Menu

Minggu, 30 September 2012

Cerpen - PETEMPUR


PETEMPUR
Oleh : Mohamad Bejo

Napoleon menggertak para serdadunya untuk bangun dari tidur mereka setelah berhasil merobohkan benteng kerajaan prancis yang berkuasa absolute. Kumandang sorakan–sorakan untuk menjujunjung martabat barat berkecamuk seetelah belahan dunia ketiga, Islam mulai melemah dan saling terpecah. Gembar-gembor Yunani kembali digali untuk menemukan jiwa hebat yang dulu pernah mati. Rantai-rantai kerangkeng gereja harus digempur agar tak lagi menghalangi gerak-gerik lenggok tubuh saat beringin bebas. Menganggap ajaran gereja hanya sebagai dogma kaum-kaum bengis untuk menumbung harta, dan itu harus dihentikan untuk menuju sebuah kebangkitan baru. Mata Murji meruncing, merenung desas-desus kebangkitan itu. Selendang jubah ia perketat agar tak terbawa angin gurun yang semakin kencang menghantam tubuhnya. Serban kusam ia ikatkan rekat seperti sebuah belangkon di kepalanya. Ransel kuno dan sebilah sebilah pedang laras panjang ia singkap kencang dipundaknya.

Murji, seorang pengembara gurun kehidupan yang bertekad menjelajahi dunia dengan dengan dua kaki batunya. Senggangan waktu dalam perjalanan ia jadikan sebagai guru pengajar dalam sebuah kehidupan di hari kemudian. Tak tahu kapan perjalanan akan berahir tapi ia yakin sewaktu-waktu telapak kaki ini akan tua lemah dan kemudian akan bersatu dengan tanah. Setiap ada mula pasti ada ahir, begitu pula senandung perjalanan musafir berjubah kusam ini, yang sering terangah-angah kehasuan di tengah gurun saat bekal air minum habis. Maklumi saja ia hanya membawa sebuah kantong kecil dari kulit yang sering ia jadikan teman saat kehausannya. Kepasrahan pada sang pencipta mungkin itu yang membuat dia berani nekad mempertaruhkan nyawa bertarung dengan alam tanah gurun.

Sebuah tongkat kecil sempat ia bawa tadi ketika ia mampir di persingghan terahirnya. Kebetulan banyak ranting kering dan pohon-pohon yang tumbang yang sekira sia-sia jika ia harus membiarkannya terbuang percuma. Ia ayunkan tongkat itu menusuk satu persatu punggung bumu tanah gurun itu. Matanya telihat masih tercengang mengingat berbagai peristiwa dalam perjalananya. Ia mencoba mencari pelajaran dari hidup untuk bisa hidup. Ia sempat sangat terkesan dengan cerita asal muasal keberadaan manusia, yang ia dapat dari desa Creat. Cerita mengapa kita beranjak dengan zalim dan bodoh di bumi ini. Cerita saat para malaikat mengejek bangsa manusia dan cerita tentang musuh bebuyutan yang congkak dengan kebodohan dan ketakaburan.

Desiran tongkat kayu ia seret dengan lemah. Sepanjang jalan tongkat itu membelah lembaran-lemabran kertas pasir gurun hingga tampak jelas subuah garis tongkat dengan dua gambar telapak kaki berjalan. Suara aneh tiba-tiba muncul berdenging di telinga Murji. Tongkatnya menghantam batuan-batuan kasar yang terpendam dangkal di bawah permukaan pasir. Suara itu terdengar tak seperti suara-suara biasa sebuah tongkat menghantam sebuah batu secara semestinya. Selama perjalanan seretan tongkat itu melagu aneh ketika terhantam puing-puing alam itu. Murji terhenti, ia pandang  lintasan jalan panjang di belakangnya. Ukiran alami dua telapak kaki masih tampak dengan wajah yang bisa ia kenali akan tetapi tongkat itu mengukir dengan lenggok yang berbeda sekali yang menimbulkan beribu tanda tanya apa yang sebenarnya berada di balik batu pasir-pasir gurun itu. Mata Murji terbelalak, rasa lelah seakan terpelasat tebuang dengan lemparan yang cepat, hilang dari tubuhnya. Selekas cepat ia merendahkan badannya. Ia hambur pasir-pasir aneh itu, menggalinya untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi di bawah tanah gersang mati itu.

Beribu puing-puing besi tua dan batu giok berukir kuno. Puluhan batu bekas dinding sebuah rumah yang tampak terjebol oleh sebuah amukan alam. Inikah tempat kaum yang terbinasakan oleh badai angin itu. Hatinya tiba-tiba terenyuh diam berhenti. Badannya lemas bercampur lelah. Ia lalu membentangkan tubuhnya ke tanah pasir bayangan kasur alam. Ia terlentang tegak lurus ke arah matahari. Kaum yang terbabat musnah oleh seorang petempur kebenaran. Saat suatu peradaban tak lagi percaya dengan utusan Tuhan. Matanya terpaku sipit memandang matahari yang tengah diam saja menontonnya terbaring di atas alas pasir itu. Mungkin matahari itu tahu bagaiamana dahsyatnya penghancuran itu. Dan mungkin dia juga tahu milik siapa benda-benda terkubur pasir itu dan kenapa mereka harus dibinasakan dengan cara yang kejam.

