Raungan
Pelataran Zanbal
Ia pejamkan mata. Batu nisan yang tengah tepat
berada di depan mata ia cium sambil mengharap doa. Bukan meminta pada mayat
itu, tapi ia mencari berkah dari bekas-bekas kemuliaan yang dibawa ketika jasad
yang terbungkus batu nisan itu masih hidup. Sesekali ia pegang batu nisan itu,
membayangkan bagaimana para wali itu memperjuangkan Islam. Mereka para pejuang
sejati pewaris Nabi yang mungkin bisa diharap mampu memintakan hajat, sebagai
wasilah saat berdoa pada Allah.
Hadi, Nur Hadi nama lengkapnya. Ia baru saja tiba di
kota Tarim sekitar dua minggu yang lalu. Rasa hatinya seakan terpuaskan
sekarang setelah kakinya ia injakkan di Negara wali itu. Sebenarnya ia tak
begitu tahu seperti apa Tarim itu. Ia hanya mendengar kabar-kabar itu dari
ustadz Ramdan yang kebetulan adalah alumni dari Yaman. Ustadz pondoknya itu ia
sering bercerita tentang tanah bangsa 'Ad, sehingga lambat laun Hadi menjadi
tertarik untuk mengikuti seleksi beasisiwa ke Yaman.
Hadi memejet terahir Hp-nya. Ia masukkan ke saku baju kemeja hitam yang
berukir hiasan susunan-susunan benang di sekujur bagian leher, menghias selayak
kalung. Ia baru saja mengirim sms pada ustadz Ramdan bahwa ia sekarang sudah
sampai di Tarim. Suatu kota yang dulu pernah diceritakan ustadznya saat setiap
sedang ronda malam bersama di Pondok. Langkah Hadi pun mulai berjalan. Ia tuju
masjid Ba'lawi. Konon masjid itu adalah masjid paling bersejarah di Tarim
sehingga ia jadi ingin sekali membuktikan apakah ustadz Ramdan benar atau
tidak.
Jauh dua minggu yang lalu. Hadi sangat terkejut
ketika sampai di perbatasan kota, ketika hendak memasuki kota Tarim. Tidak
hanya itu, ia juga sangat terkesan dengan pemandang alam gersang yang penuh
dengan gunung-gunung menjulang. Kadang Hadi menepuk pipinya keras-keras, merasa
tidak percaya apakah ini film atau memang benar-benar nyata. Kemegahan gurun
arab mengejutkannya.
Sepanjang jalan ia memandang rumah-rumah tanah yang
setengah hancur. Pikirnya kadang juga tak percaya bagaimana manusia bisa hidup
di alam seperti ini. Bayangannya yang dulu di Indonesia lenyap begitu saja
setelah ia lihat tumpukan-tumpukan jerami yang dibawa keledai-keledai di jalan
yang ia lewati. Ini bukan kota lagi, tapi pedesaan. Bukan pedesaan lagi, tapi
pantas disebut yang terpencil. Kadang benaknya juga berfikir benarkah aku akan
menimba ilmu di sini? Begitu panas dengan pantulan-pantulan sinar matahari yang
mengelilingi seluruh penjuru arah mata Angin. Gunung-gunung selayak benteng
alam membuat hati kecil Hadi mengeluh bertanya sekali lagi, benarkah aku akan
tinggal bertahun-tahun di sini?
Tarim adalah kota wali. Waliullah tumbuh di sini
seperti rumput. Ini adalah berkat doa Sayyidina Abu Bakar saat dulu utusan
pasukannya tiba di tanah ini karena ada desus pemurtadan dari sebagian kabilah
Arab. Sekira begitulah yang dipaham Hadi ketika Rahman, seniornya bercerita
tentang tempat yang mereka tinggali ini. Kadang Hadi juga acuh pada cerita yang
seakan setengah konyol itu. Seperti layaknya dongeng saja. Jika dia masih SD mungkin
dia akan kagum dengan itu, tapi sekarang ia bukan anak-anak lagi. Ia adalah
mahasiswa. Ia bisa memilah mana yang rasional dan mana yang tak harus
dipercayai.
Jangan macam-macam di Tarim jika kau berani
macam-macam kau akan kena musibah. Slogan itu terniang dalam hati Hadi ketika
malam itu berbaring untuk tidur. Benih-benih takut sedikit-demi sedikit mulai
tumbuh untuk berhati-hati dengan tanah yang katanya penuh misteri ini. Sudah
banyak bukti cerita dari para pendahulu. Bahkan kemarin ketika ia mengejek
sebuah jarum, hanya sebuah jarum, tiba-tiba tangannya secara tak sengaja
beberapa saat kemudian tertusuk oleh jarum yang terselubung di kain sarung yang
hendak ia jahit.
Hadi terbangun dari tidur. Tak terasa lamunannya
semalam membawanya ke alam lelap tanpa ia sadari. Bunyi adzan yang berdengung
dengan lagu agak sedikit kaku membuatnya terpaksa harus meninggalkan kasur
untuk berdiri mencari air wudlu. Terbelesit dalam hatinya rasa jengkel saat
menuju musolla pada tingkah-tingkah aneh yang tak sopan dari orang-orang asing
yang belum ia kenal. Tingkah laku yang ia rasa tidak pantas untuk dilakukan,
dipampang dengan begitu saja tanpa merasa dosa. Mereka tak seharusnya
meletakkan kitab seperti itu. Mereka harus bisa menghormati kitab-kitab ilmu
Syariat. Masak kaki jelek yang jarang mandi kayak gitu diletakkan dekat kitab
yang tergeletak di lantai seperti itu, tanpa ada rasa penghormatan pada ilmu.
Jam tujuh. Benar jam tujuh. Waktu itu adalah jadwal futhur[1].
Hadi bersila duduk di antara sekawanannya, mulai menikmati sarapan pagi dengan
gunjingan-gunjingan antar teman yang masih dalam suasana hangat. Ia dekatkan
susu halib panas yang ia ambil tadi ke depan kakinya. Lingkaran yang tersusun
dari lima sekawanan itu pun mulai mempergunjingkan tempat-tempat yang tadi
malam ia kunjungi. Tak banyak, paling cuma makam, masjid, atau toko. Tak ada
Mall sebesar yang ada di Indonesia di sini. Polang-paling hanya Mini market
yang penuh dengan tumpukan-tumpukan barang yang tak beraturan.
Wardin, teman seangkatan hadi memulai cerita pada
lingkaran sarapan pagi itu. Roti Hadi tinggal setengah, tapi tak apalah,
mendengar cerita tentang Tarim lebih mengasyikkan. Ia pun pasang telinga
lebar-lebar. Suara Wardin terdengar jelas di antara mereka. Apalagi dia selalu
menyela cerita dengan tawa, sehingga membuat enak saat didengarkan,
hitung-hitung sebagai pengganti siaran berita pagi.
Tarim itu adalah sebuah kota yang penuh berkah.
Saking banyaknya wali hingga mungkin ada ratusan atau bahkan ribuan wali
dimakamkan di tanah ini. Jadi jika ada yang macem-macem biasanya dapat
bingkisan musibah. Wardin memapar dengan sedikit tawa. Spontan mata Hadi
menjadi tajam. Ia agaknya tak begitu terima tentang persepsi itu. Benar, Hadi
memang sering dapat musibah dua minggu ini, sehingga ia seakan merasa menjadi
tertuduh dengan kata-kata Wardin itu. Berarti dia masuk dalam kategori orang
yang macem-macem. Itulah yang membuatnya tidak terima.
Tak sempat melanjutkan, Hadi langsung saja cabut
dari tempat duduknya. Ia kembali ke sakan. Rasa masygul terniang begitu
jelas dihatinya waktu itu. Ia seakan ingin marah dengan pencetus teori 'siapa
yang macem-macem dapat musibah'.
Ia banting tubuhnya ke ranjang. Kepalanya menghadap
tegak lurus ke langit-langit atap kamar. Terniang dalam pikiran Hadi, jika
memang Tarim itu berkah, kenapa bawa musibah? Berarti itu tidak berkah lagi.
Berkah berarti membawa suatu kebaikan bagi kita bukan membawa madlorot.
Jika Tarim memberi madlorot pada penghuninya berarti Tarim tidak berkah
lagi.
Tidak mungkin. Sekilas Hadi langsung menyahut
pecisnya. Ia berjalan keluar setengah lari menuju tempat parkir sepeda. Ia laju
sepedanya ke arah terbitnya matahari pagi itu. Ke timur. Ia pegang keras-keras
besi berkarat yang kemarin ia beli dari kakak kelasnya. Hadi menuju Zanbal,
makam ribuan wali itu. Tak mungkin Tarim, Negara para wali ini, memberi mandlorot
pada orang. Bekas yang baik seharusnya memberi nilai baik bukan bencana. Atsar
orang-orang soleh seharusnya memberikan kebaikan. Hadi mengencangkan sepedanya.
Ia tajamkan matanya ke depan, menatap ketidakpercayaan itu.
Ia duduk berdiam dekat makam Imam Al Haddad. Setelah
ia selesai menziarahi semua makam ia sengaja ingin merenung mencari jawaban di
dekat tempat berkah itu. Ia percaya para pewaris nabi itu benar-benar bisa
memberi berkah bukan musibah, namun kembali Hadi masih ragu dengan apa yang
tengah terjadi baru-baru ini. Beberapa musibah yang diceritakan teman-temannya
membuatnya ragu. Seakan memang benar bahwa Tarim itu memberi musibah.
Mata Hadi berkaca. Sekilas setelah ia diam habis membaca
Yasiin, ia renungkan kembali keraguannya. Benar. Yang salah adalah teorinya
bukan buktinya. Tak ada yang salah dengan Tarim dan tak ada yang salah dengan
musibah itu. Yang salah adalah yang menyambung hubungan Tarim dengan musibah.
Tarim adalah tempat berkah, dan musibah adalah bagian lain dari sisi kehidupan.
Andai ditakdirkan kena musibah, walau tidak di Tarim pun akan tetap kena
musibah. Pena telah terangkat dan kertas telah kering.
ya bagus,,bagus...
BalasHapus