Rayu
Bunga Sepatu Biru
Dia pandang langit, lalu ia cubit pipinya dengan
tangan kanan. Kemudian ia berdiri tegak menatap langit dengan mata lebih tajam.
Ia cubit lagi pipinya untuk yang kedua kali.
"Aku masih hidup! Syukurlah?!"
Sejenak ia diam setelah itu, tanpa suara. Ia pejamkan
mata sambil melebarkan kedua tangannya menengadah ke langit seperti saat orang
sedang berdoa. Ia tiup udara pelan-pelan serambi merasa bersatu dengan alam.
Bibirnya sedikit demi sedikit mulai melekuk untuk tersenyum manis. Ia buka matanya yang tadinya ia sengaja
pejamkan selama awal berdiri itu. Ia tatap langit dengan tangan bertengadah
penuh sambil tersenyum sendiri.
"Hei gila, ngapain sih kamu kayak gitu? Bikin
malu aku aja!" Gertak Erwin dengan nada ketus sambil memperbaiki tas
ranselnya yang rusak, tas ransel yang rencananya mau dibuat untuk petualangan
di gunung Semeru besok. Ia terperangah kaget setelah Winiangsih, teman
perempuannya kuliah yang hendak pinjam
ransel itu, tiba-tiba berlaku aneh kayak setengah kesurupan.
Winiangsih, mahasiswi IAIN semester dua yang
baru-baru ini dipandang Erwin agak bertingkah laku nggak semestinya. Gadis sembilan
belasan ini sudah hampir setengah bulan tampak pegang Hp terus, tidak kayak
sebelumnya. Bahkan Winiangsih pernah bilang pada Erwin kalau ia tidak suka Hp-nan
sebenarnya, apalagi dengan yang namanya fecebook-an.
Tak mau berterus terang. Itu yang tambah membuat
Erwin jadi berani nekat menjuluki temannya itu dengan lebel 'gila'. Lebih sadis
lagi saat kumpul sama teman-teman tiba-tiba cengengas-cengenges
sendiri padahal sedang pada pusing membahas masalah koredor pluralisasi dalam
masyarakat demokrasi yang kemarin diberikan pak Hartono, Dosen Ushul.
"Kamu yang gila! Orang waras gini dikatain
edan. Nggak ada orang yang ngatain orang waras edan, kecuali orang itu edan
sendiri. Kamu yang gila?!” Bantah Winiangsih merasa tersinggung.
"Nek…nenek, ingat nek, kamu… kamu di mana
sekarang?" Tambah Erwin dengan nada lembut sedikit marah padaWiniangsih
yang membandel.
"Di kantin…!? Sadar..!!" Lanjut Erwin
dengan nada mengeras sambil melototkan mata saat bicara.
Winiangsih menoleh sekeliling. Beribu mata memandanginya
dengan heran. Mukanya berangsur-angsur memerah merasa malu sendiri pada tingkah
lakunya. Tanpa pikir panjang, tangan kanannya lalu menyahut tas kecil yang
berada di kursi tempat duduknya. Hp-nya masih ia pegang di tangan kirinya. Ia
berlari malu.
"E..e..e.. mau kemana? Ranselnya…?"
"Yach.. aku lagi yang bayar…! Sial!!" gerutu
Erwin.
Udara siang semakin memanas. Lototan matahari
semakin keras memuncak. Desir debu jalan pun lebih menambah kacau suasana. Rentetan
mobil-mobil mengular di sepanjang punggung jalan. Suara klakson berhantaman
dari mobil ke mobil yang lain. Benar, suasana macet. Tapi tidak untuk Winiangsih.
"Masa bodoh, yang penting aku telah temukan
idamanku. Dan ia sudah menembakku. Uhh… Cinta, mesranya…" Gerutu Winiangsih
dalam hati merasakan es dalam api kemacetan mobil itu.
Derita keadaan sekitar seakan hilang dengan uneg-uneg
yang namanya cinta itu. Ia senyum-senyum sendiri dan terkadang juga memeluk Hp-nya
dengan gemasnya karena merasa sedang tenggelam di laut cinta. Kursi panas
angkutan kota itu yang sudah sekitar satu jam berhenti. Bagi winiangsih terasa
seperti kasur empuk. Saat penumpang-penumpang lain sedang gerah dengan keringat
mereka, mahasiswi satu ini merasa kesejukan sendiri saat ia mengingat yang
namanya cinta. Sebesar inikah kekuatan cinta, benaknya semakin terlarut.
"E…Hhmm, sedang kasmaran ya, Dek?" Tanya
seorang Ibu pada Winiangsih yang kebetulan berdampingan dengannya.
Dengan mata terpejam beriring senyum manis Winiangsih
menjawab, "Kok Ibu tahu?"
"Ya… orang tahu itu gula, kalau dia juga pernah
merasakannya!!'" Jawab Ibu itu dengan nada teka-teki aneh. Winiangsih pun
tak begitu paham apa maksudnya. Dan menurutnya pun itu tak terlalu penting.
Orang yang sedang dalam lautan cinta bisa lupa segalanya.
Keduanya pun lalu berbincang-bincang tentang masalah
masing-masing hingga ahirnya pun sang Ibu itu harus turun lebih dahulu karena
rumahnya lebih dekat ketimbang tempat kosnya Winiangsih.
Namun sepertinya raut muka Winiangsih tiba-tiba
berubah. Senyum tadi seakan lenyap dari bibirnya. Tangannya tak lagi memegang Hp
yang biasanya ia gunakan untuk berhubungan dengan si Dia, cowoknya. Kepalanya
seakan merunduk merasakan hal yang baru ia dapat dari Ibu itu. Sepertinya ia
sudah terkena hipnotis pelenyap cinta dari Ibu yang ia ajak omong-omong tadi.
Ia turun dari angkutan. Kakinya terlihat lemas tak
berdaya. Kekutan cinta yang tadi memberi
tenaga bensin sekaligus pelumas tiba-tiba habis gara-gara korek api kata seorang
Ibu di angkutan tadi. Ia masuk kos dengan tubuh lemas. Sihir apa yang sedang
melandanya, memindahnya seratus delapan puluh derajat dari tawa menjadi susah.
Winiangsih membanting tubuhnya ke kasur setelah
sampai di kamar. Teman-teman kosnya juga agak heran, tumben cewek ini tiba-tiba
sembuh, nggak senyum-senyum lagi. Tapi kasihan juga, raut mukanya terlihat
susah gara-gara suatu musibah.
"Ada apa, Win?" Tanya Mia, teman akrabnya
yang sering ia ajak curhat tentang cintanya itu.
"Diputus pacarmu?" Tambah Mia.
Winiangsih tetap diam saja tak merespon kata Mia.
Kayak-kayak Mia merasa bicara sama sebuah patuh yang tergeletak di kasur yang
baru saja selesai dipahat. Mia coba menyelundupkan tangannya, pegang Hp temannya
itu, mengambilnya dan ingin mengetahui baru diapakan pacarnya sih hingga
membuatnya mematung tak mau bicara.
"Eitz.., mau ngapain kamu?" Sahut Winiangsih
tiba-tiba setelah merasa Hp di tangannya ada yang mau mengambil.
"Oo.. Masih hidup toh kamu. Tak kira udah jadi
patung?!" Jawab Mia jengkel pada tingkah laku Winiangsih.
"Habis diputus ya?" Lanjut Mia bertanya
pada temanya itu.
"Nggak…!" Jawab Winiangsih lemah.
"Terus …!?"
"Aku tiba-tiba aja ragu pada cintaku…"
Lanjut Winiangsih menjabarkan sebab sedihnya itu.
"Ragu gimana maksud lo…?"
"Ya… ragu, ragu dia bisa setia atau nggak?"
Lanjut Winiangsih sambil memegang Hp-nya. Menatapnya seperti cermin.
"Aku kan dulu pernah diputus pacarku! Rasanya
sakit, Mi..,!? Kok bisa-bisanya aku percaya pada orang yang tak pernah aku
kenal di alam nyata, cuma lewat fb aja. Aku ragu Mi..!" Jelas Winiangsih.
Mia terperangah mendengarnya. Ia terlamun tak
berkata dan hanya bisa melihat Winiangsih curhat tentang pacarnya, sambil
meletakkan dua punggung tanggannya ke dagu.
"Oo.. Gitu ya!" respon Mia tiba-tiba.
"Terus??"
"Terus apa maksudmu?"
"Ya pacarmu lah, Win…" Tegas Mia meminta
pendapat Winiangsih.
"Tak tahulah. Apalagi dia juga agak tampan
orangnya, kata temen-temenku dia juga pandai. Pastilah banyak cewek yang
naksir. Aku jadi ragu pada dia."
"Bukannya kemarin katamu dia sudah janji mau
setia??"
"Yah… sekedar janji. Laki-laki itu tak bisa dipegang
janjinya Mia…!" Gerutu Winiangsih sambil tiba-tiba ia menangis
mengeluarkan air mata.
”Kok nangis sih…?" Sahut Mia merasa aneh
melihat Winiangsih yang tiba-tiba menangis.
"Heh…heh…ehg…ehg…! Kamu tak tahu rasanya putus
cinta Mi…" Lanjut Winiangsih menangis tersedu-sedu.
"Sakit sekali, Mi, sakit…!"
"Terus berarti kamu mau putus sama
pacarmu??" Lanjut Mia
"Wuuaaaaa…. !" Winiangsih mengeraskan tangisnya
sambil mengusap matanya dengan seprai yang berada di samping batal kasur.
"Lho…lho…lho… jangan menangis kayak gitu, malu
dong ah sama orang!?" Mia mencoba menenangkan perasaan Winiangsih.
"Dia juga kemarin katanya nge-add kamu
supaya bisa tanya-tanya tentang aku."
"Ya, udah tak add dia jadi
temenku…," Mia menjawab sambil mengelus rambut waniangsih.
"Orang aneh kayak gitu kok bisa seneng sih,
kamu?" Tambah Mia bertanya.
Suasana semakin agak tenang. Tangis Winiangsih
berangsur-angsur reda. Namun perasaannya tak lagi seperti dulu. Apakah dia
diputus, serpertinya tidak juga. Ia malah jadi ragu setelah itu untuk menjawab
pesan-pesan facebook cowoknya. Apalagi orangnya juga bahasanya aneh, sulit untuk
dipaham. Itu yang membuat Winiangsih semakin menjadi ragu dengan semua itu.
Katanya sih dianya nggak pernah pacaran. Apa benar itu, masak cowok seganteng
itu tak pernah pacaran. Sembilan puluh persen bohong. Sudahlah jangan balas dia
lagi biar kehidupannya adalah kehidupannya dan kehidupanku adalah kehidupanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar