Menu

Jumat, 05 Oktober 2012

The Girl Of Guci 1


1
BAHTERA


Perbaikilah bahteramu!
Jadikan seluruh barang-barang di sampingmu alat yang berguna di saat orang lain menganggapnya sia! Badai akan datang di setiap kehidupan.
Pilihlah kayu terbaik untuk kau berlayar!

Tubuhku tiba-tiba terasa lemas. Mataku sejenak berhenti berbinar. Kutatap langit-langit kamarku dengan tajam setelah merenungi barisan kata yang dulu pernah menjadi pedoman dalam hidupku. Jika tubuh adalah sebuah kerajaan dan otak adalah rajanya maka motivatornya adalah sebuah gagasan yang selalu memberi kekuatan pada seluruh prajurit untuk tetap bertahan mengarungi kehidupan. Mataku kukedipkan pelan. Tadi siang Abah Masruri mengungkit-ungkit tentang kehidupan ini, yang seperti berlayar di laut berbentang luas samudra. Berfikir layar aku jadi teringat pada seseorang yang telah berjasa besar dalam hidupku. First motivator dalam hidupku. Kang Rudin  kupanggil dia dengan nama itu.
Kata-kata tentang laut mengingatkanku pada sebuah kapal. Kata kapal adalah sinonim dari bahtera. Kata filosofis bahtera ini pertama kali kudengar dari seorang lelaki promotor dalam kehidupanku, Kang Rudin . Seorang tukang pengrajin kayu dengan perawakan tubuh kekar berbalok, berkacamata, rajin, optimis, tapi agak sedikit kumuh. Wajar saja jika demikian, masalahnya kerjanya sehari-hari adalah bergelut dengan kayu, jadi jarang kulihat dia memakai baju bersih. Namun demikian ia tetap berlaku halus, murah senyum, dan tak jarang juga memberikan motivasi aku yang waktu itu hampir saja berhenti sekolah saat aku masih belajar di SMP terbuka desa Sunyalangu, tangga desaku. Maklum keluargaku bisa dikatakan tidak terlalu peduli dengan pendidikan umum, jadi wajar saja waktu itu aku setelah lulus dari MI berhenti belajar reguler, nganggur di rumah, tidak sekolah. Karena tak betah dengan ocehan kedua kakak ipar baruku yang cenderung berwatak keras menuntutku untuk bekerja seperti para tukang bangunan maka setelah sekitar setengah tahun terpaksa aku ikut sekolah SMP terbuka. Dari pada diocehi halilintar pedas setiap hari oleh monster, iparku, lebih baik diocehi pak guru atau ibu guru di sekolah, walaupun keduanya juga sama-sama menjengkelkan. Lari dari singa untuk bertemu srigala.
Kang Rudin  adalah seorang pengrajin kayu. Istilah jawa menyebutnya dengan nama 'tukang'. Walau istilah tukang berarti umum, tapi di daerahku jika kata itu disebut maka yang dimaksud adalah tukang pengrajin kayu. Jika dikaitkan dengan terminologi maka itu sudah bergeser artinya di desaku. Aku sebelum kenal Kang Rudin  sebenarnya memiliki antusias besar untuk menjadi seorang tukang. Keluargaku pun mendukung tekad besarku itu. Walau hanya menjadi seorang tukang, keluargaku sudah merasa cukup untuk melerai kesesalan yang kami alami karena trauma oleh seorang tukang kayu juga sebelumnyayang selalu menunda-nunda janjinya untuk dating memulai aktivitasnya di gubug kami.
Pagi itu, katakan saja hari Kamis, kami sekeluarga tengah menunggu seorang tukang kayu untuk bekerja memperbaiki jendela rumah yang bobrok layak ganti. Waktu itu hanya ada satu tukang kayu saja di dukuhku. Kang Rudin  belum datang ke desaku waktu itu. Dukuhku hanya memiliki satu saja tukang kayu. Oang itu-itu saja. Jam setengah tujuh sarapan spesial untuk tukang kayu sudah siap lengkap dengan rokok dua pak siap saji. Janjinya aku dan ayahku nanti akan sarapan bareng dengan tukang itu, karena begitulah adat laki-laki ketika mereka memilki hajat di desaku. Jam tujuh kulihat lingkaran waktu di dindingku, tapi tukang itu belum juga datang ke rumahku. Padahal janjinya malah setengah tujuh akan tiba lebih awal, namun sampai saat ini belum juga dia terlihat batang hidungnya. Aku kelaparan. Sial.
"Zen, kamu makan dulu!" suruh ayahku dengan nada setengah pupus.
Tanpa basa-basi langsung saja kusambar piring, merenggut mendowan dan paha ayam yang terpampang lezat, membuat liurku meleleh dari tadi. Ayahku membiarkan aku. Cuma Ibuku yang agak sedikit tidak puas dengan tingkahku. Melihat wajah Ibu yang semakin mrengut memandangku, terpaksa kupelankan lahapan seranganku. Katakan saja bahwa Ibu adalah orang yang banyak aturan. Itu cukup.
Sekarang jam 09.00 WIB. Tukang itu belum juga muncul-muncul. Ayahku semakin was-was. Jika ternyata tukang itu tidak datang berarti sia-sia saja yang dimasak oleh Ibuku mulai fajar suntup tadi.
"Zen, coba kamu tengok ke rumah Uwa Tarom. Dia ada udzur atau apa?" perintah ayahku setelah melihatku kekenyangan. Tukang itu bernama Uwa Tarom. Aku disuruh menengok rumahnya. Ah, sebenarnya aku malas berdiri, tapi apa boleh buat, terpaksa aku harus menurut.
"Apa? Sedang menyelesaikan nukangnya di rumah Paijo?" Ayahku kaget setelah kuberi tahu keadaan Uwa Tarom.
Ayahku terlihat lemas. Menyesal rasanya telah banyak mengeluarkan biaya tapi ahirnya tidak jadi kerja. Kening ayahku terlihat mengkerut. Jengkel dan sesal bercampur menjadi suatu konsentrasi larutan racun kimia yang cukup untuk membuat ayahku duduk tak berkutip di kursi rumah menikmati susah. Mulai saat itulah seluruh keluarga mendukungku untuk menjadi seorang tukang kayu.
Tak banyak yang bisa dilakukan Ayahku. Kami hanya keluarga pas-pasan saja. Nama lengkapku adalah Fuad Zen. Orang-orang memanggilku cukup dengan 'Zen'. Aku anak bungsu dari lima bersaudara. Dua kakak pertamaku adalah perempuan, semua sudah menikah, yang salah satunya menikah dengan beangkerok yang selalu mengocehi aku untuk bekerja ketika dulu aku nganggur di rumah setelah lulus MI. Aku masih kecil tapi iparku ini selalu menyindirku untuk bekerja dan bekerja. Dari pada mati kaku karena ocehannya aku sekolah saja.
Dua pertama perempuan. Dua  laki-laki dan aku yang terahir. Kakak ke tiga ku  sekarang bekerja di Jakarta dan tak kembali-kembali. Nomor empat sedang mondok di Pesantren Buntet Cirebon. Tinggal aku saja yang di rumah bersama dengan ipar-iparku yang membosankan itu. Ayahku adalah seorang kiai kecil-kecilan dengan sebuah musolla membahana di depan rumahku. Karena masalah ekonomi yang semakin melilit terpaksa Ayahku juga kadang ikut-ikutan merantau cari duit ke Jakarta. Jadi tinggallah sebatang kara yang pantas dikasihani ini bersama ibu tercinta yang bawel. Huh, membosankan.
Tiga hari dalam seminggu kuhabiskan untuk ikut program sekolah di SMP terbuka. Selain tiga hari itu kuhabiskan dengan mengembala kambing-kambing cantik yang sengaja dibelikan ayahku yang kini merantau. Emang kalau bukan aku, siapa lagi yang mengembala? Lagi-lagi pun terpaksa. Malam harinya, sehabis Maghrib aku mengajari ngaji anak-anak kampung. Walau aku terbilang kecil tapi setidaknya untuk masalah qiraah  sedikit banyak aku juga menguasai. Apalagi Cuma ngajar a, ba, ta. Apa susahnya? Keciiil.
Dengan penuh rasa puitis, waktu demi waktu pun aku gunakan untuk mengabdi pada musollaku tersayang. Aku Cuma mengajari ngaji saja. Kalau masalah menjadi imam, ayahku lebih percaya pada tetangga dari pada kepadaku. Ya pantas saja, aku kan masih 'abg' yang lagi pubertas. Jadi teori adat kejawen mengatakan, "Cah cilik iku durung pantes"[1]. Teori yang kureka-reka sendiri.
Suatu malam aku didatangi seorang lelaki tampan, kekar dengan seorang anak kecil bersarung. Aku tak tahu dari mana lelaki itu. Awalnya kukira malaikat maut hendak datang menakutiku, tapi inilah awal kali aku kenal dengan Kang Khoirudin yang ahirnya akrab ku panggil Kang Rudin. Aku mengajari anaknya ngaji Alquran setelah itu.
Khusnan nama anaknya. Setelah beberapa hari kami menjadi semakin akrab. Walau Kang Rudin terbilang cukup tua tapi dia ramah kepadaku. Inilah yang kadang membuatku salut pada promotorku ini. Tak kusangka-sangka ternyata Kang Rudin yang anaknya kuajari ngaji itu ternyata juga adalah seorang tukang pengrajin kayu. Inilah kesempatanku untuk berguru mencari jurus kunyuk melempar kayu.
"Dalam menentukan sebuah rangkaian kayu kamu harus konsentrasi memusatkan perhatian pada keseimbangan benda-benda yang akan kau rangkai menjadi sebuah lemari. Saat kau melubangi kayu untuk meraciknya bersama kayu-kayu lain pusatkanlah pikiranmu pada keserasian. Jangan sampai panjang sebelah. Jika tidak seimbang maka hasilnya akan mudah rapuh. Sama seperti teori geometri Euclid, kayu-kayu itu seperti garis-garis yang ahirnya nanti kau sambungkan menjadi sebuah rangkaian bangunan kubik tiga dimensi" Kang Rudin mengagumkan.
Tak kusangka Kang Rudin yang kelihatanya tukang kayu biasa ternyata lebih hebat dari pada guruku di SMP. Tak begitu paham apa maksud omongannya itu, tapi kulihat ia sangat keren ketika menjelaskan tentang racikan kayu-kayu yang dipahatnya. Aku hanya mangguk-mangguk saja, pura-pura paham.
"Coba kau pegang siku ini!" Kang Rudin menyodorkan sebuah alat besi berbentuk siku kearahku, "Tahukah kamu apa yang bisa kau ambil dari siku ini?" lanjut Kang Rudin semakin tegang saja.
"Inikan hanya besi, Kang" jawabku bodoh.
"Dalam besi ini ada teori matematik luar biasa yang mendasari perhitungan. Kamu tahu rumus Pithaghoras??"
"Iya, aku tahu. Aku pernah dengar dari Pak Mu'allim . Tapi Cuma dengar, Kang. Hehe…" kuekori kataku dengan tawa. Tanda aku tak paham saat diterangkan di sekolah.
"Thuuk..!!". "Dasar"
"Auuu, sakit, Kang" Kang Rudin ngawur, memukulkan siku itu ke kepalaku. Spontan saja aku kaget.
"Dasar sekolah nggak tenanan," Kang Rudin geram.
Dari siku besi ini ada prinsip pithaghoras. Sebuah rumus aneh yang mengatakan bahwa panjang kuadrat bidang miring sama dengan jumlah kuadrat dari dua sisi yang lain. Lima kuadrat sama dengan tiga kuadrat tambah empat kuadrat. Itulah dasar pithaghoras. Paham. Kang Rudin memaksa sel-sel otakku yang lemah ini untuk bereaksi. Jelas saja tetap aku tidak paham apa maksudnya.
"Kang, pelajaran kayu kok kayak pelajaran sekolah??" ungkapku protes.
"Ingat, Zen. Sebenarnya Allah itu membagi-bagi ilmu tidak hanya sebatas di bangku sekolah saja. Jika kamu punya tekad benar-benar ingin mengetahui sesuatu maka isya Allah akan dipermudah jalannya, walaupun kamu tidak belajar di bangku formal sekolah. Aku dulu pernah sekolah sampai SMA. Jadi sedikit banyak tahu tentang teori-teori itu. Setelah lulus, semangatku tak kan kubiarkan pupus. Walau aku tidak lagi sekolah tapi aku yakin ilmu itu 'siapa ingin dia tahu'.." kata terahir Kang Rudin ini membuatku terkesima.
Berbulan-bulan aku belajar menukang dari dosen pribadiku, Kang Rudin ini, dengan biaya gratis seratus persen. Bahkan kadang aku yang malah disuguhi ketela bakar saat berkunjung ke rumahnya. Iseng-iseng belajar sambil coba-coba bantu nukang. Sedikit banyak sekarang tanganku pun sudah mulai terbiasa dengan benda yang bernama palu, pasah, siku, gergaji dan kawan-kawannya. Dimana ada aku, di situ ada palu. Itu prinsipku.
Terahir kali, sebelum aku berangkat mondok ke Benda, Brebes, Jateng, aku berkunjung ke rumah Kang Rudin. Satu pesan yang sampai sekarang kuingat dari Kang Rudin 
'Hidup adalah suatu ketrampilan. Orang tidak akan bisa bertahan jika ia tidak terampil. Hidup ini hanya untuk orang-orang yang terampil. Setelah kau mondok nanti, Zen, jangan kau lupakan ketrampilan nukang yang telah kuajarkan padamu. Kau tahu Nabi Nuh? Mukjizatnya adalah mampu membuat bahtera besar sendirian dengan kuasa Tuhan semesta alam. Ketrampilannya sama dengan kita, bergelut dengan kayu-kayu alam. Kehidupan ini bak sebuah lautan samudra luas. Nabi Nuh telah selamat dari banjir bandang besar yang menyelimuti seluruh bumi waktu itu. Ia selamat dengan bahteranya. Ia selamat dengan hasil ketrampilannya. Perbaikilah bahteramu! jadikan seluruh barang-barang di sampingmu alat yang berguna di saat orang lain menganggapnya sia! Badai akan datang di setiap kehidupan. Pilihlah kayu terbaik untuk kau berlayar!
Aku terharu.


























 


[1]  Masih kecil belum pantas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar