Menu

Selasa, 09 Oktober 2012

Cerpen - Raungan Pelataran Zanbal


Raungan Pelataran Zanbal

Ia pejamkan mata. Batu nisan yang tengah tepat berada di depan mata ia cium sambil mengharap doa. Bukan meminta pada mayat itu, tapi ia mencari berkah dari bekas-bekas kemuliaan yang dibawa ketika jasad yang terbungkus batu nisan itu masih hidup. Sesekali ia pegang batu nisan itu, membayangkan bagaimana para wali itu memperjuangkan Islam. Mereka para pejuang sejati pewaris Nabi yang mungkin bisa diharap mampu memintakan hajat, sebagai wasilah saat berdoa pada Allah.
Hadi, Nur Hadi nama lengkapnya. Ia baru saja tiba di kota Tarim sekitar dua minggu yang lalu. Rasa hatinya seakan terpuaskan sekarang setelah kakinya ia injakkan di Negara wali itu. Sebenarnya ia tak begitu tahu seperti apa Tarim itu. Ia hanya mendengar kabar-kabar itu dari ustadz Ramdan yang kebetulan adalah alumni dari Yaman. Ustadz pondoknya itu ia sering bercerita tentang tanah bangsa 'Ad, sehingga lambat laun Hadi menjadi tertarik untuk mengikuti seleksi beasisiwa ke Yaman.
Hadi memejet terahir Hp-nya. Ia  masukkan ke saku baju kemeja hitam yang berukir hiasan susunan-susunan benang di sekujur bagian leher, menghias selayak kalung. Ia baru saja mengirim sms pada ustadz Ramdan bahwa ia sekarang sudah sampai di Tarim. Suatu kota yang dulu pernah diceritakan ustadznya saat setiap sedang ronda malam bersama di Pondok. Langkah Hadi pun mulai berjalan. Ia tuju masjid Ba'lawi. Konon masjid itu adalah masjid paling bersejarah di Tarim sehingga ia jadi ingin sekali membuktikan apakah ustadz Ramdan benar atau tidak.
Jauh dua minggu yang lalu. Hadi sangat terkejut ketika sampai di perbatasan kota, ketika hendak memasuki kota Tarim. Tidak hanya itu, ia juga sangat terkesan dengan pemandang alam gersang yang penuh dengan gunung-gunung menjulang. Kadang Hadi menepuk pipinya keras-keras, merasa tidak percaya apakah ini film atau memang benar-benar nyata. Kemegahan gurun arab mengejutkannya.
Sepanjang jalan ia memandang rumah-rumah tanah yang setengah hancur. Pikirnya kadang juga tak percaya bagaimana manusia bisa hidup di alam seperti ini. Bayangannya yang dulu di Indonesia lenyap begitu saja setelah ia lihat tumpukan-tumpukan jerami yang dibawa keledai-keledai di jalan yang ia lewati. Ini bukan kota lagi, tapi pedesaan. Bukan pedesaan lagi, tapi pantas disebut yang terpencil. Kadang benaknya juga berfikir benarkah aku akan menimba ilmu di sini? Begitu panas dengan pantulan-pantulan sinar matahari yang mengelilingi seluruh penjuru arah mata Angin. Gunung-gunung selayak benteng alam membuat hati kecil Hadi mengeluh bertanya sekali lagi, benarkah aku akan tinggal bertahun-tahun di sini?
Tarim adalah kota wali. Waliullah tumbuh di sini seperti rumput. Ini adalah berkat doa Sayyidina Abu Bakar saat dulu utusan pasukannya tiba di tanah ini karena ada desus pemurtadan dari sebagian kabilah Arab. Sekira begitulah yang dipaham Hadi ketika Rahman, seniornya bercerita tentang tempat yang mereka tinggali ini. Kadang Hadi juga acuh pada cerita yang seakan setengah konyol itu. Seperti layaknya dongeng saja. Jika dia masih SD mungkin dia akan kagum dengan itu, tapi sekarang ia bukan anak-anak lagi. Ia adalah mahasiswa. Ia bisa memilah mana yang rasional dan mana yang tak harus dipercayai.
Jangan macam-macam di Tarim jika kau berani macam-macam kau akan kena musibah. Slogan itu terniang dalam hati Hadi ketika malam itu berbaring untuk tidur. Benih-benih takut sedikit-demi sedikit mulai tumbuh untuk berhati-hati dengan tanah yang katanya penuh misteri ini. Sudah banyak bukti cerita dari para pendahulu. Bahkan kemarin ketika ia mengejek sebuah jarum, hanya sebuah jarum, tiba-tiba tangannya secara tak sengaja beberapa saat kemudian tertusuk oleh jarum yang terselubung di kain sarung yang hendak ia jahit.
Hadi terbangun dari tidur. Tak terasa lamunannya semalam membawanya ke alam lelap tanpa ia sadari. Bunyi adzan yang berdengung dengan lagu agak sedikit kaku membuatnya terpaksa harus meninggalkan kasur untuk berdiri mencari air wudlu. Terbelesit dalam hatinya rasa jengkel saat menuju musolla pada tingkah-tingkah aneh yang tak sopan dari orang-orang asing yang belum ia kenal. Tingkah laku yang ia rasa tidak pantas untuk dilakukan, dipampang dengan begitu saja tanpa merasa dosa. Mereka tak seharusnya meletakkan kitab seperti itu. Mereka harus bisa menghormati kitab-kitab ilmu Syariat. Masak kaki jelek yang jarang mandi kayak gitu diletakkan dekat kitab yang tergeletak di lantai seperti itu, tanpa ada rasa penghormatan pada ilmu.
Jam tujuh. Benar jam tujuh. Waktu itu adalah jadwal futhur[1]. Hadi bersila duduk di antara sekawanannya, mulai menikmati sarapan pagi dengan gunjingan-gunjingan antar teman yang masih dalam suasana hangat. Ia dekatkan susu halib panas yang ia ambil tadi ke depan kakinya. Lingkaran yang tersusun dari lima sekawanan itu pun mulai mempergunjingkan tempat-tempat yang tadi malam ia kunjungi. Tak banyak, paling cuma makam, masjid, atau toko. Tak ada Mall sebesar yang ada di Indonesia di sini. Polang-paling hanya Mini market yang penuh dengan tumpukan-tumpukan barang yang tak beraturan.
Wardin, teman seangkatan hadi memulai cerita pada lingkaran sarapan pagi itu. Roti Hadi tinggal setengah, tapi tak apalah, mendengar cerita tentang Tarim lebih mengasyikkan. Ia pun pasang telinga lebar-lebar. Suara Wardin terdengar jelas di antara mereka. Apalagi dia selalu menyela cerita dengan tawa, sehingga membuat enak saat didengarkan, hitung-hitung sebagai pengganti siaran berita pagi.
Tarim itu adalah sebuah kota yang penuh berkah. Saking banyaknya wali hingga mungkin ada ratusan atau bahkan ribuan wali dimakamkan di tanah ini. Jadi jika ada yang macem-macem biasanya dapat bingkisan musibah. Wardin memapar dengan sedikit tawa. Spontan mata Hadi menjadi tajam. Ia agaknya tak begitu terima tentang persepsi itu. Benar, Hadi memang sering dapat musibah dua minggu ini, sehingga ia seakan merasa menjadi tertuduh dengan kata-kata Wardin itu. Berarti dia masuk dalam kategori orang yang macem-macem. Itulah yang membuatnya tidak terima.
Tak sempat melanjutkan, Hadi langsung saja cabut dari tempat duduknya. Ia kembali ke sakan. Rasa masygul terniang begitu jelas dihatinya waktu itu. Ia seakan ingin marah dengan pencetus teori 'siapa yang macem-macem dapat musibah'.
Ia banting tubuhnya ke ranjang. Kepalanya menghadap tegak lurus ke langit-langit atap kamar. Terniang dalam pikiran Hadi, jika memang Tarim itu berkah, kenapa bawa musibah? Berarti itu tidak berkah lagi. Berkah berarti membawa suatu kebaikan bagi kita bukan membawa madlorot. Jika Tarim memberi madlorot pada penghuninya berarti Tarim tidak berkah lagi.
Tidak mungkin. Sekilas Hadi langsung menyahut pecisnya. Ia berjalan keluar setengah lari menuju tempat parkir sepeda. Ia laju sepedanya ke arah terbitnya matahari pagi itu. Ke timur. Ia pegang keras-keras besi berkarat yang kemarin ia beli dari kakak kelasnya. Hadi menuju Zanbal, makam ribuan wali itu. Tak mungkin Tarim, Negara para wali ini, memberi mandlorot pada orang. Bekas yang baik seharusnya memberi nilai baik bukan bencana. Atsar orang-orang soleh seharusnya memberikan kebaikan. Hadi mengencangkan sepedanya. Ia tajamkan matanya ke depan, menatap ketidakpercayaan itu.
Ia duduk berdiam dekat makam Imam Al Haddad. Setelah ia selesai menziarahi semua makam ia sengaja ingin merenung mencari jawaban di dekat tempat berkah itu. Ia percaya para pewaris nabi itu benar-benar bisa memberi berkah bukan musibah, namun kembali Hadi masih ragu dengan apa yang tengah terjadi baru-baru ini. Beberapa musibah yang diceritakan teman-temannya membuatnya ragu. Seakan memang benar bahwa Tarim itu memberi musibah.
Mata Hadi berkaca. Sekilas setelah ia diam habis membaca Yasiin, ia renungkan kembali keraguannya. Benar. Yang salah adalah teorinya bukan buktinya. Tak ada yang salah dengan Tarim dan tak ada yang salah dengan musibah itu. Yang salah adalah yang menyambung hubungan Tarim dengan musibah. Tarim adalah tempat berkah, dan musibah adalah bagian lain dari sisi kehidupan. Andai ditakdirkan kena musibah, walau tidak di Tarim pun akan tetap kena musibah. Pena telah terangkat dan kertas telah kering.


[1]  Futhur; sarapan pagi.

1 komentar: