Menu

Jumat, 03 Mei 2013

Aku Malu Mengaku Salafi





Skenario sebuah pemikiran berkembang sejalan dengan semakin banyaknya ilmu yang dimiliki oleh seorang individu manusia secara naluri. Semakin banyak ilmu yang dimiliki maka ia akan semakin mempunyai wawasan luas dan mampu merespon situasi dalam bertindak. Namun seringkali kita dapati teori ini tidak sesuai dengan kenyataan, karena beberapa orang setelah mendapat banyak ilmu bukan menjadi lebih baik, malah menjadi lebih buruk, bahkan bisa malah menyalahkan orang lain yang beda pendapat dengan kita. Perkembangan pemikirian yang masih mengira bahwa ilmunya lah yang paling benar. Dialah yang paling benar, dan jangan sampai kalah debat dengan siapapun.
Sekitar sembilan tahunan yang lalu, ketika penulis masih berumur sekitar 17 tahun. Ada pengalaman menarik yang tak terlupakan. Waktu itu penulis memang lagi mengenyam masa-masa di pondok pesantren. Di sana diajarkan bagaimana menjaga Tauhid, bagaimana kita berma'rifat kepada Sang Kholiq/pencipta, bagaimana reaksi  pendapat Ahlussunah yang terlihat berbeda dengan aliran Mu'tazilah? dan ajaran-ajaran tauhid lainnya yang berhubungan dengan akidah yang sah. Salah satu di antaranya ditegaskan bahwa tiada yang memiliki kekuatan, tiada yang memilki daya kecuali Allah swt. I'tikad itu pun tertanam dalam dalam sanubari, hingga suatu saat penulis pulang dari pondok pesantren, bergaya dengan ilmu yang ia rasa telah mumpuni.


Ketika di rumah penulis berdebat dengan ayahanda penulis tentang pupuk di sawah, yang waktu itu memang sedang lagi mahal-mahalnya. Sang ayah selalu bilang, 'jika sawah kita tidak memakai pupuk maka hasilnya tidak akan keluar'. Saya pun terperanjat membantah. Aku bantah dengan sadis dan keras bahwa Allah lah yang memberikan hasil panen bukan pupuk. Tetapi ayahku pun tak mau kalah setelah melihat aku yang sok pintar membantahnya. Ia membantah bahwa yang menumbuhkan hasil itu secara adat ya karena diberi pupuk. Perdebatan pun berlangsung hingga aku ahirnya dengan keras hati berdiri sambil bilang, "Pak! Baca syahadat…yang Bapak lakukan adalah kufur!!?".
Namun selang beberapa bulan aku mulai menyadari bahwa ayahku lah yang benar, dan aku salah. Satu, karena aku terlalu egois dengan pendapatku, ingin menang sendiri. Kedua, aku tidak menyadari bahwa akal manusia itu mempunyai daya paham yang berbeda. Aku tidak menyadari bahwa ayahku adalah orang awam yang tidak akan paham dengan pengetahuan yang aku gunakaan. Ayahku memandang dari sudut adat, sedangkan aku memandang dari sudut ilmu hakekat dalam Tauhid. Ya, selamanya nggak akan ketemu. Ketiga, aku tidak mau husnudzon/berbaik sangka dulu dengan pendapat ayahku.
Beberapa tahun kemudian aku mendengar desus-desus tentang Wahabi. Aku terkejut. Ternyata model seperti pemikiranku yang keras telah ada sebelumku. Aku pun mulai curiga dengan rasa hatiku semala ini. Sempat aku ingin membantah tentang tawasul, sama seperti yang diprotes Wahabiyah, tentang suatu amaliyah meminta-minta orang soleh selain Allah, katanya sebagai perantara doanya kepada Allah swt agar mudah terkabul. Terbenak dalam hati, 'Kenapa kita harus tawasul, padahal kita punya mulut sendiri, kita punya lisan sendiri, kita punya ibadah yang selama ini kita lakukan untuk mendekatkan diri pada Allah swt, lalu kenapa kita harus repot-repot ber-tawasul mencari perantara untuk berdoa pada Allah swt. Bukannya malah bisa langsung sampai, daripada jauh-jauh lewat perantara orang soleh?.
Namun, dalam jangka waktu setelahnya aku pun mulai sadar, di sinilah letak ke-takaburan-ku. Inilah hati sombongku yang sedang bercongkak. Sok dekat dengan Sang Pencipta, padahal sholat lima waktu saja jarang berjamaah. Setiap hari saja aku menyakiti hati teman-temanku dengan kata-kata kerasku saat berdebat. Aku sadar bahwa pemikiranku ternyata ada sesuatu ang perlu dibenahi. Atau mungkin ini adalah tanda-tanda bahwa akulah sebenarnya yang salah.
Wahabi, orang menyebutnya dengan nama itu. Kupikir tindakanku ini hampir sama dengan Wahabi. Cuma bedanya aku telah mendapatkan solusi dari keteledoranku selama ini, sedangkan Wahabi masih dalam jubangan kekerasan mereka yang belum berkembang dan belum terluruskan, yang tak mau husnudzon dengan muslim yang lainnya. Bahkan suatu ketika kudapati mereka merusak makam-makam orang soleh yang sering diziarahi orang. Mereka mengobrak-abrik tempat itu malam hari ketika semua orang sekitar makam itu sedang tidur. Seperti seorang pencuri yang ingin mendapatkan sesuatu dengan secara sembunyi-sembunyi. Tapi anehnya, mereka mengaku bahwa mereka melakukannya untuk menegakkan kebenaran dengan itu. Lalu timbullah pertanyaan, 'Kebenaran yang model mana yang ingin mereka tegakkan dengan mencuri?'.
Terdesik dalam hatiku, mungkin saja mereka meniru cara Nabi Ibrahim as. yang berusaha menghancurkan berhala-berhala orang kafir secara sembunyi-sembunyi.  Tapi hal itu juga tidak sesuai dengan kebenaran, karena;
Pertama, sebelum Nabi Ibrahim as. menghancurkan berhala-berhala itu ia bertanya dulu dengan para penyembah berhala, apa yang kalian lakukan? Maka orang-orang kafir pun menjawab bahwa mereka sedang menyembah tuhan selain Allah. Lah, kalau Wahabi kan tidak pernah tanya pada penziarah kubur, 'Apakah kau menyembah makam itu atau ngapain?' Andai kata Wahabi yang mengaku salafi itu mau bertanya dulu, pastilah peziarah kubur ahli sunah itu akan menjawab 'Tidak, kami tidak menyembahnya. Kami hanya ingin tahu sejarah ayah-ayah kami, sejarah orang-orang soleh kami, dan andaikata kita meminta pun sebenarnya kita meminta pada Allah swt, bukan pada makam, dengan ber-wasilah pada orang soleh yang berada di makam itu'. Andai wahabi penanya itu adalah Nabi Ibrahim as. tentu Nabi Ibrahim as. tak akan sampai hati menghancurkan makam, karena ternyata mereka tidak menyembahnya. Dia tahu bedanya wasilah dengan menyembah. Berbeda dengan Wahabi yang tak mau tahu dengan kebenaran ini.
Kedua, andai si Wahabi itu benar kenapa dia bertindak seperti pencuri? Kenapa ia tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya setelah semalam suntup menghancurkan makam-makam orang soleh. Nabi ibrahim as. setelah menghancurkan berhala orang-orang kafir, ia berani bertanggung jawab dan disidang oleh kaumnya yang kafir, hingga saking jengkel kaumnya melihat kebenaran yang dibawa Nabi Ibrahim as., mereka berencana untuk membakar Nabi Ibrahim hidup-hidup. Mereka pun ahirnya membakar Nabi Ibrahim as, tapi apa yang terjadi, Nabi Ibrahim as. tetap selamat dari kobaran api itu. Ia tak terbakar, bahkan api itu dirasanya menjadi dingin. Sekarang Wahabi yang menghancurkan makam itu, dari mereka tidak ada yang mau bertanggung jawab. Ia mau berlagak seperti Nabi Ibrahim tapi ia tidak pernah bersifat jantan seperti Nabi Ibrahim as. Oke, andaikata dari mereka ada yang mau bertanggung jawab, apakah dari mereka ada yang mau dibakar untuk membuktikan kebenaran ajaran yang dibawa mereka? jika Nabi Ibrahim as. selamat dari kobaran api itu dengan kebenaranya, maka Wahabi jika benar akan juga selamat dari kobaran api itu. Kita buktikan, ajaran ahli sunah al-Asy'ari atau ajaran baru Wahabi yang benar. Wa Allah a'lam.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar