PETEMPUR
Oleh : Mohamad Bejo
Napoleon menggertak para
serdadunya untuk bangun dari tidur mereka setelah berhasil merobohkan benteng
kerajaan prancis yang berkuasa absolute. Kumandang sorakan–sorakan untuk
menjujunjung martabat barat berkecamuk seetelah belahan dunia ketiga, Islam mulai
melemah dan saling terpecah. Gembar-gembor Yunani kembali digali untuk
menemukan jiwa hebat yang dulu pernah mati. Rantai-rantai kerangkeng gereja
harus digempur agar tak lagi menghalangi gerak-gerik lenggok tubuh saat beringin
bebas. Menganggap ajaran gereja hanya sebagai dogma kaum-kaum bengis untuk
menumbung harta, dan itu harus dihentikan untuk menuju sebuah kebangkitan baru.
Mata Murji meruncing, merenung desas-desus kebangkitan itu. Selendang jubah ia perketat
agar tak terbawa angin gurun yang semakin kencang menghantam tubuhnya. Serban
kusam ia ikatkan rekat seperti sebuah belangkon di kepalanya. Ransel kuno dan
sebilah sebilah pedang laras panjang ia singkap kencang dipundaknya.
Murji, seorang pengembara
gurun kehidupan yang bertekad menjelajahi dunia dengan dengan dua kaki batunya.
Senggangan waktu dalam perjalanan ia jadikan sebagai guru pengajar dalam sebuah
kehidupan di hari kemudian. Tak tahu kapan perjalanan akan berahir tapi ia
yakin sewaktu-waktu telapak kaki ini akan tua lemah dan kemudian akan bersatu
dengan tanah. Setiap ada mula pasti ada ahir, begitu pula senandung perjalanan
musafir berjubah kusam ini, yang sering terangah-angah kehasuan di tengah gurun
saat bekal air minum habis. Maklumi saja ia hanya membawa sebuah kantong kecil
dari kulit yang sering ia jadikan teman saat kehausannya. Kepasrahan pada sang
pencipta mungkin itu yang membuat dia berani nekad mempertaruhkan nyawa
bertarung dengan alam tanah gurun.
Sebuah tongkat kecil sempat
ia bawa tadi ketika ia mampir di persingghan terahirnya. Kebetulan banyak ranting
kering dan pohon-pohon yang tumbang yang sekira sia-sia jika ia harus
membiarkannya terbuang percuma. Ia ayunkan tongkat itu menusuk satu persatu
punggung bumu tanah gurun itu. Matanya telihat masih tercengang mengingat
berbagai peristiwa dalam perjalananya. Ia mencoba mencari pelajaran dari hidup
untuk bisa hidup. Ia sempat sangat terkesan dengan cerita asal muasal
keberadaan manusia, yang ia dapat dari desa Creat. Cerita mengapa kita beranjak
dengan zalim dan bodoh di bumi ini. Cerita saat para malaikat mengejek bangsa
manusia dan cerita tentang musuh bebuyutan yang congkak dengan kebodohan dan
ketakaburan.
Desiran tongkat kayu ia seret
dengan lemah. Sepanjang jalan tongkat itu membelah lembaran-lemabran kertas
pasir gurun hingga tampak jelas subuah garis tongkat dengan dua gambar telapak
kaki berjalan. Suara aneh tiba-tiba muncul berdenging di telinga Murji.
Tongkatnya menghantam batuan-batuan kasar yang terpendam dangkal di bawah
permukaan pasir. Suara itu terdengar tak seperti suara-suara biasa sebuah
tongkat menghantam sebuah batu secara semestinya. Selama perjalanan seretan
tongkat itu melagu aneh ketika terhantam puing-puing alam itu. Murji terhenti,
ia pandang lintasan jalan panjang di belakangnya.
Ukiran alami dua telapak kaki masih tampak dengan wajah yang bisa ia kenali
akan tetapi tongkat itu mengukir dengan lenggok yang berbeda sekali yang
menimbulkan beribu tanda tanya apa yang sebenarnya berada di balik batu
pasir-pasir gurun itu. Mata Murji terbelalak, rasa lelah seakan terpelasat
tebuang dengan lemparan yang cepat, hilang dari tubuhnya. Selekas cepat ia merendahkan
badannya. Ia hambur pasir-pasir aneh itu, menggalinya untuk mencari apa yang
sebenarnya terjadi di bawah tanah gersang mati itu.
Beribu puing-puing besi tua
dan batu giok berukir kuno. Puluhan batu bekas dinding sebuah rumah yang tampak
terjebol oleh sebuah amukan alam. Inikah tempat kaum yang terbinasakan oleh
badai angin itu. Hatinya tiba-tiba terenyuh diam berhenti. Badannya lemas
bercampur lelah. Ia lalu membentangkan tubuhnya ke tanah pasir bayangan kasur
alam. Ia terlentang tegak lurus ke arah matahari. Kaum yang terbabat musnah
oleh seorang petempur kebenaran. Saat suatu peradaban tak lagi percaya dengan
utusan Tuhan. Matanya terpaku sipit memandang matahari yang tengah diam saja
menontonnya terbaring di atas alas pasir itu. Mungkin matahari itu tahu
bagaiamana dahsyatnya penghancuran itu. Dan mungkin dia juga tahu milik siapa
benda-benda terkubur pasir itu dan kenapa mereka harus dibinasakan dengan cara
yang kejam.
Mulut Murji tiba-tiba
tersenyum. Sebuah senyum yang mencurigakan dari seorang pejalan hidup yang merasa
terasingkan. Ia bayangkan jika giliran mereka yang telah lampau telah sampai
pada waktunya maka sebentar lagi giliran peradaban ini yang akan ikut musnah
pula. Pemusnahan yang tak ada pergantian peradaban setelahnya akan tetapi
menuju episode baru yang lebih cengang tanpa suara yang lebih dahsyat benturan
perjalanannya.
Murji tiba-tiba teringat pada
lentera susun yang pernah ia jumpai di perjalanan, di sebuah rumah reot milik
seorang Nenek tua yang aroma kematian terasa seberbak saat Murji mendekatinya..
lentera itu, sebuah lentera yang cantik yang tersusun dari subuah pijar kecil yang
terletak pada bagian paling atasnya lalu bersusun ke bawah dengan pijar-pijar
lain yang ahirnya berahir dengan suatu pijar inti yang teramat sangat cantik
bila dibanding pijar-pijar lain. Si Nenek tua penunggu rumah itu bilang bahwa
pijar-pijar itu adalah gambaran dari petempur-petempur kebenaran yang selalu
dibenci dan dihina oleh kaum-kaumnya. Petempur yang selalu mengharap kebaikan
untuk umat manusia namun selalu tercampakkan oleh lidah-lidah setan yang
menyayat penuh hina. Ia ingat waktu itu dengan tiba-tiba Nenek tua itu
menuding pijar terbesar yang terletak
terahir di ahir lentera susun itu. "Kau tahu siapa pijar besar nan cantik
itu?" Tanya Nenek tua pada Murji dengan penuh nada lirih suara seorang
yang jompo tua. " dia Muhammad," jawab Nenek itu dengan nada penuh
semangat lekas sebelum Murji mampu menjawab pertanyaan itu. Nada lemah penuh
semangat itu membuat hati Murji tiba-tiba terkaget seketika
Tanpa lampu itu rumah ini
akan gelap dan minyak yang dibawa pijar itu adalah sumber dari minyak
pijar-pijar lain yang berada di atas sebelumnya yang berlekok seperti rantai
kebenaran yang mengestafet untuk menjadi pegangnan manusia dalam menjalani
hidup ini. Menjaga agar generasi selanjutnaya tidak sesat mengikuti arah setan.
Setiap suau masa membutuhkan sejarah sebelumnya untuk megetahui jati dirinya.
"Tahukah kau siapa musuh
mereka?" kembali Nenek itu berucap aneh, bertanya pada Murji yang terlihat
diam melihat hikmah di balik rumah reot yang penuh makna milik si Nenek itu. "Para pembesar-pembesar manusia! Benar musuh mereka adalah
para pembesar-pembesar manusia. Mereka akan benci dengan sinar pijar-pijar itu
karena mereka senang dengan kegelapan. Mereka merasa aman dengan apa yang
mereka miliki dan rasa aman itu lah yang akan menunjukkan bahwa sebentar lagi
pemusnahan akan terjadi. Tak ada bangsa berperadaban yang aman dari tipuan
merasa aman ini kecuali bangsa yang telah mendekati pengahiran untuk merugi.
Pijar-pijar tu, mereka telah tiada, namun cahaya-cahaya mereka akan tetap
terjaga." Ungkap Nenek itu mencoba menjelasakan makna pijar itu. "Kau
tahu pernik-pernik cantik di sekitar pijar itu? Lanjut Nenek tua mengungkap
makna.
Saat manusia hendak akan
binasa dia akan mewariskan kekuatannya pada penerusnya. Penduduk-penduduk kaum
barat merasa bangga karena mereka dapat warisan dari leluhur mereka yang pernah
berjaya. Kaum Shin dan Hind merasa bangga dengan ajaran-ajaran leluhur mereka
dan menyanjungnya sebagai Tuhan mereka. Demikian pula dengan pernik-pernik itu,
mereka adalah regenerasi dari pantulan sinar pijar-pijar itu yang mampu
memantulkan sinar itu ke arah yang lebih luas menelusuri lorong waktu. Sinar
itu. Yang mereka pantulkan adalah cahaya yang nanti akan dibawa seelah
pengahiran dari semua sandiwara ini. Pernik-pernik itu adalah para petempur
haqiqi dalam kebenaran Ilahi. Tahukah kau siapa mereka? Mereka adalah pembawa
cahaya yang dibenci para pembesar-pembesar manusia. Mereka adalah petarung yang
kerap dihina oleh bangsanya sendiri atau bahkan disiksa. Jadilah kau sebagian
dari para petempur-petempur itu. Karena cahaya itu, yang mereka bawa adalah
cahaya kebenaran yang haqiqi menuju kehidupan yang haqiqi pula.
Murji terbelalak. Raut
mukanya membeku kerut berisyarat siapa yang dimaksud Nenek tua itu. Ia pandang
lentera susun cahaya itu. Ia tatap pijar terahir terbesar yang merupakan sumber
dari pijar-pijar lain. Kemudian tatapannya ia teruskan untuk memperhatikan
pernik-pernik di bawahnya, yang bergelantungan menghias lentera itu. Mereka tak
mewariskan harta atau sebuah kebanggan akan tetapi mereka mewariskan sebuah
cahaya. Sebuah cahaya yang harus kita jaga menuju penghancuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar