya pasangan untuk dijadikan mempelai atau belum.
Belum. Itu jawaban Sahid kepada orang tuanya. Benaknya berbatin memang dia benar-benar tidak  punya pacar karena barusan sekitar dua minggu lalu diputus. Sahid tiba-tiba terlihat lebih ceria dari sebelumnya. Seakan ada harapan baru baginya untuk mendapatkan ganti pasangan hidup. Ia tulis lagi sms untuk yang kedua kali, Ia ingin dicarikan orang tuanya saja. Ia merasa masih terlalu muda, belum terlalu tahu bagaimana memilih wanita yang benar-benar baik baginya.
'Cari saja sendiri'. Itu jawaban orang tua Sahid. Orang tuanya terlihat sangat percaya sekali bahwa anak sulungnya itu akan membawakan seorang menantu yang baik tanpa harus dipilihkan. Hati Sahid tak jadi tersenyum. Ia sebenarnya butuh solusi, akan tetapi malah dikembalikan ke dia lagi. Cinta pertamanya telah gagal dengan sakit hati, tapi malah disuruh bercinta lagi.
Ia tak temukan jalan. Terpaksa Ia mencoba menerima telepon dari Lisa. Harapannya mungkin saja Lisa memang sudah berubah tidak seperti yang lalu. Ia coba kasih kesempatan Lisa untuk berbenah diri, tambah lagi karena Lisa adalah cinta pertamanya.
Tak semesra dulu. Tidak seindah waktu sebelum pertengkaran di kafe Lucky. Pacaran Sahid sekarang terasa monoton. Lisa pun jarang mau diajak kencan. Saat malam sedang melantunkan lagu rindu pada Sahid, Lisa jarang mau mengangkat Hp-nya untuk bicara pada Sahid. Hampa rasanya hidup. Sahid. Sia-sia saja menyambung kembali hubungannya dengan Lisa. Ia seakan hanya jadi pelampiasan saja.
Humaira. Nama itu datang dari sms orang tua Sahid, malam sekitar jam 08.00 WIB di jalan ketika Sahid pulang, setelah di ajak juragannya mengikuti pengajian. Tak begitu tahu siapa wanita itu, Ia pun segera menelpon orang tuanya karena penasaran. Diam-diam ternyata orang tuanya mencarikan Sahid seorang gadis.
Lulusan pondok pesantren. Setelah Ia lulus Mts, Ia langsung mengaji di pondok pesantren, karena waktu itu orang tuanya sedang tidak punya biaya untuk sekolah. Sahid memanggutkan kepala setelah sedikit tahu tentang gadis yang bernama Humaira itu. Pikirnya terasa berat jika harus beristrikan seorang yang miskin sederajat dengan dia. Apalagi hanya lulusan setingkat SMP. Jika dibanding Lisa yang sekarang sudah S1 jurusan Marketing, Humaira jelas masih di bawahnya. Masak lelaki miskin akan tetap miskin terus. Ia berhayal kapan-kapan akan menikahi seorang wanita kaya yang bisa memperbaiki nasibnya.
085225422322, itu nomor Hp  Humaira. Ayahnya sengaja memberikan nomor itu agar keduanya saling mengenal. Tiga hari tiga malam Sahid bingung harus diapakan nomor itu. Jika Ia menghubungi Humaira, gadis pilihan orang tuanya berarti dia akan berhianat pada Lisa. Tapi sekarang Lisa pun sudah tak seperti pacarnya. Pacar hanya seperti slogan saja bagi dua orang itu sekarang. Sahid merasa bingung harus berbuat apa.
"Benar. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri" Tegas Yusron menaruh curiga pada Lisa, saat kemarin sore melihat gadis anak dosen itu bersama dengan lelaki yang dipanggil-panggil dengan sebutan "Dani!". Sahid semakin gelisah. Benarkah yang dikatakan teman kerjanya itu? Atau Ia hanya ingin memecah hubungannya dengan Lisa? Karena Yusron sendiri dulu saat masih di kuliah bersamanya juga menaksir pada Lisa. Hati semakin kacau. Tak temukan jalan malah tambah membingungkan.
Sms dari nomor itu. Gadis yang bernama Humaira mengirim sms pada Sahid. Katanya, Ia agar harus tetap bersabar, jangan berputus asa dan tetap semangat. Sahid menjadi malu sendiri pada dirinya. Kenapa malah si wanita yang memulai duluan. Tak tahu bagaimana harus membalas, Ia hanya menulis terima kasih dengan mengkuti gambar senyum yang tersusun dari dua titik dan tanda huruf 'D' kapital.
Hati Sahid lebih terasa ringan sekarang. Tanpa Ia sadari kata sms itu telah membangunkan semangatnya untuk kembali hidup penuh inovasi. Namun Sahid belum juga mengakui bahwa perubahannya adalah berkat gadis desa yang dipilihakn ayahnya itu. Ia masih tetap senang menelpon Lisa walaupun hanya diangkat satu kali dalam dua puluh miskolan. Itupun mungkin hanya berbicara sekedar aku kangen atau aku sayang saja.
Luka itu sudah mulai terobati. Sahid sudah mulai akrab dengan Humaira. Bahkan Ia merasa aneh, sepertinya ada yang lain dari wanita desa itu. Rasa hatinya seakan lebih damai tidak seperti saat bersama Lisa. Gadis desa itu juga tidak suka meminta hal-hal yang aneh padanya. Mungkin karena dia gadis desa, jadi mungkin agak tidak tahu gaya hidup ala kota.
Tiga bulan gaji belum juga turun. Rengekan pemilik kos semakin hari semakin pedas terasa di telinga. Tak mungkin jika dia harus meminta kiriman dari rumah, karena sekarang dia sedang bekerja, seharusnya dialah yang memberi kiriman. Pikiraanya menjadi semakin pilu saat tiba-tiba Lisa memintanya untuk kencan ke pantai. Entah apa yang harus dia lakukakn sekarang?
Ia pandang sebuah komputer yang terpampang di meja kamarnya. Komputer yang Ia beli saat dulu Ia gunakan untuk menyusun skripsi ahir kuliah. Karena Ia juga senang mengirim tulisan-tulisan ke media massa, maka sampai sekarang komputer itu masih senang menemaninya, walaupun pada kenyataannya tulisannya tak ada satupun yang termuat. Akan menjual computer, itu jalan satu-satu. Ia terpaksa harus korbankan hobi menulisnya.
Tidak. Ia masih ragu untuk menjualnya. Ia tak tahu mana yang lebih baik harus dilakukan. Komputer itu adalah satu-satunya senjata miliknya untuk meraih cita-citanya sebagai penulis yang Ia idam-idamkan mulai SMA. Bertanya pada Lisa, benarm bertanya pada Lisa. Lisa adalah kekasihnya yang Ia idamkan akan menjadi istrinya. Sahid membayangkan seorang istri yang baik adalah istri yang mampu memberi solusi suaminya saat sedang dilanda masalah. Ia akan menguji Lisa dengan problemnya itu. Mana yang lebih baik, menjual komputer atau bagaimana?.
Tak lama ide itu muncul dibenak Sahid tiba-tiba Hpnya berbunyi. Ternyata sms dari Humaira. Kebetulan, ini kesempatan untuk menguji dua wanita yang Ia bingung harus memilih yang mana. Sahid pun membalas sms itu dengan ungkapan rasa ibanya yang sedang dalam masalah. Lama tidak ada jawaban Ia pun tertidur. Ia kira Humaira gadis desa itu tak akan bisa menjawabnya karena Ia hanya lulusan MTs. Tak pulas dalam tidur Sahid pun memaksa tubuhnya untuk bangun. Ia ambil Hp yang berada di meja kerja kamarnya.
From : Humaira
"Sebaiknya jangan jual komputernya. Masih ada jalan lain. Mungkin bisa mencari pinjaman dari teman"
Sahid terkejut gembira membaca balasan Humaira yang mengagumkan itu. Wanita itu ternyata lebih bisa menghargai bakat. Sahid jadi semangat, bangkit lagi. Malam setelah sms itu dia tanyai setiap teman kerjanya dan hasilnya Ia dapati Huda, adik kelasnya di kuliah dulu, yang baru datang dari kampungnya mau menghutanginya uang. Hatinya sangat bersyukur sekali.
Sahid masih juga tak percaya pada Humaira. Lisa pasti juga akan menjawab seperti itu jika Ia tanya tentang masalahnya. Perasaan hatinya untuk mengunggulkan Lisa selalu ada, hingga selang beberapa hari setelah masalahnya itu selesai, Ia hendak coba-coba tanya masalah yang sama pada Lisa.
Sahid terkejut. Hp yang Ia bawa seakan ingin Ia banting. Mukanya memerah seakan meluapkan amarah. Ia jadi sadar sekarang siapa yang lebih pantas mendampinginya. Sekilas Ia baca lagi sms balasan Lisa mungkin saja Ia salah baca.
From : Lisa
"Terserah, kau bukan apa-apaku lagi sekarang".
Lisa tidak memberi solusi bagi masalah Sahid malah tambah menukiknya.

1 komentar:

  1. waduh... aku ngenteni sambungane jo.... terbawa arus cerita... hehehehe

    BalasHapus