Menu

Selasa, 09 Oktober 2012

Cerpen - Rayu Bunga Sepatu Biru


Rayu Bunga Sepatu Biru

Dia pandang langit, lalu ia cubit pipinya dengan tangan kanan. Kemudian ia berdiri tegak menatap langit dengan mata lebih tajam. Ia cubit lagi pipinya untuk yang kedua kali.
"Aku masih hidup! Syukurlah?!"
Sejenak ia diam setelah itu, tanpa suara. Ia pejamkan mata sambil melebarkan kedua tangannya menengadah ke langit seperti saat orang sedang berdoa. Ia tiup udara pelan-pelan serambi merasa bersatu dengan alam. Bibirnya sedikit demi sedikit mulai melekuk untuk tersenyum  manis. Ia buka matanya yang tadinya ia sengaja pejamkan selama awal berdiri itu. Ia tatap langit dengan tangan bertengadah penuh sambil tersenyum sendiri.
"Hei gila, ngapain sih kamu kayak gitu? Bikin malu aku aja!" Gertak Erwin dengan nada ketus sambil memperbaiki tas ranselnya yang rusak, tas ransel yang rencananya mau dibuat untuk petualangan di gunung Semeru besok. Ia terperangah kaget setelah Winiangsih, teman perempuannya kuliah yang hendak  pinjam ransel itu, tiba-tiba berlaku aneh kayak setengah kesurupan.
Winiangsih, mahasiswi IAIN semester dua yang baru-baru ini dipandang Erwin agak bertingkah laku nggak semestinya. Gadis sembilan belasan ini sudah hampir setengah bulan tampak pegang Hp terus, tidak kayak sebelumnya. Bahkan Winiangsih pernah bilang pada Erwin kalau ia tidak suka Hp-nan sebenarnya, apalagi dengan yang namanya fecebook-an.
Tak mau berterus terang. Itu yang tambah membuat Erwin jadi berani nekat menjuluki temannya itu dengan lebel 'gila'. Lebih sadis lagi saat kumpul sama teman-teman tiba-tiba cengengas-cengenges sendiri padahal sedang pada pusing membahas masalah koredor pluralisasi dalam masyarakat demokrasi yang kemarin diberikan pak Hartono, Dosen Ushul.
"Kamu yang gila! Orang waras gini dikatain edan. Nggak ada orang yang ngatain orang waras edan, kecuali orang itu edan sendiri. Kamu yang gila?!” Bantah Winiangsih merasa tersinggung.
"Nek…nenek, ingat nek, kamu… kamu di mana sekarang?" Tambah Erwin dengan nada lembut sedikit marah padaWiniangsih yang membandel.
"Di kantin…!? Sadar..!!" Lanjut Erwin dengan nada mengeras sambil melototkan mata saat bicara.
Winiangsih menoleh sekeliling. Beribu mata memandanginya dengan heran. Mukanya berangsur-angsur memerah merasa malu sendiri pada tingkah lakunya. Tanpa pikir panjang, tangan kanannya lalu menyahut tas kecil yang berada di kursi tempat duduknya. Hp-nya masih ia pegang di tangan kirinya. Ia berlari malu.
"E..e..e.. mau kemana? Ranselnya…?"
"Yach.. aku lagi yang bayar…! Sial!!" gerutu Erwin.
Udara siang semakin memanas. Lototan matahari semakin keras memuncak. Desir debu jalan pun lebih menambah kacau suasana. Rentetan mobil-mobil mengular di sepanjang punggung jalan. Suara klakson berhantaman dari mobil ke mobil yang lain. Benar, suasana macet. Tapi tidak untuk Winiangsih.
"Masa bodoh, yang penting aku telah temukan idamanku. Dan ia sudah menembakku. Uhh… Cinta, mesranya…" Gerutu Winiangsih dalam hati merasakan es dalam api kemacetan mobil itu.
Derita keadaan sekitar seakan hilang dengan uneg-uneg yang namanya cinta itu. Ia senyum-senyum sendiri dan terkadang juga memeluk Hp-nya dengan gemasnya karena merasa sedang tenggelam di laut cinta. Kursi panas angkutan kota itu yang sudah sekitar satu jam berhenti. Bagi winiangsih terasa seperti kasur empuk. Saat penumpang-penumpang lain sedang gerah dengan keringat mereka, mahasiswi satu ini merasa kesejukan sendiri saat ia mengingat yang namanya cinta. Sebesar inikah kekuatan cinta, benaknya semakin terlarut.
"E…Hhmm, sedang kasmaran ya, Dek?" Tanya seorang Ibu pada Winiangsih yang kebetulan berdampingan dengannya.
Dengan mata terpejam beriring senyum manis Winiangsih menjawab, "Kok Ibu tahu?"
"Ya… orang tahu itu gula, kalau dia juga pernah merasakannya!!'" Jawab Ibu itu dengan nada teka-teki aneh. Winiangsih pun tak begitu paham apa maksudnya. Dan menurutnya pun itu tak terlalu penting. Orang yang sedang dalam lautan cinta bisa lupa segalanya.
Keduanya pun lalu berbincang-bincang tentang masalah masing-masing hingga ahirnya pun sang Ibu itu harus turun lebih dahulu karena rumahnya lebih dekat ketimbang tempat kosnya Winiangsih.
Namun sepertinya raut muka Winiangsih tiba-tiba berubah. Senyum tadi seakan lenyap dari bibirnya. Tangannya tak lagi memegang Hp yang biasanya ia gunakan untuk berhubungan dengan si Dia, cowoknya. Kepalanya seakan merunduk merasakan hal yang baru ia dapat dari Ibu itu. Sepertinya ia sudah terkena hipnotis pelenyap cinta dari Ibu yang ia ajak omong-omong tadi.
Ia turun dari angkutan. Kakinya terlihat lemas tak berdaya. Kekutan  cinta yang tadi memberi tenaga bensin sekaligus pelumas tiba-tiba habis gara-gara korek api kata seorang Ibu di angkutan tadi. Ia masuk kos dengan tubuh lemas. Sihir apa yang sedang melandanya, memindahnya seratus delapan puluh derajat dari tawa menjadi susah.
Winiangsih membanting tubuhnya ke kasur setelah sampai di kamar. Teman-teman kosnya juga agak heran, tumben cewek ini tiba-tiba sembuh, nggak senyum-senyum lagi. Tapi kasihan juga, raut mukanya terlihat susah gara-gara suatu musibah.
"Ada apa, Win?" Tanya Mia, teman akrabnya yang sering ia ajak curhat tentang cintanya itu.
"Diputus pacarmu?" Tambah Mia.
Winiangsih tetap diam saja tak merespon kata Mia. Kayak-kayak Mia merasa bicara sama sebuah patuh yang tergeletak di kasur yang baru saja selesai dipahat. Mia coba menyelundupkan tangannya, pegang Hp temannya itu, mengambilnya dan ingin mengetahui baru diapakan pacarnya sih hingga membuatnya mematung tak mau bicara.
"Eitz.., mau ngapain kamu?" Sahut Winiangsih tiba-tiba setelah merasa Hp di tangannya ada yang mau mengambil.
"Oo.. Masih hidup toh kamu. Tak kira udah jadi patung?!" Jawab Mia jengkel pada tingkah laku Winiangsih.
"Habis diputus ya?" Lanjut Mia bertanya pada temanya itu.
"Nggak…!" Jawab Winiangsih lemah.
"Terus …!?"
"Aku tiba-tiba aja ragu pada cintaku…" Lanjut Winiangsih menjabarkan sebab sedihnya itu.
"Ragu gimana maksud lo…?"
"Ya… ragu, ragu dia bisa setia atau nggak?" Lanjut Winiangsih sambil memegang Hp-nya. Menatapnya seperti cermin.
"Aku kan dulu pernah diputus pacarku! Rasanya sakit, Mi..,!? Kok bisa-bisanya aku percaya pada orang yang tak pernah aku kenal di alam nyata, cuma lewat fb aja. Aku ragu Mi..!" Jelas Winiangsih.
Mia terperangah mendengarnya. Ia terlamun tak berkata dan hanya bisa melihat Winiangsih curhat tentang pacarnya, sambil meletakkan dua punggung tanggannya ke dagu.
"Oo.. Gitu ya!" respon Mia tiba-tiba.
"Terus??"
"Terus apa maksudmu?"
"Ya pacarmu lah, Win…" Tegas Mia meminta pendapat Winiangsih.
"Tak tahulah. Apalagi dia juga agak tampan orangnya, kata temen-temenku dia juga pandai. Pastilah banyak cewek yang naksir. Aku jadi ragu pada dia."
"Bukannya kemarin katamu dia sudah janji mau setia??"
"Yah… sekedar janji. Laki-laki itu tak bisa dipegang janjinya Mia…!" Gerutu Winiangsih sambil tiba-tiba ia menangis mengeluarkan air mata.
”Kok nangis sih…?" Sahut Mia merasa aneh melihat Winiangsih yang tiba-tiba menangis.
"Heh…heh…ehg…ehg…! Kamu tak tahu rasanya putus cinta Mi…" Lanjut Winiangsih menangis tersedu-sedu.
"Sakit sekali, Mi, sakit…!"
"Terus berarti kamu mau putus sama pacarmu??" Lanjut Mia
"Wuuaaaaa…. !" Winiangsih mengeraskan tangisnya sambil mengusap matanya dengan seprai yang berada di samping batal kasur.
"Lho…lho…lho… jangan menangis kayak gitu, malu dong ah sama orang!?" Mia mencoba menenangkan perasaan Winiangsih.
"Dia juga kemarin katanya nge-add kamu supaya bisa tanya-tanya tentang aku."
"Ya, udah tak add dia jadi temenku…," Mia menjawab sambil mengelus rambut waniangsih.
"Orang aneh kayak gitu kok bisa seneng sih, kamu?" Tambah Mia bertanya.
Suasana semakin agak tenang. Tangis Winiangsih berangsur-angsur reda. Namun perasaannya tak lagi seperti dulu. Apakah dia diputus, serpertinya tidak juga. Ia malah jadi ragu setelah itu untuk menjawab pesan-pesan facebook cowoknya. Apalagi orangnya juga bahasanya aneh, sulit untuk dipaham. Itu yang membuat Winiangsih semakin menjadi ragu dengan semua itu. Katanya sih dianya nggak pernah pacaran. Apa benar itu, masak cowok seganteng itu tak pernah pacaran. Sembilan puluh persen bohong. Sudahlah jangan balas dia lagi biar kehidupannya adalah kehidupannya dan kehidupanku adalah kehidupanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar