Kaulah
Bungaku
oleh : Mohamad Bejo
Hp itu terus berbunyi. Sepertinya memang sengaja Hp itu
tidak diangkat. Kerlap-kerlip lampu yang berada di atas papan nama toko 'Wahyu-Jadi'
menghias malam dengan hiasan bunga listrik yang dipancarkannya. Tak begitu
banyak pelanggan. Sudah sekitar jam setengah sebelas malam. Rerentetan suara
mobil pun mulai jarang terdengar melintas jalan. Sahid, salesman toko
itu terlihat sibuk dengan barang-barang yang tadi siang baru saja datang dari
distributor pabrik. Ia tampak terlihat sibuk mengangkat barang-barang hingga
tidak sempat mengangkat Hp-nya yang telah berdering lima kali itu.
"Aku butuh cowok yang perhatian, bukan orang
egois kayak kamu" Kata itu terniang di hati Sahid seiring Ia berjalan
pulang dari kerjanya malam itu. Dua minggu yang lalu Ia mendapatkan sial harus
diputus pacar pertamanya yang Ia sangat dambakan akan menjadi mempelainya
kelak. Sahid berjalan termenung dengan dua tangan yang dimasukkan ke dalam saku
depan celana panjangnya. Matanya memerah, terasa pedih. Ia sebenarnya ingin
menangis, bahkan ingin menjerit, namun Ia bingung apa hasilnya jika Ia harus
berlaku seperti wanita kayak gitu. "Aku tidak mau lagi pacaran dengan
lelaki miskin kayak kamu. Bondan lebih baik dari pada kamu, lebih perhatian, tampan,
dan juga kaya." Hati Sahid semakin hancur.
Pagi-pagi sekali Hp tua merk Soni itu sudah
berdering lagi. Lisa, cewek itu lagi, gadis yang ingin menelpon Sahid hanya
untuk menjelaskan masalah hubungan mereka yang baru saja kemarin putus. Setelah
enam hari bersama Bondan yang katanya lebih baik daripada Sahid, tiba-tiba Ia meminta
Sahid untuk kembali padanya, menjadi pacarnya lagi.
Sahid sebenarnya masih cinta dengan wanita itu,
namun Ia tak tahu harus berbuat apa ketika Ia teringat dengan kata-kata pedas
yang dihujamkan Lisa padanya di kafe Lucky, yang terletak tepat di sebelah
plaza kota. Kafe yang sangat ramai dengan orang-orang yang lalu-lalang, samping
tempat duduk mereka waktu itu. Betapa malunya Sahid saat kekasihnya melukainya
di depan umum, di hadapan banyak orang.
Sahid sebenarnya tak begitu mempermasalahkan apakah
Lisa nanti bisa setia atau tidak. Tapi Ia tiba-tiba merasa takut saat mengingat
kata pedas Lisa. Sahid teringat dengan pamannya, Patmo, seorang satpam di salah
satu rumah juragan beras kotanya. Karena Ia tidak bisa membelikan istrinya
motor Supra X yang lagi maraknya saat itu, istrinya mencacinya dengan sangat
pedas sekali, bahkan melebihi Lisa. Ia tahu betul karena mendengar langsung
dengan telinganya sendiri. Ia saat itu sebenarnya tak sengaja, karena disuruh
ayahnya mengembalikan tangga yang dipinjam untuk memperbaiki genteng rumah. Setelah
sampai di pintu rumah Patmo, pamannya, Ia mendengar pertengkaran untuk
itu. Sahid melapang dadanya, ia jadikan peristiwa
itu pelajaran baginya kelak ketika memilih seorang istri.
Ring tone
Hp itu berubah. Ia tahu bahwa musik itu tanda sms. Sahid pun lalu membuka pesan
singkat itu. Bukan dari Lisa. Sms itu bukan dari bekas pacarnya. Sejenak Sahid tampak
tersenyum kecil setelah membaca sms itu. Keluarganya menanyainya tentang calon
istri Sahid. Apakah anak mereka yang tengah mengembara bekerja di kota
Metropolitan itu sudah punya pasangan untuk dijadikan mempelai atau belum.
Belum. Itu jawaban Sahid kepada orang tuanya.
Benaknya berbatin memang dia benar-benar tidak
punya pacar karena barusan sekitar dua minggu lalu diputus. Sahid
tiba-tiba terlihat lebih ceria dari sebelumnya. Seakan ada harapan baru baginya
untuk mendapatkan ganti pasangan hidup. Ia tulis lagi sms untuk yang kedua
kali, Ia ingin dicarikan orang tuanya saja. Ia merasa masih terlalu muda, belum
terlalu tahu bagaimana memilih wanita yang benar-benar baik baginya.
'Cari saja sendiri'. Itu jawaban orang tua Sahid.
Orang tuanya terlihat sangat percaya sekali bahwa anak sulungnya itu akan membawakan
seorang menantu yang baik tanpa harus dipilihkan. Hati Sahid tak jadi
tersenyum. Ia sebenarnya butuh solusi, akan tetapi malah dikembalikan ke dia
lagi. Cinta pertamanya telah gagal dengan sakit hati, tapi malah disuruh
bercinta lagi.
Ia tak temukan jalan. Terpaksa Ia mencoba menerima
telepon dari Lisa. Harapannya mungkin saja Lisa memang sudah berubah tidak
seperti yang lalu. Ia coba kasih kesempatan Lisa untuk berbenah diri, tambah
lagi karena Lisa adalah cinta pertamanya.
Tak semesra dulu. Tidak seindah waktu sebelum
pertengkaran di kafe Lucky. Pacaran Sahid sekarang terasa monoton. Lisa pun
jarang mau diajak kencan. Saat malam sedang melantunkan lagu rindu pada Sahid,
Lisa jarang mau mengangkat Hp-nya untuk bicara pada Sahid. Hampa rasanya hidup.
Sahid. Sia-sia saja menyambung kembali hubungannya dengan Lisa. Ia seakan hanya
jadi pelampiasan saja.
Humaira. Nama itu datang dari sms orang tua Sahid,
malam sekitar jam 08.00 WIB di jalan ketika Sahid pulang, setelah di ajak
juragannya mengikuti pengajian. Tak begitu tahu siapa wanita itu, Ia pun segera
menelpon orang tuanya karena penasaran. Diam-diam ternyata orang tuanya
mencarikan Sahid seorang gadis.
Lulusan pondok pesantren. Setelah Ia lulus Mts, Ia
langsung mengaji di pondok pesantren, karena waktu itu orang tuanya sedang
tidak punya biaya untuk sekolah. Sahid memanggutkan kepala setelah sedikit tahu
tentang gadis yang bernama Humaira itu. Pikirnya terasa berat jika harus
beristrikan seorang yang miskin sederajat dengan dia. Apalagi hanya lulusan
setingkat SMP. Jika dibanding Lisa yang sekarang sudah S1 jurusan Marketing,
Humaira jelas masih di bawahnya. Masak lelaki miskin akan tetap miskin terus.
Ia berhayal kapan-kapan akan menikahi seorang wanita kaya yang bisa memperbaiki
nasibnya.
085225422322, itu nomor Hp Humaira. Ayahnya sengaja memberikan nomor itu
agar keduanya saling mengenal. Tiga hari tiga malam Sahid bingung harus
diapakan nomor itu. Jika Ia menghubungi Humaira, gadis pilihan orang tuanya
berarti dia akan berhianat pada Lisa. Tapi sekarang Lisa pun sudah tak seperti
pacarnya. Pacar hanya seperti slogan saja bagi dua orang itu sekarang. Sahid
merasa bingung harus berbuat apa.
"Benar. Aku melihat dengan mata kepalaku
sendiri" Tegas Yusron menaruh curiga pada Lisa, saat kemarin sore melihat
gadis anak dosen itu bersama dengan lelaki yang dipanggil-panggil dengan
sebutan "Dani!". Sahid semakin gelisah. Benarkah yang dikatakan teman
kerjanya itu? Atau Ia hanya ingin memecah hubungannya dengan Lisa? Karena
Yusron sendiri dulu saat masih di kuliah bersamanya juga menaksir pada Lisa.
Hati semakin kacau. Tak temukan jalan malah tambah membingungkan.
Sms dari nomor itu. Gadis yang bernama Humaira
mengirim sms pada Sahid. Katanya, Ia agar harus tetap bersabar, jangan berputus
asa dan tetap semangat. Sahid menjadi malu sendiri pada dirinya. Kenapa malah
si wanita yang memulai duluan. Tak tahu bagaimana harus membalas, Ia hanya
menulis terima kasih dengan mengkuti gambar senyum yang tersusun dari dua titik
dan tanda huruf 'D' kapital.
Hati Sahid lebih terasa ringan sekarang. Tanpa Ia
sadari kata sms itu telah membangunkan semangatnya untuk kembali hidup penuh
inovasi. Namun Sahid belum juga mengakui bahwa perubahannya adalah berkat gadis
desa yang dipilihakn ayahnya itu. Ia masih tetap senang menelpon Lisa walaupun
hanya diangkat satu kali dalam dua puluh miskolan. Itupun mungkin hanya
berbicara sekedar aku kangen atau aku sayang saja.
Luka itu sudah mulai terobati. Sahid sudah mulai
akrab dengan Humaira. Bahkan Ia merasa aneh, sepertinya ada yang lain dari
wanita desa itu. Rasa hatinya seakan lebih damai tidak seperti saat bersama
Lisa. Gadis desa itu juga tidak suka meminta hal-hal yang aneh padanya. Mungkin
karena dia gadis desa, jadi mungkin agak tidak tahu gaya hidup ala kota.
Tiga bulan gaji belum juga turun. Rengekan pemilik
kos semakin hari semakin pedas terasa di telinga. Tak mungkin jika dia harus
meminta kiriman dari rumah, karena sekarang dia sedang bekerja, seharusnya
dialah yang memberi kiriman. Pikiraanya menjadi semakin pilu saat tiba-tiba
Lisa memintanya untuk kencan ke pantai. Entah apa yang harus dia lakukakn
sekarang?
Ia pandang sebuah komputer yang terpampang di meja
kamarnya. Komputer yang Ia beli saat dulu Ia gunakan untuk menyusun skripsi
ahir kuliah. Karena Ia juga senang mengirim tulisan-tulisan ke media massa,
maka sampai sekarang komputer itu masih senang menemaninya, walaupun pada
kenyataannya tulisannya tak ada satupun yang termuat. Akan menjual computer,
itu jalan satu-satu. Ia terpaksa harus korbankan hobi menulisnya.
Tidak. Ia masih ragu untuk menjualnya. Ia tak tahu
mana yang lebih baik harus dilakukan. Komputer itu adalah satu-satunya senjata
miliknya untuk meraih cita-citanya sebagai penulis yang Ia idam-idamkan mulai
SMA. Bertanya pada Lisa, benarm bertanya pada Lisa. Lisa adalah kekasihnya yang
Ia idamkan akan menjadi istrinya. Sahid membayangkan seorang istri yang baik
adalah istri yang mampu memberi solusi suaminya saat sedang dilanda masalah. Ia
akan menguji Lisa dengan problemnya itu. Mana yang lebih baik, menjual komputer
atau bagaimana?.
Tak lama ide itu muncul dibenak Sahid tiba-tiba
Hpnya berbunyi. Ternyata sms dari Humaira. Kebetulan, ini kesempatan untuk
menguji dua wanita yang Ia bingung harus memilih yang mana. Sahid pun membalas
sms itu dengan ungkapan rasa ibanya yang sedang dalam masalah. Lama tidak ada
jawaban Ia pun tertidur. Ia kira Humaira gadis desa itu tak akan bisa
menjawabnya karena Ia hanya lulusan MTs. Tak pulas dalam tidur Sahid pun
memaksa tubuhnya untuk bangun. Ia ambil Hp yang berada di meja kerja kamarnya.
From : Humaira
"Sebaiknya jangan jual komputernya. Masih ada
jalan lain. Mungkin bisa mencari pinjaman dari teman"
Sahid terkejut gembira membaca balasan Humaira yang
mengagumkan itu. Wanita itu ternyata lebih bisa menghargai bakat. Sahid jadi
semangat, bangkit lagi. Malam setelah sms itu dia tanyai setiap teman kerjanya
dan hasilnya Ia dapati Huda, adik kelasnya di kuliah dulu, yang baru datang
dari kampungnya mau menghutanginya uang. Hatinya sangat bersyukur sekali.
Sahid masih juga tak percaya pada Humaira. Lisa
pasti juga akan menjawab seperti itu jika Ia tanya tentang masalahnya. Perasaan
hatinya untuk mengunggulkan Lisa selalu ada, hingga selang beberapa hari
setelah masalahnya itu selesai, Ia hendak coba-coba tanya masalah yang sama
pada Lisa.
Sahid terkejut. Hp yang Ia bawa seakan ingin Ia
banting. Mukanya memerah seakan meluapkan amarah. Ia jadi sadar sekarang siapa
yang lebih pantas mendampinginya. Sekilas Ia baca lagi sms balasan Lisa mungkin
saja Ia salah baca.
From : Lisa
"Terserah,
kau bukan apa-apaku lagi sekarang".
Lisa tidak memberi solusi bagi masalah Sahid malah
tambah menukiknya.
waduh... aku ngenteni sambungane jo.... terbawa arus cerita... hehehehe
BalasHapus