Mulut Murji tiba-tiba tersenyum. Sebuah senyum yang mencurigakan dari seorang pejalan hidup yang merasa terasingkan. Ia bayangkan jika giliran mereka yang telah lampau telah sampai pada waktunya maka sebentar lagi giliran peradaban ini yang akan ikut musnah pula. Pemusnahan yang tak ada pergantian peradaban setelahnya akan tetapi menuju episode baru yang lebih cengang tanpa suara yang lebih dahsyat benturan perjalanannya.

Murji tiba-tiba teringat pada lentera susun yang pernah ia jumpai di perjalanan, di sebuah rumah reot milik seorang Nenek tua yang aroma kematian terasa seberbak saat Murji mendekatinya.. lentera itu, sebuah lentera yang cantik yang tersusun dari subuah pijar kecil yang terletak pada bagian paling atasnya lalu bersusun ke bawah dengan pijar-pijar lain yang ahirnya berahir dengan suatu pijar inti yang teramat sangat cantik bila dibanding pijar-pijar lain. Si Nenek tua penunggu rumah itu bilang bahwa pijar-pijar itu adalah gambaran dari petempur-petempur kebenaran yang selalu dibenci dan dihina oleh kaum-kaumnya. Petempur yang selalu mengharap kebaikan untuk umat manusia namun selalu tercampakkan oleh lidah-lidah setan yang menyayat penuh hina. Ia ingat waktu itu dengan tiba-tiba Nenek tua itu menuding  pijar terbesar yang terletak terahir di ahir lentera susun itu. "Kau tahu siapa pijar besar nan cantik itu?" Tanya Nenek tua pada Murji dengan penuh nada lirih suara seorang yang jompo tua. " dia Muhammad," jawab Nenek itu dengan nada penuh semangat lekas sebelum Murji mampu menjawab pertanyaan itu. Nada lemah penuh semangat itu membuat hati Murji tiba-tiba terkaget seketika

Tanpa lampu itu rumah ini akan gelap dan minyak yang dibawa pijar itu adalah sumber dari minyak pijar-pijar lain yang berada di atas sebelumnya yang berlekok seperti rantai kebenaran yang mengestafet untuk menjadi pegangnan manusia dalam menjalani hidup ini. Menjaga agar generasi selanjutnaya tidak sesat mengikuti arah setan. Setiap suau masa membutuhkan sejarah sebelumnya untuk megetahui jati dirinya.

"Tahukah kau siapa musuh mereka?" kembali Nenek itu berucap aneh, bertanya pada Murji yang terlihat diam melihat hikmah di balik rumah reot yang penuh makna milik si Nenek itu. "Para pembesar-pembesar manusia! Benar musuh mereka adalah para pembesar-pembesar manusia. Mereka akan benci dengan sinar pijar-pijar itu karena mereka senang dengan kegelapan. Mereka merasa aman dengan apa yang mereka miliki dan rasa aman itu lah yang akan menunjukkan bahwa sebentar lagi pemusnahan akan terjadi. Tak ada bangsa berperadaban yang aman dari tipuan merasa aman ini kecuali bangsa yang telah mendekati pengahiran untuk merugi. Pijar-pijar tu, mereka telah tiada, namun cahaya-cahaya mereka akan tetap terjaga." Ungkap Nenek itu mencoba menjelasakan makna pijar itu. "Kau tahu pernik-pernik cantik di sekitar pijar itu? Lanjut Nenek tua mengungkap makna.

Saat manusia hendak akan binasa dia akan mewariskan kekuatannya pada penerusnya. Penduduk-penduduk kaum barat merasa bangga karena mereka dapat warisan dari leluhur mereka yang pernah berjaya. Kaum Shin dan Hind merasa bangga dengan ajaran-ajaran leluhur mereka dan menyanjungnya sebagai Tuhan mereka. Demikian pula dengan pernik-pernik itu, mereka adalah regenerasi dari pantulan sinar pijar-pijar itu yang mampu memantulkan sinar itu ke arah yang lebih luas menelusuri lorong waktu. Sinar itu. Yang mereka pantulkan adalah cahaya yang nanti akan dibawa seelah pengahiran dari semua sandiwara ini. Pernik-pernik itu adalah para petempur haqiqi dalam kebenaran Ilahi. Tahukah kau siapa mereka? Mereka adalah pembawa cahaya yang dibenci para pembesar-pembesar manusia. Mereka adalah petarung yang kerap dihina oleh bangsanya sendiri atau bahkan disiksa. Jadilah kau sebagian dari para petempur-petempur itu. Karena cahaya itu, yang mereka bawa adalah cahaya kebenaran yang haqiqi menuju kehidupan yang haqiqi pula.

Murji terbelalak. Raut mukanya membeku kerut berisyarat siapa yang dimaksud Nenek tua itu. Ia pandang lentera susun cahaya itu. Ia tatap pijar terahir terbesar yang merupakan sumber dari pijar-pijar lain. Kemudian tatapannya ia teruskan untuk memperhatikan pernik-pernik di bawahnya, yang bergelantungan menghias lentera itu. Mereka tak mewariskan harta atau sebuah kebanggan akan tetapi mereka mewariskan sebuah cahaya. Sebuah cahaya yang harus kita jaga menuju penghancuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar