BIBIT KALIJOGO
Oleh : Mohamad Bejo
Siti Jenar terlihat
tenang-tenang saja. Raden Patah dan Sembilan Wali tampak mengepungnya sebagai
orang yang terdakwa. Suasana Masjid seakan bernuansa panas, penuh rahasia.
Hembusan Angin malam itu tampak membisu. Heningan hati-hati suci para wali
bersenandung dzikir sayup-sayup menyela suasana. Tampak seorang berjubah sufi
dengan ikat imamah di kepalanya sedang tegar duduk bersila di tengah
majlis dengan goyangan kaki merah, yang menjadi julukannya ketika menginjakkan
kaki itu di tanah. Siti Jenar, si tanah merah sedang disidang masjlis Wali karena
terdakwa sebagai biang keladi keonaran aqidah wahdatul wujud.
Wahdatul wujud, sebuah kaidah sufiah yang
berteori rancu di luar akal orang awam. Inilah sumber malapetka kerajaan Demak
pertama yang baru lahir setelah keruntuhan Majapahit dikarenakan peperangan
saudara. Orang awam yang tak cukup akal untuk menerima dan memahami akan
merespon salah-kaprah teori setengah iblis ini. Pengumbaran nafsu, itu juga
hasil ahir dari tujuan Iblis melesatkan kaidah berjubah malaikat ini. Butuh
intelejensi yang kuat untuk memahami konsep sufi satu ini, atau bahkan di
kalangan sufi sendiri ajaran ini termasuk ajaran yang terlarang. Karena
mengandung unsur kemusyrikan menyekutukan Tuhan. Walau memang jika direka-reka
dengan kata, seakan konsep ini benar tak menyalahi agama. Tapi siapa yang tahu
jika di balik jubah agama itu ada ide Iblis yang menelusupkan belatinya untuk
menusuk dan menyayat keimanan di hati. Apalagi Siti Jenar mengibarkan bendara wahdatul
wujud-nya di saat-saat kerajaan Demak baru terlahir. Kerajaan yang baru
saja ingin menghindari percekcokan Majapahit dalam masa-masa terahirnya, akan
tetapi setelah baru saja belajar menyusu tiba-tiba ada keributan, yang
ditimbulkan yang tidak lain dari pemuka agama sendiri. Lebih terasa tragis lagi
kalau korbannya adalah orang awam yang tak tahu-menahu tentang makna dan efek
teori setengah iblis itu.
Hantaman hujjah
mengepul di surau Masjid. Siti Jenar dengan kelihaiannya membual alasan-alasan
tindakannya. Sudah jelas salah akan tetapi masih berjilat lidah, inikah watak anak
Ibu pertiwi? Sembilan Wali merasa gerah dengan tingkah laku satu ulama ini,
Siti Jenar, yang sudah layak sampai ke tingkat wali. Bagaimana bisa dan tega ia
menjerumuskan orang-orang awam ke jurang nista yang berluap bara neraka. Orang
yang tak tahu-menahu harus ikut-ikutan tersiksa lantaran keteledoran satu ulama
yang nyeleneh dari jalan Syariat.
Jikalau Siti Jenar
berfikir sendiri kemudian menyimpannya dalam hati tanpa harus mengedarkan racun
itu, mungkin bisa dimaklumi sebagai prosesnya dalam mencapai kesempurnaan suluk-nya
pada sang Pencipta. Atau paling tidak kesesatan itu hanya sebatas pada dirinya
sendiri saja, tak merembet ke hati orang lain. Jika ingin masuk neraka masuk
saja sendiri jangan ajak-ajak, tapi Siti Jenar telah menyebarkannya. Itu yang
membuat dia harus dimusuhi oleh wali-wali lain.
Deras genjatan hujjah
memanas. Para Wali tengah kewalahan menghadapi penjilat model ulama ini. Raden Patah
hanya bisa diam melihat guru-gurunya saling berdebat sengit. Ia tak bisa
membela atau menyalahkan orang-orang yang telah membimbingnya dan mengangkatnya
sebagai raja pemegang tahta pertama kerajaan. Siti Jenar terlalu lihai untuk
permasalahan ini sehingga walau dia nyatanya salah, ia masih bisa berbelok arah
untuk mencari alasan.
Persidangan pun tak
berpihak pada Siti Jenar sebagai pemenang. Tampak satu orang aneh yang
berpakaian beda dari yang lain dengan blangkon Jawa di kepalanya meladeni Siti
Jenar dalam perdebatannya. Sesekali Siti Jenar berhujjah, ia balikkan hujjah
itu dan menukik dengan kesalahan dari ucapan Siti Jenar dalam mengaplikasi
syariatnya. Rompi jawa berbelang hitam coklat mengisyaratkan satu orang ini
mempunyai kemampuan lain dalam kepribadiaanya. Tidak seperi Wali-wali lain yang
memakai imamah ala Timur Tengah di kepalanya. Suatu kejanggalan aneh
yang istimewa dari seorang wali berpangkat dalang ini.
Kalijogo, sebuah
gelar yang ia dapat setelah tirakatnya tiga tahun bertapa di tepi sungai
menunggui sebuah tongkat amanat dari Sunan Bonang, gurunya. Bekas perampok yang
bergelar "Brandal Lokajaya" ini walau tak memakai atribut Timur
Tengah sebagai tanda kewaliannya, namun pengaplikasian syariatnya tak pernah melenceng
dari kaidah agama yang sah, dan bahkan menyumbang simbangsih besar dalam
penyebaran Islam di pulau Jawa, dengan metode dakwahnya wayang, yang dapat
menarik kalangan-kalangan awam dengan mudah tanpa harus banyak membantah.
Ia tampak meladeni
Siti Jenar berdebat. Hujjah-hujjah si Tanah Merah itu dapat ia tangkis dengan
dalil kebenaran dalam menyeimbangkan syariat, thoriqot, dan haqiqat.
Matanya terlihat meruncing serius menunggu umpan balik dari Siti Jenar dalam
berhujjah. Siti Jenar sendiri ahirnya pun kewalahan menghadapi Sunan Kalijogo. Walau
begitu para Wali sebenarnya pun menunggu saat mungkin Siti Jenar mau bertaubat
dari tindakannya itu.
Siti Jenar terlalu
keras kepala. Ia tetap mempertahankan I'tiqad wahdatulwujud-nya walau
dia sudah terbukti salah. Suatu tindakan yang selayaknya harus dijauhi oleh
seorang yang dipercaya dalam agama. Sudah tahu itu salah, namun masih keras
kepala. Ahir dari cerita, Siti Jenar pun harus berkalung maut di pemancungan
karena difonis dengan tindak kemurtadannya.
*****
Terdengar sebuah
alarm Hp berbunyi dari sebuah saku laki-laki yang terlihat berpantat besar.
Celana dan jasnya menunjukkan bahwa orang itu bertitel intelek. Sebuah tangan
besar terbungkus lemak meraba-raba seluruh tubuh, mencoba mencari dari saku
mana Hp itu berbunyi. Pecis hitam kelam yang tak punya suara ikut-ikutan
diperikasanya sebagai terdakwa yang dicurigai.
"Hanya
sms!"
"Dari siapa, pak
Yanto?" Tanya Dedi pada lelaki gemuk pemilik Hp yang baru saja berbunyi
itu.
Pak Yanto, sarjana Ekonomi
yang kini telah bergelar doctor. Hari ini kebetulan ia sedang tak ada acara
jadi ia buat saja untuk mengunjungi, bertamu ke rumah kiainya. Pak Yanto terdiam.
Sejenak ia pandang Hp-nya. Hp di tangan gemuknya terlihat seperti mainan kecil
anak-anak saja. Tak lama melihat isi Hp, Keningnya tiba-tiba mengkerut.
Mulutnya melebar masam seakan baru saja terinfeksi virus-virus susah.
"Oh.. ini dari
Khumaidi yang di Mesir. Katanya ia akan dievakuasi karena adanya demonstrasi di
Mesir yang semakin memburuk" Jawab pak Yanto mencoba menerangkan nasib
keponakannya yang sekitar tiga tahunan ini belajar di tanah Pyramid itu.
"evakuasi apa
maksudmu, pak?" tanya kiai Anwar yang tengah duduk tepat di depan pak
Yanto.
Kiai Anwar, lelaki
setengah tua dengan pakaian putih lengan panjang, bersarung batik ala Samarinda
dan pecis putih hajinya. Ia tiba-tiba terlihat lebih murung dari pada pak Yanto
saat mendengar jawaban pak Yanto. Kiai pondok Miftahul Falah itu merasa
terhungus hatinya dengan ungkapan-ungkpan pak Yanto. Dia tak percaya jika
khumaidi dievakuasi dan dipulangkan lagi di Indonesia. Khumaidi adalah anak
pandai dan terpelajar. Kiai Anwar berharap suatu saat Khumaidi dapat menjadi penggantinya.
Kemarin, sebelum ia berangkat ke mesir, keluarganya baru saja meminang putri
kiai Anwar. Harapan hatinya, khumaidi, menantunya nanti bisa meneruskan
perjuangan pondoknya. Namun jika Khumaidi pulang di tengah perjalanan mencari
ilmunya itu berarti ilmunya masih tidak cukup matang untuk bisa diandalkan.
Evakuasi itu akan memutus belajarnya.
Suasana ruang mosalla
tempat mereka berada terdiam sejenak. Azizah dan ibunya yang berada di balik satir
tempat wanita ikut-ikutan sedih. Anak ibu itu saling memeluk satu sama lain
mencoba saling menguatkan rasa sedih mereka. Ruang musolla pribadi berukuran
enam kali enam meter itu berubah haluan menjadi ruang sedih.
Lima orang di ruang
itu. Pak Yanto, si sarjana ekonomi. Kiai Anwar, pengasuh pondok, Dedi, santri
sekaligus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi, ditambah lagi Azizah putri
pak Kiai dan ibunya.
Mereka sengaja
berkumpul di musolla itu setelah tiba-tiba ada kabar setan yang mengganggu
pemikiran sebagian anak-anak muda. Apalagi katanya desas-desus itu berasal dari
sekolah perguruan tinggi yang notabennya agamis. Seperti iblis yang meminjam
jubah malaikat untuk menipu. Azizah kebetulan juga belajar di perguruan tinggi
itu. Ia pertama bimbang tentang adanya pemikiran-pemikiran aneh yang sedang
tenar di kuliahnya. Karena merasa tak menemukan jawaban yang pasti ia coba
bertanya pada ayahnya yang notabennya sebagai kiai pondok yang berpengalaman
tinggi dalam agama.
Serentak kiai Anwar
terkaget saat Azizah menanyakan masalah itu. Ia tak percaya bahwa ada pengajar
agama yang nyelewah[1]
sejauh itu dari tuntunan syariat. Kiai Anwar terlihat seperti kehantuan setelah
mendengar kabar Azizah tentang pelencongan aqidah di perguruan tingginya. Ia
tak menyangka betul ada iblis di balik sutra agama. Karena merasa penasaran
dengan kebenaran itu maka sengaja kiai Anwar, pengasuh pondok, mengumpulkan
lima orang itu. Dedi sengaja dipanggil karena dia juga menimba ilmu di
perguruan itu. Sedang pak Yanto, sarjana ekonomi itu, karena dia adalah orang
berpendidikan yang dekat dengan pak Kiai, maka sengaja ia juga diundang.
Kiai Anwar menggeleng
kepala. Seakan tak percaya dengan dengan kabar itu namun kenyataan telah
membuktikannya. Beribu perasaan takut mulai menghujani hatinnya. Ia bayangkan
bagaimana nanti jika umat terserang virus setan ini. Bayangan api seakan dapat
ia rasakan dalam raut mukanya saat membayangkan lidah-lidah penganut sesat itu
meneror pemikiran-pemikiran kaum muda. Pemikiran yang hanya berambisi untuk
pemuasan. Pemikiran yang mlenceng dari jalan para pendahulu yang berjuang
mati-matian menegakkan Islam. Sepintas terlintas dalam benak kiai Anwar cerita
tentang Walisongo yang telah menyebarkan Islam di bumi pertiwi ini. Ia merasa
sedih jika sebagai penerus dari ajaran Walisongo, ia tak mampu lagi
mempertahankan pendirian-pendirian mereka.
Pak Yanto tampak
sibuk sendiri dengan Hp-nya. Tombol-tombol Hp itu ia pencet seakan menimbulkan
music, mengiringi kekhawatiran kiai Anwar. Suasana tegang diam menghiasi
musolla itu. Detik jam yang sebelumnya terdengar diam seakan semakin mengeras,
berbunyi mengikuti lantunan pejetan tombol Hp pak Yanto.
"Pak
Yanto!" Tegur kiai Anwar pelan yang merasa geram dengan ulah teman
gemuknya itu yang malah bermain-main Hp di saat-saat lagi serius.
"E..e.. iya pak
Kiai!" Jawab pak Yanto gugup, "Ini saya lagi lihat-lihat foto-foto
Khumaidi di Mesir. Kemarin dia kirim ke saya foto-foto lewat internet!" Lanjut
pak Yanto mencoba beralasan agar tidak disalahkan dengan tindakan
kekanak-kanakan itu.
Ia lalu tunjukkan
foto-foto Khumaidi pada kiai Anwar, agar tahu keadaan calon menantunya. Pak
Yanto menjelaskan satu persatu tempat-tempat di mana Khumaidi sedang berfoto.
Ia tunjukkan foto saat berada di samping piramida. Ia tunjukkan foto kota
Kairo, sungai Nil dari langit dan juga tempat-tempat kuliah Khumaidi di Al
Ahzar. Dia tunjukkan saat Khumaidi berpose di depan gedung kuliah. Di saat-saat
pelajarannya, foto-foto bersama guru-guru dan masyayih-nya di Mesir, dan
lain-lainnya.
"Tunggu
sebentar!" Pinta kiai Anwar mendiamkan penjelasan pak Yanto sambil mencari
gambar Khumaidi saat bersama dengan guru dan Masyayihnya.
"Dedi! Tolong
ambilkan foto Walisongo yang berada di lemari depan dekat pintu!" Perintah
pak Kiai tiba-tiba. Merasa ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan. Dedi pun
bergegas bangun dan mengambilnya. Mengambil sebuah foto rekaan orang-orang yang
berjasa besar di Indonesia, Walisongo.
Dedi kemudian
menghaturkan foto yang ia ambil itu pada kiai Anwar. Kedua tangannya
menyerahkan foto itu dengan lembut dan penuh sopan santun, suatu tanda
penghormatan kepada yang lebih tua, suatu penghormatan pada seorang guru yang
telah berjasa baginya. Kiai Anwar kemudian mengambil foto itu dari tangan
muridnya yang terlihat lugu tapi berbakti itu. Ia pandang foto itu dengan mata
tajam. Lalu ia ambil Hp dari tangan pak Yanto. Ia jejerkan foto Khumaidi
bersama guru-guru dan masyayihnya dengan foto Walisongo yang berada di tangan
kirinya. Kiai Anwar tiba-tiba berdiri dengan gaya curiga memandang foto itu. Ia
bawa foto itu ke dekat jendela musolla agar lebih jelas gambar dari kedua
barang itu.
"Kenapa pakaian
mereka berbeda?" Tanya kiai Anwar membuka kecurigaannya, "Baju dan
ikat kepala Walisongo ini berbeda dengan yang berada di foto Khumaidi dengan
gurunya di Mesir??"
"Kumis dan
jengggot mereka berbeda? Berarti mereka bukan dari Mesir. Kekuatan mereka juga
bukan kekuatan alam Mesir?!" Lanjut kiai Anwar, "Lalu, dari Timur
Tengah mana mereka?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar