1
BAHTERA
Perbaikilah bahteramu!
Jadikan seluruh barang-barang di
sampingmu alat yang berguna di saat orang lain menganggapnya sia! Badai akan
datang di setiap kehidupan.
Pilihlah kayu terbaik untuk kau
berlayar!
Tubuhku
tiba-tiba terasa lemas. Mataku sejenak berhenti berbinar. Kutatap langit-langit
kamarku dengan tajam setelah merenungi barisan kata yang dulu pernah menjadi
pedoman dalam hidupku. Jika tubuh adalah sebuah kerajaan dan otak adalah
rajanya maka motivatornya adalah sebuah gagasan yang selalu memberi kekuatan
pada seluruh prajurit untuk tetap bertahan mengarungi kehidupan. Mataku
kukedipkan pelan. Tadi siang Abah Masruri mengungkit-ungkit tentang kehidupan
ini, yang seperti berlayar di laut berbentang luas samudra. Berfikir layar aku
jadi teringat pada seseorang yang telah berjasa besar dalam hidupku. First
motivator dalam hidupku. Kang Rudin kupanggil
dia dengan nama itu.
Kata-kata tentang laut mengingatkanku
pada sebuah kapal. Kata kapal adalah sinonim dari bahtera. Kata filosofis bahtera
ini pertama kali kudengar dari seorang lelaki promotor dalam kehidupanku, Kang
Rudin . Seorang tukang pengrajin kayu dengan perawakan tubuh kekar berbalok, berkacamata,
rajin, optimis, tapi agak sedikit kumuh. Wajar saja jika demikian, masalahnya
kerjanya sehari-hari adalah bergelut dengan kayu, jadi jarang kulihat dia
memakai baju bersih. Namun demikian ia tetap berlaku halus, murah senyum, dan
tak jarang juga memberikan motivasi aku yang waktu itu hampir saja berhenti
sekolah saat aku masih belajar di SMP terbuka desa Sunyalangu, tangga desaku.
Maklum keluargaku bisa dikatakan tidak terlalu peduli dengan pendidikan umum,
jadi wajar saja waktu itu aku setelah lulus dari MI berhenti belajar reguler,
nganggur di rumah, tidak sekolah. Karena tak betah dengan ocehan kedua kakak
ipar baruku yang cenderung berwatak keras menuntutku untuk bekerja seperti para
tukang bangunan maka setelah sekitar setengah tahun terpaksa aku ikut sekolah SMP
terbuka. Dari pada diocehi halilintar pedas setiap hari oleh monster, iparku,
lebih baik diocehi pak guru atau ibu guru di sekolah, walaupun keduanya juga
sama-sama menjengkelkan. Lari dari singa untuk bertemu srigala.
Kang Rudin adalah seorang pengrajin kayu. Istilah jawa
menyebutnya dengan nama 'tukang'. Walau istilah tukang berarti umum, tapi di daerahku
jika kata itu disebut maka yang dimaksud adalah tukang pengrajin kayu. Jika
dikaitkan dengan terminologi maka itu sudah bergeser artinya di desaku. Aku
sebelum kenal Kang Rudin sebenarnya
memiliki antusias besar untuk menjadi seorang tukang. Keluargaku pun mendukung
tekad besarku itu. Walau hanya menjadi seorang tukang, keluargaku sudah merasa
cukup untuk melerai kesesalan yang kami alami karena trauma oleh seorang tukang
kayu juga sebelumnyayang selalu menunda-nunda janjinya untuk dating memulai
aktivitasnya di gubug kami.
Pagi itu, katakan saja hari Kamis,
kami sekeluarga tengah menunggu seorang tukang kayu untuk bekerja memperbaiki
jendela rumah yang bobrok layak ganti. Waktu itu hanya ada satu tukang kayu
saja di dukuhku. Kang Rudin belum datang
ke desaku waktu itu. Dukuhku hanya memiliki satu saja tukang kayu. Oang itu-itu
saja. Jam setengah tujuh sarapan spesial untuk tukang kayu sudah siap lengkap
dengan rokok dua pak siap saji. Janjinya aku dan ayahku nanti akan sarapan bareng
dengan tukang itu, karena begitulah adat laki-laki ketika mereka memilki hajat
di desaku. Jam tujuh kulihat lingkaran waktu di dindingku, tapi tukang itu
belum juga datang ke rumahku. Padahal janjinya malah setengah tujuh akan tiba
lebih awal, namun sampai saat ini belum juga dia terlihat batang hidungnya. Aku
kelaparan. Sial.
"Zen, kamu makan dulu!"
suruh ayahku dengan nada setengah pupus.
Tanpa basa-basi langsung saja
kusambar piring, merenggut mendowan dan paha ayam yang terpampang lezat,
membuat liurku meleleh dari tadi. Ayahku membiarkan aku. Cuma Ibuku yang agak
sedikit tidak puas dengan tingkahku. Melihat wajah Ibu yang semakin mrengut
memandangku, terpaksa kupelankan lahapan seranganku. Katakan saja bahwa Ibu adalah
orang yang banyak aturan. Itu cukup.
Sekarang jam 09.00 WIB. Tukang itu
belum juga muncul-muncul. Ayahku semakin was-was. Jika ternyata tukang itu
tidak datang berarti sia-sia saja yang dimasak oleh Ibuku mulai fajar suntup
tadi.
"Zen, coba kamu tengok ke
rumah Uwa Tarom. Dia ada udzur atau apa?" perintah ayahku setelah
melihatku kekenyangan. Tukang itu bernama Uwa Tarom. Aku disuruh menengok
rumahnya. Ah, sebenarnya aku malas berdiri, tapi apa boleh buat, terpaksa aku
harus menurut.
"Apa? Sedang menyelesaikan
nukangnya di rumah Paijo?" Ayahku kaget setelah kuberi tahu keadaan Uwa
Tarom.
Ayahku terlihat lemas. Menyesal
rasanya telah banyak mengeluarkan biaya tapi ahirnya tidak jadi kerja. Kening
ayahku terlihat mengkerut. Jengkel dan sesal bercampur menjadi suatu konsentrasi
larutan racun kimia yang cukup untuk membuat ayahku duduk tak berkutip di kursi
rumah menikmati susah. Mulai saat itulah seluruh keluarga mendukungku untuk
menjadi seorang tukang kayu.
Tak banyak yang bisa dilakukan Ayahku.
Kami hanya keluarga pas-pasan saja. Nama lengkapku adalah Fuad Zen. Orang-orang
memanggilku cukup dengan 'Zen'. Aku anak bungsu dari lima bersaudara. Dua kakak pertamaku adalah
perempuan, semua sudah menikah, yang salah satunya menikah dengan beangkerok
yang selalu mengocehi aku untuk bekerja ketika dulu aku nganggur di rumah
setelah lulus MI. Aku masih kecil tapi iparku ini selalu menyindirku untuk
bekerja dan bekerja. Dari pada mati kaku karena ocehannya aku sekolah saja.
Dua pertama perempuan. Dua laki-laki dan aku yang terahir. Kakak ke tiga
ku sekarang bekerja di Jakarta dan tak kembali-kembali. Nomor empat
sedang mondok di Pesantren Buntet Cirebon.
Tinggal aku saja yang di rumah bersama dengan ipar-iparku yang membosankan itu.
Ayahku adalah seorang kiai kecil-kecilan dengan sebuah musolla membahana di
depan rumahku. Karena masalah ekonomi yang semakin melilit terpaksa Ayahku juga
kadang ikut-ikutan merantau cari duit ke Jakarta.
Jadi tinggallah sebatang kara yang pantas dikasihani ini bersama ibu tercinta
yang bawel. Huh, membosankan.
Tiga hari dalam seminggu kuhabiskan
untuk ikut program sekolah di SMP terbuka. Selain tiga hari itu kuhabiskan
dengan mengembala kambing-kambing cantik yang sengaja dibelikan ayahku yang
kini merantau. Emang kalau bukan aku, siapa lagi yang mengembala? Lagi-lagi pun
terpaksa. Malam harinya, sehabis Maghrib aku mengajari ngaji anak-anak kampung.
Walau aku terbilang kecil tapi setidaknya untuk masalah qiraah sedikit banyak aku juga menguasai. Apalagi
Cuma ngajar a, ba, ta. Apa susahnya? Keciiil.
Dengan penuh rasa puitis, waktu
demi waktu pun aku gunakan untuk mengabdi pada musollaku tersayang. Aku Cuma
mengajari ngaji saja. Kalau masalah menjadi imam, ayahku lebih percaya pada
tetangga dari pada kepadaku. Ya pantas saja, aku kan masih 'abg' yang lagi pubertas. Jadi
teori adat kejawen mengatakan, "Cah cilik iku durung pantes"[1].
Teori yang kureka-reka sendiri.
Suatu malam aku didatangi seorang
lelaki tampan, kekar dengan seorang anak kecil bersarung. Aku tak tahu dari
mana lelaki itu. Awalnya kukira malaikat maut hendak datang menakutiku, tapi
inilah awal kali aku kenal dengan Kang Khoirudin yang ahirnya akrab ku panggil
Kang Rudin. Aku mengajari anaknya ngaji Alquran setelah itu.
Khusnan nama anaknya. Setelah
beberapa hari kami menjadi semakin akrab. Walau Kang Rudin terbilang cukup tua
tapi dia ramah kepadaku. Inilah yang kadang membuatku salut pada promotorku
ini. Tak kusangka-sangka ternyata Kang Rudin yang anaknya kuajari ngaji itu
ternyata juga adalah seorang tukang pengrajin kayu. Inilah kesempatanku untuk berguru
mencari jurus kunyuk melempar kayu.
"Dalam menentukan
sebuah rangkaian kayu kamu harus konsentrasi memusatkan perhatian pada
keseimbangan benda-benda yang akan kau rangkai menjadi sebuah lemari. Saat kau
melubangi kayu untuk meraciknya bersama kayu-kayu lain pusatkanlah pikiranmu
pada keserasian. Jangan sampai panjang sebelah. Jika tidak seimbang maka
hasilnya akan mudah rapuh. Sama seperti teori geometri Euclid, kayu-kayu itu seperti garis-garis
yang ahirnya nanti kau sambungkan menjadi sebuah rangkaian bangunan kubik tiga
dimensi" Kang Rudin mengagumkan.
Tak kusangka Kang Rudin yang
kelihatanya tukang kayu biasa ternyata lebih hebat dari pada guruku di SMP. Tak
begitu paham apa maksud omongannya itu, tapi kulihat ia sangat keren ketika
menjelaskan tentang racikan kayu-kayu yang dipahatnya. Aku hanya
mangguk-mangguk saja, pura-pura paham.
"Coba kau pegang siku
ini!" Kang Rudin menyodorkan sebuah alat besi berbentuk siku kearahku,
"Tahukah kamu apa yang bisa kau ambil dari siku ini?" lanjut Kang
Rudin semakin tegang saja.
"Inikan hanya besi, Kang"
jawabku bodoh.
"Dalam besi ini ada teori
matematik luar biasa yang mendasari perhitungan. Kamu tahu rumus Pithaghoras??"
"Iya, aku tahu. Aku pernah
dengar dari Pak Mu'allim . Tapi Cuma dengar, Kang. Hehe…" kuekori kataku
dengan tawa. Tanda aku tak paham saat diterangkan di sekolah.
"Thuuk..!!". "Dasar"
"Auuu, sakit, Kang" Kang
Rudin ngawur, memukulkan siku itu ke kepalaku. Spontan saja aku kaget.
"Dasar sekolah nggak
tenanan," Kang Rudin geram.
Dari siku besi ini ada prinsip
pithaghoras. Sebuah rumus aneh yang mengatakan bahwa panjang kuadrat bidang
miring sama dengan jumlah kuadrat dari dua sisi yang lain. Lima kuadrat sama dengan tiga kuadrat tambah
empat kuadrat. Itulah dasar pithaghoras. Paham. Kang Rudin memaksa sel-sel
otakku yang lemah ini untuk bereaksi. Jelas saja tetap aku tidak paham apa
maksudnya.
"Kang, pelajaran kayu kok
kayak pelajaran sekolah??" ungkapku protes.
"Ingat, Zen. Sebenarnya Allah
itu membagi-bagi ilmu tidak hanya sebatas di bangku sekolah saja. Jika kamu
punya tekad benar-benar ingin mengetahui sesuatu maka isya Allah akan
dipermudah jalannya, walaupun kamu tidak belajar di bangku formal sekolah. Aku
dulu pernah sekolah sampai SMA. Jadi sedikit banyak tahu tentang teori-teori
itu. Setelah lulus, semangatku tak kan
kubiarkan pupus. Walau aku tidak lagi sekolah tapi aku yakin ilmu itu 'siapa
ingin dia tahu'.." kata terahir Kang Rudin ini membuatku terkesima.
Berbulan-bulan aku belajar menukang
dari dosen pribadiku, Kang Rudin ini, dengan biaya gratis seratus persen.
Bahkan kadang aku yang malah disuguhi ketela bakar saat berkunjung ke rumahnya.
Iseng-iseng belajar sambil coba-coba bantu nukang. Sedikit banyak sekarang
tanganku pun sudah mulai terbiasa dengan benda yang bernama palu, pasah, siku,
gergaji dan kawan-kawannya. Dimana ada aku, di situ ada palu. Itu prinsipku.
Terahir kali, sebelum aku berangkat
mondok ke Benda, Brebes, Jateng, aku berkunjung ke rumah Kang Rudin. Satu pesan
yang sampai sekarang kuingat dari Kang Rudin
'Hidup adalah suatu ketrampilan.
Orang tidak akan bisa bertahan jika ia tidak terampil. Hidup ini hanya untuk
orang-orang yang terampil. Setelah kau mondok nanti, Zen, jangan kau lupakan
ketrampilan nukang yang telah kuajarkan padamu. Kau tahu Nabi Nuh? Mukjizatnya adalah
mampu membuat bahtera besar sendirian dengan kuasa Tuhan semesta alam.
Ketrampilannya sama dengan kita, bergelut dengan kayu-kayu alam. Kehidupan ini
bak sebuah lautan samudra luas. Nabi Nuh telah selamat dari banjir bandang besar
yang menyelimuti seluruh bumi waktu itu. Ia selamat dengan bahteranya. Ia
selamat dengan hasil ketrampilannya. Perbaikilah bahteramu! jadikan seluruh
barang-barang di sampingmu alat yang berguna di saat orang lain menganggapnya
sia! Badai akan datang di setiap kehidupan. Pilihlah kayu terbaik untuk kau
berlayar!
Aku terharu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar