Eksistensi
Ilmu Laduni
Dalam
Perspektif Al Ghozali
Oleh
: Mohamad Bejo
Pendahuluan
Paradigma
pendidikan Islam dewasa ini kerap kali menjadi acuan untuk dijadikan titik
tumpu kebangkitan Islam dalam masa keterpurukannya. Tak ubah halnya seperti Eropa
dulu ketika masa-masa kejayaan Islam yang juga merasa tertindas keilmuawannya
oleh pengetahuan-pengetahuan Islam yang sedang populer waktu itu. Kejayaan awal
Islam membuat Eropa harus tunduk mengakui kehebatan agama samawi terahir
ini. Namun sekitar mulai abad ke tujuh hijriyah semua menjadi terbalik arah.
Barat mulai menampakkan bibit renaissance mereka untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan mereka menjadi maju. Di lain pihak, Islam mendapat serangan
penghancuran massal oleh kaum Mongol, yang rela atau tidak rela Islam harus kehilangan
ribuan bahkan jutaan hasil pemikiran.
Beranjak
dari situ, jauh sekitar abad 5 hijriyah, seorang ulama besar yang tak asing
lagi, dengan sebutan Al Ghozali secara emplisit mencoba mengungkap suatu konsep
keilmuan yang sangat istimewa dalam ranah berfikir. Konsep keilmuwan yang dari
dulu sampai sekarang menjadi impian oleh setiap orang, dan menjadi suatu
kebanggaan besar ketika menguasai konsep itu. Suatu konsep yang dikatakan
melampau batas adat yang mampu melewati dinding akal dalam mengkaji sebuah
masalah. Ilmu Laduni, sekira begitulah mereka menyebut konsep ini. Suatu ilmu
yang terinpirasi dari cerita nabi Musa as. dan nabi Khidlir as. dalam surat Al Kahfi
membuat ilmu ini menjadi semakin populer saja. Selanjutnya, konsep itu menjadi
suatu delikates[1]
yang menjadi impian untuk menerpa sebuah bidang ilmu.
Seiring
modernisasi dewasa ini, konsep ini mulai terlupa dari pemikiran umat.
Kecondongan mereka dengan gaya pikir Barat membuat sebagian muslim lebih
memilih pemikiran yang cenderung bergaya filsafat. Nilai dari konsep Laduni pun
mulai surut, bahkan sebagaian kelompok secara langsung tidak langsung membenci
adanya ilmu ini[2].
Dari sinilah ternyata Imam Al Ghozali menjadi terinpirasi untuk menulis sebuah
kitab yang menerangkan eksisitensi dari ilmu laduni ini. Kitab itu kemudian beliau
beri lebel nama Ar Risalah Al Laduniyah.
Kajian
ini terasa penting untuk ditelaah karena setelah menilik penemuan-penemuan
sekarang, ternyata Barat sendiri semakin mengakui akan eksisitensi ilmu ini
melalui jalan sufiesme. Bukti nyata dari hal itu adalah dengan dikembangkan
teori toga kecerdasan, IQ, EQ, dan SQ. Dari sini, sebagai muslim seharusnya
kitalah yang lebih berhak untuk mendalami dan menggunakan konsep ini dalam
pendidikan Islam, mengingat pendidikan Islam dapat dibilang kalah dari kemajuan
Barat di bidang tekhnologi. Dari semua itu terasa perlu adanya suatu kajian
ulang bagaimana dasar-dasar eksistensi ilmu Laduni itu.
Sejarah
Singkat Riwayat Al Ghozali
Nama
lengkap dari imam Al Ghozali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad
Al Ghozali. Lahir di Thusi[3]
pada tahun 450 H. Pertama, ia menuntut ilmu di negaranya sendiri kemudian
beralih ke Jarjan, lalu kembali lagi ke Thusi. Dalam waktu ini imam Al Ghozali
sudah memunyai karangan-karangan kitab. Setelah itu ia beralih ke Naisabur untuk
menuntut ilmu kepada Imam Haramain. Di Naisabur inilah Al Ghozali mulai
menekuni tekhnik-tekhnik perdebatan, mantik, falsafat dan lain-lain. Ia juga
mengarang kitab tentang penolakan akan golongan-golongan yang dianggap
melenceng tidak sejalan ahli sunnah. Setelah wafatnya Imam Haramain, Imam Al
Ghozali pindah ke Baghdad tahun 484 H dan menjadi staf pengajar di madarasah Nidzomiah
pada decade kepemimpinan Nidzom Al Mulk. Tak lama kemudian setelah itu, Al Ghozali
kembali lagi ke Khurosan lalu ke baladnya sendiri, Thusi. Setelah inilah imam Al
Ghozali menjadi lebih condong ke arah konsep sufiyah hingga beliau
kembali ke rahmattullah tahun 505 H.
Kedudukan
Ilmu Secara Globalitas
Pada
awal mula kitab, Imam Al Ghozali mencoba menerangkan sebab-sebab kenapa dia
menulis kitab ini, yaitu karena adanya sebagian kelompok yang menentang adanya
eksistensi ilmu Laduni. Secara emplisit ilmu Laduni memang termasuk dalam
kategori metafisikis, dari itulah diungkap dalam kitabnya bahwa ilmu jenis ini
tergolong ilmu ghoibi. Dalam ranah selanjutnya Al Ghozali membantah kekakuan
orang yang menafikan ilmu Laduni dengan mengatakan bahwa seorang itu tidak bisa
mengakui eksistensi ilmu Laduni karena dia belum mengetahui secara jelas pembagian
ilmu, perinciannya, strata ilmu, hakikat, sisi inside, dan outside
dari ilmu secara globalitas. Dengan alasan inilah kemudian Al Ghozali mencoba
menjelaskan perincian-perincian tersebut .
Sebelum
terjun lebih dalam, Al Ghozali mencoba mendefinisikan makna dari kata 'Ilmu' itu
sendiri. Definisi Ilmu menurut Al Ghozali adalah suatu diskripsi nafs (ruh)
pemikir yang muthmainah dalam menyingkap hakikat dari sesuatu, dengan
diskripsi yang terlepas dari materi, dan terlepas dari kaifiyah, kammiyah,
elemen-elemennya, dan dzatnya jika sesuatu itu individual/satu.[4]
Selanjutnya
tentang menilai dari kedudukan suatu ilmu secara globalitas, Al Ghozali selaras
dengan ulama-ulama lain mengatakan bahwa kedudukan pangkat dari ilmu itu sesuai
dengan pangkat dari keberadaan ma'lum-nya. Secara lebih jelasnya, beliau
menggambarkan hal itu dengan ajaran ketauhidan yang mana secara vertikal
berhubungan langsung dengan sang Pencipta. Ilmu tauhid menduduki derajat
tertinggi dalam ranah kemuliaa ilmu karena adanya hubungan dengan keberadaan
dzat tertinggi yang Maha Agung. Ilmuwan yang memegang ilmu ini pun mendapatkan
kursi tertinggi pula dengan ilmu Tauhid mereka, sehingga dengan alasan ini para
Nabi mempunyai kedudukan tertinggi dengan ajaran tauhid yang mereka bawa. Namun
bukan berarti hal ini merendahkan ilmu-ilmu lain, karena ilmu Tauhid sendiri
tidak bisa lengkap kecuali adanya premis-premis pendahuluan dari ilmu lain
seperti ilmu Alam, ilmu teoritis Al Quran dan Al Hadits, fiqih, dan ilmu-ilmu lain.
Memandang
tentang kemuliaan setiap ilmu, maka secara dzatiyah, setiap ilmu adalah
mulia, walaupun ilmu itu adalah ilmu sihir yang secra syara' diharamkan. Ini
karena memandang balik bahwa ilmu adalah anonym/lawan dari kebodohan. Kebodohan
adalah salah satu dari kelaziman kegelapan/zulmah. Kegelapan adalah
ekspresi dari kestatisan, dan statis dekat dengan kitidakberadaan/'adam.
Selanjutnya ketika ilmu itu lebih baik dari kebodohan.
Deferensial
Antara Ruh Insani Dan Nafs
Eksistensi
manusia dalam penciptaanya terdiri dari dua substansi. Pertama, adalah material
tubuh dan yang kedua adalah nafs, central yang mampu mempunyai kemampuan
idrak. Tubuh sendiri dalam keberadaannya masih memiliki substansi lagi
yang terdiri dari anggota-anggota tubuh dan daya yang menurut alAl Ghozali di
sebut dengan nama nafs hewani.
Ketika
menilik dari bagaimana Al Ghozali menjelaskan tentang nafs hewani ini
maka terlihat kecondongan yang diinginkannya adalah emosional quation
(EQ). Hal ini terlihat apa yang diungkapnya ketika mencoba membedakan nafs
yang ia sebut dengan jauhari dan nafs hewani dalam kitabnya,
Dan aku tidak menghendaki dengan
kata nafs ini dengan suatu daya yang mendorong untuk makan, begitu juga
bukan daya yang menggerakkan syahwat dan marah, juga bukan daya dalam jantung
yang mengatur kelangsungan hidup dan merealisasikan kemampuan indrawi dan gerak
ke seluruh tubuh, karena semua daya-daya ini disebut daya ruh hewani. Indra,
gerak tubuh syahwat, dan marah adalah tentara dari ruh ini.
Kemudian
emosional quation ini dikategorikan dalam daerah substansi jism. Akan tetapi
peranannya lebih samar dari pada anggota tubuh seperti mata, telinga, tangan
dan lainnya. Hal ini karena memang yang berperan penting dalam memenej
emosional ini adalah hormone dan enzim sehingga lebih cenderung bersifat intern
dalam tubuh.
Pada
ranah selanjutnya, setelah membedakan tubuh menjadi nafs hewani dan
tubuh murni, bagian lain dari manusia adalah nafs yang berperan penting
dalam menerima ilmu. Aktivitas dari nafs ini hanya berpotensi mengingat,
menghafal, berfikir, membedakan, dan berangan-angan. Nafs inilah menurut
filosof disebut dengan nafs nathiqoh. Menurut alquran disebut nafs
muthmainah dan ruh amri. Menurut ahli sufi disebut hati/qolb.
Jauh
diluar lingkup pembedaan nafs ini dari jism, para Mutakalimin mengatakan
bahwa nafs ini tergolong dalam jenis jism akan tetapi memiliki desain lebih
kompleks. Para ahli kedokteran pun cenderung berpendapat sama dengan ini.
Sebagian golongan lain ada yang mengatakan bahwa darah adalah ruh yang dimaksud
itu. Menilik dari kesemuanya, menjadikan adanya tuntutan pembagian ketiga yang
disebut dengan 'aradl (tabiat). Ketika tubuh sedang mengaktifkan ruh hewani
berupa adrenalin misalnya, maka ekspresi 'aradl yang dihasilkan adalah emosi
marah. Ketika hormone dalam lambung difungsikan maka akan timbul 'aradl
yang disebut lapar. Jadi, manusia terdiri dari tiga substansi yaitu jism
tubuh, nafs jauhari dan 'ardl yang merupakan hasil dari ekspresi tubuh.
Klasifikasi
Ilmu Dalam Perspektif Imam Al Ghozali (Masuk Juga Ilmu Sufiyah)
Memotong
jauh dari pandangan perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini, imam Al Ghozali
dalam kurun ke empat hijriyah menggolongkan aneka ilmu menjadi dua golongan
utama,
- Ilmu Syar'i.
ilmu Syar'i sebenarnya masih
terbagi lagi menjadi dua, yaitu ilmu usul dan ilmu furu'. Ilmu usul yang
dimaksud dalam pemabagian ini adalah ilmu dasar-dasar agama yang lebih dikenal
dengan ilmu Tauhid. Sedang ilmu furu' masih terbagi lagi mejadi tiga bagian, pertama,
ilmu yang bersifat haqullah seperti sholat, zakat, haji, jihad, dan dzikir-dzkir
lainnya. Kedua, ilmu yang bersifat haqul ibad, seperti ilmu
muamalah, ilmu nikah, faraidl, ilmu tentang perbudakan, dan lain-lain. Ketiga,
ilmu yang bersifat haqun nafsi, yaitu ilmu tentang akhlak tata
karama.
- Ilmu Aqli.
Ilmu Aqli terbagi mejadi tiga
derajat. Pertama, ilmu perhitungan dan mantiq, seperti ilmu metematika,
arsitektur, perbintangan, filsafat. Kedua, ilmu alam, seperti fisika,
kimia, biologi, geofisika, geografi dan lain-lain yang lebih cenderung terfokus
pada keselarasan alam, baik itu dalam tubuh manusia sendiri atau lingkungan
dimana tempat manusia itu berada. Ketiga, ilmu yang cenderung mendorong
untuk berfikir tentang keberadaan sang Kholiq, menilik tentang
sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiznya, serta menilik pengetahuan-pengetahuan
ghoib lainnnya seperti malaikat dan setan, kenabian, mu'jizat dan lain-lain.
Ketika
menelaah dari pembagian itu maka ilmu sosial lebih cenderung identik dengan
ilmu Syar'i, mengingat dalam ilmu Syar'i juga membahas tentang hukum-hukum
muamalah, nikah, dan lain-lain. Akan tetapi, kendati demikian dewasa ini ilmu
sosial sudah terlepas dari rangkuman ilmu Syar'i karena kecondongannya yang
lebih mengglobal tidak memandang agama. Ambil saja sosiolgi atau antropologi.
Dua bidang ilmu yang baru muncul sekitar 1950 M oleh ilmuwan barat August
Comte[5]
Kaifiyah
Nafs Dalam Produktivitasi Ilmu
Dalam
penjabaran produktivitasi ilmu, sekira ada dua pembagian utama dalam bab ini,
yaitu ilmu pembelajaran/edukasi yang bersifat insani dan edukasi yang bersifat robani.
- Edukasi insane
edukasi insani adalah sistem
pembelajaran yang sering dipakai dalam lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya.
Seorang guru menerangkan tentang kandungan ilmu dan sang murid mendengar dan
memahaminya. Secara jelas sistem ini bukan sistem edukasi yang dijanjikan dalam
konsep ilmu laduni, menimbang cara ini sudah lazim dipakai dikalangan umum.
- Kedua, edukasi robani adalah pembelajaran yang menggunakan sistem selain dari sistem edukasi insani. Dalam penjabaran yang lebih kompleks sistem ini terbagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, edukasi robani yang dari dari luar outside. Kedua, edukasi robani yang dari dalam, inside.
Edukasi
robani yang berasal dari luar berarti suatu pembelajaran yang disitu masih
menggunakan bantuan guru. Sistem teach-learning masih berlaku
dalam siklus ini. Akan tetapi sesuatu yang membedakan sistem ini dari yang lain
adalah seorang Teacher/guru yang bertindak adalah langsung dari Allah
swt. atau melalui malaikatnya. Dan inilah yang menjadikan sistem ini istimewa
dan menempati tingkat teratas dari sistem edukasi yang lain. Bentuk riil dari
system pendidikan ini adalah 'wahyu' yang diturunkan Allah swt. pada Nabi-nabi
atau Rasul-Nya. Walau tergolong istimewa, sistem edukasi ini hanya terkhusus
pada nabi dan rosulnya saja, sehingga manusia tidak mempunyai ikhtiar untuk
mengusahakan edukasi ini.
Edukasi
robani yang berasal dari dalam, berarti manusia melakukan sistem
pembelajaran dari dan untuk dirinya sendiri. Sistem ini unik karena menggunakan
murid dan guru dari satu bahan yang sama, yaitu dirinya sendiri. Dalam hal ini Al
Ghozali menguraikan bahwa edukasi ini adalah bentuk lain dari tafakur.
Ketika seorang sedang bertafakur, maka nafs orang itu dalam kondisi istifadah
dari nafs kulii (global). Jadi nafs yang dimiliki
akan mencoba menghadirkan beberapa gambaran-gambaran solusi yang dihasilkan
oleh nafs kulii. Dalam hal ini Al Ghozali berpendapat bahwa ilmu secara
nisbi[6]
sebenarnya terpusat dan terkumpul di dalam nufus (jama' nafs),
seperti halnya sebuah biji yang terpendam dalam tanah. Sedang sistem edukasi
ini adalah cara untuk menumbuhkan biji-biji ilmu itu menjadi sebuah pohon ilmu
yang lebih berdaya besar. Semakin pandai pemiliknya mengolah maka hasil pohon
ilmu akan semakin baik dan berbuah banyak. Inilah yang sebenarnya terjadi
ketika kita melihat seseorang yang satu jam saja belajar, tapi mampu melampaui
orang lain yang belajar satu tahun. Salah satu yang dapat mempercepat
pemandaian mengolah sistem edukasi robani inside ini adalah semakin
jernihnya hati seorang tersebut. Semakin jernih hati maka ia akan semakin mampu
mengolah biji yang terpendam dalam tanah tersebut. Dalam hal inilah peran takwa
terlihat daya atsar-nya dalam menghasilkan ilmu. Ketika seorang pengolah
ilmu dengan system ini telah berhasil mendapatkan buah, maka buah inilah yang
selanjutnya disebut dengan ilham.
Hakikat
Ilmu Laduni dan Ekploitasinya
Dari
berbagai uraian di atas dapat ditarik
suatu benang bahwa ilmu laduni sebenarnya adalah sebuah perjalanan nafs
dalam menerima ilham setelah mengalami pensterilan dan penjerihan. Semakin
jernih nafs yang menerima maka akan semakin baik hasilnya.
Kemudian
dalam mencapai pensterilan dan penjernihan ini, Al Ghozali menyebutkan ada tiga
sebab yang bisa diusahakan oleh seorang manusia;
Pertama,
mempelajari seluruh ilmu dulu dan mengambil garis besarnya.
Kedua,
melakukan riyadloh/ latihan, atau dengan kata lain mengamalkan ilmu yang
ia ketahui. Cara ini sejalan dengan hadits Nabi saw., "man 'amila bimaa
'alima auratsahullahu 'ilma maa lam ya'lam", 'barang siapa yang mengamalkan
ilmunya maka Allah akan mengajarinya ilmu yang tidak ia ketahui'.
Ketiga,
dengan bertafakkur. Tafakkur ini merupakan kontaminasi penalaran dari dua cara pertama
dan kedua. Jadi seorang tersebut menalar atau memikirkan kembali dari apa yang
ia dapat dari ilmu-ilmu yang ia pelajari dan ia amalkan. Tafakkur ini berbeda
dengan konsep edukasi di sekolah atau madrasah-madarasah, karena tafakkur
disini adalah penggalian nafs tentang biji ilmu yang sebenarnya
terpendam dalam diri seorang tersebut.
Penutup
Secara
kesimpulan sebenarnya ilmu Laduni itu adalah nama lain dari Ilham. Ilham
sendiri merupakan salah satu sistem edukasi dari dan untuk diri sendiri dengan
kejernihan hati. Selain itu juga ada sistem-sistem lain seperti wahyu dan
pembelajaran yang umum terjadi di lembaga-lebaga edukasi. Gambaran dalam penghasilan
ilmu laduni itu seperti pengolahan biji yang telah terpendam dalam tanah yang
kemudian tumbuh menjadi pohon lalu berbuah. Ilmu Laduni adalah kemampuan yang
terpendam dalam diri orang itu sendiri. Nafs/ruh manusia itu sebenarnya
sudah mempunyai biji-biji ilmu yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi sebuah
ilmu yang hebat dan mengagumkan. Wa Allahu a'lam.
[3] Tahun
617 H, kota ini dihancurkan oleh tentara Mongol. Dulunya kota ini adalah kota
kedua terbesar di Khurosan setelah Naisabur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar