Menu

Minggu, 14 Oktober 2012

Cerpen - Sang Pemberontak


Sang Pemberontak

Aku ayun sepedaku dengan hati kalut seakan pusat tubuhku terserang virus ketakutan. Pasalnya teman-teman kemarin sore memberi kabar pedas padaku jikalau hasil rapat yang mereka lakukan adalah akan menyidang aku di depan Waka. Kucoba tenang dengan semua keaadaan, kukatakan pada hatiku untuk jangan takut. Kumotivasi dia untuk tetap tegar karena aku yakin artikelku yang kutempel di kelas-kelas kemarin mempunyai tujuan baik, hanya saja mungkin sebagian dari mereka ada yang merasa terhina atau bahkan tersakiti oleh isinya.
Pedal sepeda kuinjak selirih bergantian dengan dua kakiku. Genggaman tangan kuperkuat memegang besi tua berlumur karat itu. Kuangkat dahiku, kupandang ujung jalan sambil kupercepat laju sepedaku menenangkan situasi hati yang yang kalut akan  kemungkinan apa saja yang akan terjadi hari ini. Walaupun kemungkinan besar  berdampak negatif padaku. Ditambah saat kulewati desa tempat tinggal sang ketua OSIS, kulihat ia berpaling muka dariku seakan berisyarat tentang kebenciaannya padaku. Tapi aku cuek saja, aku bilang dalam hatiku untuk tetap tegar menghadapi mereka. Jangan takut, karena kebanyakan siswa pun mendukungku, dan kalaupun ada yang menentang karyaku yang kucoba tuang dalam artikel kemarin, mereka adalah para pengurus-pengurus yang mungkin terbakar hatinya dengan mantra-mantra dalam artike itu.
Aku sampai di sekolah. Pelajaran pagi pun berjalan seperti biasanya tanpa ada yang berubah, hanya saja aku dan teman sebangkuku Amin namanya tak lagi membicarakan pelajaran akan tetapi membahas tentang keadaan terdesakku yang akan disidang oleh anggota-anggota OSIS nanti. Amin dan Muslimin, dua orang temanku yang mendukungku waktu itu. Kucoba mencari taktik bersama mereka untuk melawan kucing-kucing OSIS yang sedang terbakar ekornya. Pelajaran berganti menjadi hujan desas-desus ide-ide konyol untuk mematahkan gugatan mereka yang salah satunya tentang artikelku dan tentunya aku cari alasan untuk menguatkan pendapatku kenapa aku berani mengeluarkan artikel jenis monster itu.
Ide-ide bodoh datang menghiasi kepala mengisi perdebatanku dengan teman sebangkuku, hingga tiba-tiba datang selembar kertas yang berisi berita mendebar bercampur khawatir datang dengan taring tajamnya kedepanku. Surat dari Waka sekolah. Kubaca surat hitam panggilan itu dan setelah kubaca ternyata benar apa yang dikatakan temanku kemarin tentang persidangan itu. Kupahami betul-betul surat menjengkelkan itu hingga sampai sekarang pun masih teringat. Kuingat akan kata-kata pedas di dalamnya, seakan kebencian tercermin dari aura kertas bermasalah itu. Suatu pembuka surat yang menjengkelkan jika kukomentari lembaran itu, dan kini pun masih terniang dalam benakku gambaran suram waktu itu, seakan perbuatan mereka kubayangkan bagai menusuk-nusuk hatiku dari dalam dengan pisau jejeran kata pedas. Tapi ingat, ini bukan surat cinta akan tetapi surat panggilan untuk disidang karena aku kemarin menulis artikel, memprotes cara kerja pengurus yang kurang baik menurutku.
Badanku kutegarkan. Kusikapkan diriku sebagai laki-laki jantan yang bertanggung jawab atas apa yang diperbuat. Kumulai menjalankan rencana-rencana yang tersusun tadi. Kuundang semua perwakilan kelas yang mendukungku dengan tujuan memperkuat posisiku. Mereka sebenarnya banyak tapi jika kubawa semua takut nggak muat nanti, jadi perwakilan saja, walau ternyata setelah kulihat kebanyakan perwakilan itu pun adalah anak-anak yang ndluyo (nakal). Hal itu karena mereka merasa diberlakukan tidak adil sehingga untuk mengungkap perasaan mereka, mereka bergabung denganku karena salah satu tujuan dari apa yang kulampirkan dalam artikel adalah membentuk organisasi yang mengaspirasikan pendapat-pendapat siswa.
Aku berjalan layaknya ketua geng yang hendak tawuran, hanya saja tawuranku tidak memakai batu atau pun kayu ataupun sejenis benda-benda tajam lainnya, itu kuno. Tawuranku berbeda dari itu karena yang kulempar tidak batu tapi meriam argumen dan bantahan akan kebenaranku dalam menulis artikel kemarin. Para pendukungku kulihat seakan bersenang dengan apa yang kami lakukan, padahal di sini, di hati ini adrenalin sudah mulai tak sabar menggrogoti ketakutan menggetarkan tubuhku. Aku sebenarnya takut.
Aku harus tetap tegar dengan semua itu karena aku adalah tembok utama dalam peperangan ini. Jika aku roboh bagaimana jadinya nanti?Dengan hati linglung terpaksa kudatangi tantangan mereka dengan serdaduku. Aku akan berperang dengan tetua-tetua yang terbentuk dalam barisan lebel OSIS itu.
Ke Musolla, itu tempat yang dijanjikan lembaran hitam itu. Kubawa serdaduku selayak magnet yang menarik pernik-pernik besi ke kutub-kutubnya. Setelah sampai, kududuk santai menikmati kekalutan itu sambil menunggu para musuh yang belum datang, biasa, budaya Indonesia selalu molor. Kuingat waktu itu aku duduk menghadap kiblat karena memang tempatnya di musolla, jadi nggak salah jika kukatakan menghadap kiblat.
Aku dudukkan tubuhku yang beraroma kekhawatiran itu. Para tentara lawan pun belum juga datang walaupun sudah ada satu atau dua yang sudah ada di tempat, tapi kan sedikit, buat apa menghukumi perkara yang sedikit. Sedikit itu bagai tidak ada. Kembali, teman-temanku berdatangan ingin mendukungku. Kuingat Muslimin, ia berada di kiriku dan Amin berada di kananku dan yang lain berposisi porak-poranda tidak teratur di belakangku.
Mereka datang. Satu persatu memposisikan tempat mereka masing-masing. Kulihat sang ketua OSIS dan ketua Ambalan pramuka duduk berjejer di tengah para anggota OSIS, disertai sang Waka sebagai pusat dari lengkungan yang mereka bentuk selayak busur panah, yang siap melepaskan anaknya tetkala musuh lengah. Sedangkan aku, kupikir bayangkan saja gambaran Syekh Siti Jenar yang disidang oleh Walisongo, tapi masalahku ini adalah masalah duniawi bukan masalah ukhrowi.
Jikalau tidak salah, waktu itu ketua OSIS yang membuka acara. Tentunya sedikit banyak menyinggung akan isi artikelku dengan kata-kata pedasnya. Setelah selesai berceramah aku pun diberi kesempatan untuk berbicara. Tapi sebelum aku berbicara aku suruh Muslimin untuk membacakan selembar artikelku yang baru kubuat pagi itu juga, dan tentunya menyinggung tentang kebenaranku. Jika kau bawa api maka akan kubawa air untuk keseimbangan. Kubayangkan waktu itu seakan keresmian dan kekuatan berbicara berada di pihakku.
Muslimin pun membaca dengan gaya spesifiknya dengan mimik kekesalan dan keinginan untuk bertindak. Setelah ia selasai membaca artikel itu, kini giliranku. Dengan hati yang sudah mulai terbakar kubuka pendapatku satu persatu. Kuberalasan tentang pandapat ini. Kukuatkan kenapa aku bertindak seperti ini. Aku membantah kenapa mereka mengatakan seperti ini-itu dan yang lainnya, yang berintikan menguatkan penadapatku. Kucari kesalahan-kesalahan mereka dan mulai menghujam mereka dengan berbagai meriam-meriam tanda tanya akan tindakan-tindakan salah mereka. Karena saking semangatnya, amarahku mengaung semakin terbakar. Apalagi setelah aku ingat dengan kata-kata konyol "OOT" (Omong-Omong Tok[1]), hatiku lebih tersayat. Seakan aku ingin melepas cambuk lidahku untuk menikam kata-kata pedas yang ditujukan pada aku itu dan teman-teman seperjuanganku.
Aku merasa marah benar karena kata itu. Kami yang sudah bersusah payah tidak dihargai malahan dihina seperti itu. Kutambah pendapatku dengan kekuatan bom-bom penjelasan tentang apa saja yang selama ini aku lakukan yang mungkin menurut mereka salah. Kuingat saat itu aku sebagai ketua kegiatan Pelatihan Menejemen, aku tidak mengundang satupun dari kakak kelas, kulemparkan geranat bom alasan bahwa aku ingin membuktikan bahwa kami bukan OOT yang kalian ucapkan. Ruangan waktu itu seakan menjadi medan tempur antar mulut ke mulut, melampiaskan amarah masing-masing. Mereka pun menghujamku dengan alasan aku iri pada ketua OSIS karena aku kalah dalam pemilihan manjadi ketua, sehingga mereka memutar alasan bahwa aku membentuk organisasi baru agar aku bisa menyaingi ketua OSIS.
Kericuhan bertambah hingga akhirnya sang Waka turun campur ke medan perang. Ini yang kutakuti. Jika aku menang aku akan mendapat cap jelek sebagai murid yang melawan guru. Jika aku kalah, keinginanku tidak akan tercapai. Kulihat teman-temanku berdiam mengunci mulut mereka kala harimau satu ini datang, dan tinggal aku yang bertahan dalam kebimbangan itu mempertahankan benteng pertahanan. Ruangan semakin panas terbanjiri hujatan-hujatan antara aku dan Waka. Aku semakin terdesak dengan keadaanku yang kian terjepit dalam jurang hujatan itu ditambah, peluru kata-kataku yang sudah banyak kulempar sehingga aku kesulitan mencari kata-kata penguat pendapatku. Aku semakin terjepit dan terjepit dengan keadaan, hingga pada akhirnya bom bunuh diri kulontarkan di antara tank-tank panas itu.
Aku keluar dari OSIS. Itulah senjata terahirku. Aku yang dulu dipilih sebagai anggota OSIS dan aktif dalam berbagai kegiatan sekarang akan mengundurkan diri dari jabatan. Aku tidak akan lagi ikut campur tangan untuk membantu para pengurus sekolah. Aku sudah tertusuk sekarang dengan tingkah 'Air susu dibalas dengan air tuba' mereka. itulah peristiwa yang menyakitkan yang bisa aku hujamkan untuk mengahiri semua. Seakan perjuanganku selama itu luntur oleh bom bunuh diri ini.
Hatiku tersayat dengan semua itu. Hari-hariku selanjutnya berjalan ambigu, yang dulunya aktivis  Full Time kini tersia-sia terbuang dalam kekalutan. Kurasakan bagaiman rasanya saat jatuh dan dibenci oleh teman-teman perjuangan. Hari-hari saat aku bertemu mereka tak seperti dulu sebelum peristiwa ini terjadi, seakan jurang hati telah runtuh lebih dalam memisah antara aku dengan mereka. Aku tak lagi aktif sebagai pengurus dan tiada jalan lagi waktu itu selain aku harus lebih sungguh-sungguh dalam pelajaran.
Baiklah aku mundur dalam panggung kepengurusan tapi aku takkan mundur dalam panggung pengetahuan. Aku akan berusaha mengobati lukaku waktu itu dan terniang dalam kepalaku untuk membentuk suatu kelompok belajar kecil. Selanjutnya Alhamdulillah, aku masih punya teman-temanku sekelas yang lain yang bisa kuajak berdiskusi walaupun bukan lagi para anggota OSIS. Kubentuk kelompok belajar bersama mereka dan berdiskusi dengan mereka.  Kuberi nama kelompok ini dengan sebutan "DEWAN" dalam artian Dewasa, Berwawasan, dan Antusias untuk maju. Kelompok ini sengaja dibentuk selain untuk jangka pendek menghadapi tes-tes pelajaran, juga untuk jangka panjang menghadapi ujian ahir sekolah. Ternyata usahaku tidak sia-sia. Kutahu manfaat kelompok ini setelah di ahir-ahir masa ujian sekolah ternyata mapel ujian ditambah menjadi lima. Dulunya tiga, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan Matematika saja, sekarang ditambah dengan Fisika, Biologi, dan Kimia. Ya karena aku orang IPA, jadi tambahannya pun juga IPA. Aku pun tak terlalu kaget untuk menghadapi ujian setelah itu karena sudah ada persiapan belajar diskusi bersama, mulai aku keluar dari kepengurusan OSIS.
Dari peristiwa-peritiwa itu aku seakan bisa merasakan sadar, kenapa Ronggo Lawe memberontak pada Majapahit, mengapa Mustofa Kamal Attatruk memberlakukan bangsa Turki dengan aturan bodohnya, dan yang lebih terkesan dalam hatiku adalah aku seakan mendapat kunci pengetahuan baru yang mungkin tidak akan kudapat tanpa peritiwa itu, 'Sang Harimau tak akan bangun dari tidur pulasnya hanya dengan disenggol halus, tapi sang Harimau itu akan bangun, marah dan kemudian bertindak manakala dibangunkan dengan pukulan'. Setelah itu kulihat para aktivis-aktivis OSIS lebih giat dari sebelumnya dan mereka kemudian merubah nama OSIS menjadi OPMA (Organisasi Pelajar Madrasah Aliyah).


[1]  Omong-omong tok; hanya bisa bicara saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar