Menu

Minggu, 30 September 2012

Cerpen - BIBIT KALIJOGO


BIBIT KALIJOGO
Oleh : Mohamad Bejo

Siti Jenar terlihat tenang-tenang saja. Raden Patah dan Sembilan Wali tampak mengepungnya sebagai orang yang terdakwa. Suasana Masjid seakan bernuansa panas, penuh rahasia. Hembusan Angin malam itu tampak membisu. Heningan hati-hati suci para wali bersenandung dzikir sayup-sayup menyela suasana. Tampak seorang berjubah sufi dengan ikat imamah di kepalanya sedang tegar duduk bersila di tengah majlis dengan goyangan kaki merah, yang menjadi julukannya ketika menginjakkan kaki itu di tanah. Siti Jenar, si tanah merah sedang disidang masjlis Wali karena terdakwa sebagai biang keladi keonaran aqidah wahdatul wujud.
Wahdatul wujud, sebuah kaidah sufiah yang berteori rancu di luar akal orang awam. Inilah sumber malapetka kerajaan Demak pertama yang baru lahir setelah keruntuhan Majapahit dikarenakan peperangan saudara. Orang awam yang tak cukup akal untuk menerima dan memahami akan merespon salah-kaprah teori setengah iblis ini. Pengumbaran nafsu, itu juga hasil ahir dari tujuan Iblis melesatkan kaidah berjubah malaikat ini. Butuh intelejensi yang kuat untuk memahami konsep sufi satu ini, atau bahkan di kalangan sufi sendiri ajaran ini termasuk ajaran yang terlarang. Karena mengandung unsur kemusyrikan menyekutukan Tuhan. Walau memang jika direka-reka dengan kata, seakan konsep ini benar tak menyalahi agama. Tapi siapa yang tahu jika di balik jubah agama itu ada ide Iblis yang menelusupkan belatinya untuk menusuk dan menyayat keimanan di hati. Apalagi Siti Jenar mengibarkan bendara wahdatul wujud-nya di saat-saat kerajaan Demak baru terlahir. Kerajaan yang baru saja ingin menghindari percekcokan Majapahit dalam masa-masa terahirnya, akan tetapi setelah baru saja belajar menyusu tiba-tiba ada keributan, yang ditimbulkan yang tidak lain dari pemuka agama sendiri. Lebih terasa tragis lagi kalau korbannya adalah orang awam yang tak tahu-menahu tentang makna dan efek teori setengah iblis itu.
Hantaman hujjah mengepul di surau Masjid. Siti Jenar dengan kelihaiannya membual alasan-alasan tindakannya. Sudah jelas salah akan tetapi masih berjilat lidah, inikah watak anak Ibu pertiwi? Sembilan Wali merasa gerah dengan tingkah laku satu ulama ini, Siti Jenar, yang sudah layak sampai ke tingkat wali. Bagaimana bisa dan tega ia menjerumuskan orang-orang awam ke jurang nista yang berluap bara neraka. Orang yang tak tahu-menahu harus ikut-ikutan tersiksa lantaran keteledoran satu ulama yang nyeleneh dari jalan Syariat.
Jikalau Siti Jenar berfikir sendiri kemudian menyimpannya dalam hati tanpa harus mengedarkan racun itu, mungkin bisa dimaklumi sebagai prosesnya dalam mencapai kesempurnaan suluk-nya pada sang Pencipta. Atau paling tidak kesesatan itu hanya sebatas pada dirinya sendiri saja, tak merembet ke hati orang lain. Jika ingin masuk neraka masuk saja sendiri jangan ajak-ajak, tapi Siti Jenar telah menyebarkannya. Itu yang membuat dia harus dimusuhi oleh wali-wali lain.
Deras genjatan hujjah memanas. Para Wali tengah kewalahan menghadapi penjilat model ulama ini. Raden Patah hanya bisa diam melihat guru-gurunya saling berdebat sengit. Ia tak bisa membela atau menyalahkan orang-orang yang telah membimbingnya dan mengangkatnya sebagai raja pemegang tahta pertama kerajaan. Siti Jenar terlalu lihai untuk permasalahan ini sehingga walau dia nyatanya salah, ia masih bisa berbelok arah untuk mencari alasan.
Persidangan pun tak berpihak pada Siti Jenar sebagai pemenang. Tampak satu orang aneh yang berpakaian beda dari yang lain dengan blangkon Jawa di kepalanya meladeni Siti Jenar dalam perdebatannya. Sesekali Siti Jenar berhujjah, ia balikkan hujjah itu dan menukik dengan kesalahan dari ucapan Siti Jenar dalam mengaplikasi syariatnya. Rompi jawa berbelang hitam coklat mengisyaratkan satu orang ini mempunyai kemampuan lain dalam kepribadiaanya. Tidak seperi Wali-wali lain yang memakai imamah ala Timur Tengah di kepalanya. Suatu kejanggalan aneh yang istimewa dari seorang wali berpangkat dalang ini.
Kalijogo, sebuah gelar yang ia dapat setelah tirakatnya tiga tahun bertapa di tepi sungai menunggui sebuah tongkat amanat dari Sunan Bonang, gurunya. Bekas perampok yang bergelar "Brandal Lokajaya" ini walau tak memakai atribut Timur Tengah sebagai tanda kewaliannya, namun pengaplikasian syariatnya tak pernah melenceng dari kaidah agama yang sah, dan bahkan menyumbang simbangsih besar dalam penyebaran Islam di pulau Jawa, dengan metode dakwahnya wayang, yang dapat menarik kalangan-kalangan awam dengan mudah tanpa harus banyak membantah.
Ia tampak meladeni Siti Jenar berdebat. Hujjah-hujjah si Tanah Merah itu dapat ia tangkis dengan dalil kebenaran dalam menyeimbangkan syariat, thoriqot, dan haqiqat. Matanya terlihat meruncing serius menunggu umpan balik dari Siti Jenar dalam berhujjah. Siti Jenar sendiri ahirnya pun kewalahan menghadapi Sunan Kalijogo. Walau begitu para Wali sebenarnya pun menunggu saat mungkin Siti Jenar mau bertaubat dari tindakannya itu.
Siti Jenar terlalu keras kepala. Ia tetap mempertahankan I'tiqad wahdatulwujud-nya walau dia sudah terbukti salah. Suatu tindakan yang selayaknya harus dijauhi oleh seorang yang dipercaya dalam agama. Sudah tahu itu salah, namun masih keras kepala. Ahir dari cerita, Siti Jenar pun harus berkalung maut di pemancungan karena difonis dengan tindak kemurtadannya.
*****
Terdengar sebuah alarm Hp berbunyi dari sebuah saku laki-laki yang terlihat berpantat besar. Celana dan jasnya menunjukkan bahwa orang itu bertitel intelek. Sebuah tangan besar terbungkus lemak meraba-raba seluruh tubuh, mencoba mencari dari saku mana Hp itu berbunyi. Pecis hitam kelam yang tak punya suara ikut-ikutan diperikasanya sebagai terdakwa yang dicurigai.
"Hanya sms!"
"Dari siapa, pak Yanto?" Tanya Dedi pada lelaki gemuk pemilik Hp yang baru saja berbunyi itu.
Pak Yanto, sarjana Ekonomi yang kini telah bergelar doctor. Hari ini kebetulan ia sedang tak ada acara jadi ia buat saja untuk mengunjungi, bertamu ke rumah kiainya. Pak Yanto terdiam. Sejenak ia pandang Hp-nya. Hp di tangan gemuknya terlihat seperti mainan kecil anak-anak saja. Tak lama melihat isi Hp, Keningnya tiba-tiba mengkerut. Mulutnya melebar masam seakan baru saja terinfeksi virus-virus susah.
"Oh.. ini dari Khumaidi yang di Mesir. Katanya ia akan dievakuasi karena adanya demonstrasi di Mesir yang semakin memburuk" Jawab pak Yanto mencoba menerangkan nasib keponakannya yang sekitar tiga tahunan ini belajar di tanah Pyramid itu.
"evakuasi apa maksudmu, pak?" tanya kiai Anwar yang tengah duduk tepat di depan pak Yanto.
Kiai Anwar, lelaki setengah tua dengan pakaian putih lengan panjang, bersarung batik ala Samarinda dan pecis putih hajinya. Ia tiba-tiba terlihat lebih murung dari pada pak Yanto saat mendengar jawaban pak Yanto. Kiai pondok Miftahul Falah itu merasa terhungus hatinya dengan ungkapan-ungkpan pak Yanto. Dia tak percaya jika khumaidi dievakuasi dan dipulangkan lagi di Indonesia. Khumaidi adalah anak pandai dan terpelajar. Kiai Anwar berharap suatu saat Khumaidi dapat menjadi penggantinya. Kemarin, sebelum ia berangkat ke mesir, keluarganya baru saja meminang putri kiai Anwar. Harapan hatinya, khumaidi, menantunya nanti bisa meneruskan perjuangan pondoknya. Namun jika Khumaidi pulang di tengah perjalanan mencari ilmunya itu berarti ilmunya masih tidak cukup matang untuk bisa diandalkan. Evakuasi itu akan memutus belajarnya.
Suasana ruang mosalla tempat mereka berada terdiam sejenak. Azizah dan ibunya yang berada di balik satir tempat wanita ikut-ikutan sedih. Anak ibu itu saling memeluk satu sama lain mencoba saling menguatkan rasa sedih mereka. Ruang musolla pribadi berukuran enam kali enam meter itu berubah haluan menjadi ruang sedih.
Lima orang di ruang itu. Pak Yanto, si sarjana ekonomi. Kiai Anwar, pengasuh pondok, Dedi, santri sekaligus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi, ditambah lagi Azizah putri pak Kiai dan ibunya.
Mereka sengaja berkumpul di musolla itu setelah tiba-tiba ada kabar setan yang mengganggu pemikiran sebagian anak-anak muda. Apalagi katanya desas-desus itu berasal dari sekolah perguruan tinggi yang notabennya agamis. Seperti iblis yang meminjam jubah malaikat untuk menipu. Azizah kebetulan juga belajar di perguruan tinggi itu. Ia pertama bimbang tentang adanya pemikiran-pemikiran aneh yang sedang tenar di kuliahnya. Karena merasa tak menemukan jawaban yang pasti ia coba bertanya pada ayahnya yang notabennya sebagai kiai pondok yang berpengalaman tinggi dalam agama.
Serentak kiai Anwar terkaget saat Azizah menanyakan masalah itu. Ia tak percaya bahwa ada pengajar agama yang nyelewah[1] sejauh itu dari tuntunan syariat. Kiai Anwar terlihat seperti kehantuan setelah mendengar kabar Azizah tentang pelencongan aqidah di perguruan tingginya. Ia tak menyangka betul ada iblis di balik sutra agama. Karena merasa penasaran dengan kebenaran itu maka sengaja kiai Anwar, pengasuh pondok, mengumpulkan lima orang itu. Dedi sengaja dipanggil karena dia juga menimba ilmu di perguruan itu. Sedang pak Yanto, sarjana ekonomi itu, karena dia adalah orang berpendidikan yang dekat dengan pak Kiai, maka sengaja ia juga diundang.
Kiai Anwar menggeleng kepala. Seakan tak percaya dengan dengan kabar itu namun kenyataan telah membuktikannya. Beribu perasaan takut mulai menghujani hatinnya. Ia bayangkan bagaimana nanti jika umat terserang virus setan ini. Bayangan api seakan dapat ia rasakan dalam raut mukanya saat membayangkan lidah-lidah penganut sesat itu meneror pemikiran-pemikiran kaum muda. Pemikiran yang hanya berambisi untuk pemuasan. Pemikiran yang mlenceng dari jalan para pendahulu yang berjuang mati-matian menegakkan Islam. Sepintas terlintas dalam benak kiai Anwar cerita tentang Walisongo yang telah menyebarkan Islam di bumi pertiwi ini. Ia merasa sedih jika sebagai penerus dari ajaran Walisongo, ia tak mampu lagi mempertahankan pendirian-pendirian mereka.
Pak Yanto tampak sibuk sendiri dengan Hp-nya. Tombol-tombol Hp itu ia pencet seakan menimbulkan music, mengiringi kekhawatiran kiai Anwar. Suasana tegang diam menghiasi musolla itu. Detik jam yang sebelumnya terdengar diam seakan semakin mengeras, berbunyi mengikuti lantunan pejetan tombol Hp pak Yanto.
"Pak Yanto!" Tegur kiai Anwar pelan yang merasa geram dengan ulah teman gemuknya itu yang malah bermain-main Hp di saat-saat lagi serius.
"E..e.. iya pak Kiai!" Jawab pak Yanto gugup, "Ini saya lagi lihat-lihat foto-foto Khumaidi di Mesir. Kemarin dia kirim ke saya foto-foto lewat internet!" Lanjut pak Yanto mencoba beralasan agar tidak disalahkan dengan tindakan kekanak-kanakan itu.
Ia lalu tunjukkan foto-foto Khumaidi pada kiai Anwar, agar tahu keadaan calon menantunya. Pak Yanto menjelaskan satu persatu tempat-tempat di mana Khumaidi sedang berfoto. Ia tunjukkan foto saat berada di samping piramida. Ia tunjukkan foto kota Kairo, sungai Nil dari langit dan juga tempat-tempat kuliah Khumaidi di Al Ahzar. Dia tunjukkan saat Khumaidi berpose di depan gedung kuliah. Di saat-saat pelajarannya, foto-foto bersama guru-guru dan masyayih-nya di Mesir, dan lain-lainnya.
"Tunggu sebentar!" Pinta kiai Anwar mendiamkan penjelasan pak Yanto sambil mencari gambar Khumaidi saat bersama dengan guru dan Masyayihnya.
"Dedi! Tolong ambilkan foto Walisongo yang berada di lemari depan dekat pintu!" Perintah pak Kiai tiba-tiba. Merasa ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan. Dedi pun bergegas bangun dan mengambilnya. Mengambil sebuah foto rekaan orang-orang yang berjasa besar di Indonesia, Walisongo.
Dedi kemudian menghaturkan foto yang ia ambil itu pada kiai Anwar. Kedua tangannya menyerahkan foto itu dengan lembut dan penuh sopan santun, suatu tanda penghormatan kepada yang lebih tua, suatu penghormatan pada seorang guru yang telah berjasa baginya. Kiai Anwar kemudian mengambil foto itu dari tangan muridnya yang terlihat lugu tapi berbakti itu. Ia pandang foto itu dengan mata tajam. Lalu ia ambil Hp dari tangan pak Yanto. Ia jejerkan foto Khumaidi bersama guru-guru dan masyayihnya dengan foto Walisongo yang berada di tangan kirinya. Kiai Anwar tiba-tiba berdiri dengan gaya curiga memandang foto itu. Ia bawa foto itu ke dekat jendela musolla agar lebih jelas gambar dari kedua barang itu.
"Kenapa pakaian mereka berbeda?" Tanya kiai Anwar membuka kecurigaannya, "Baju dan ikat kepala Walisongo ini berbeda dengan yang berada di foto Khumaidi dengan gurunya di Mesir??"
"Kumis dan jengggot mereka berbeda? Berarti mereka bukan dari Mesir. Kekuatan mereka juga bukan kekuatan alam Mesir?!" Lanjut kiai Anwar, "Lalu, dari Timur Tengah mana mereka?"


[1]  Nyelewah; berlainan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar