Skenario sebuah pemikiran
berkembang sejalan dengan semakin banyaknya ilmu yang dimiliki oleh seorang
individu manusia secara naluri. Semakin banyak ilmu yang dimiliki maka ia akan
semakin mempunyai wawasan luas dan mampu merespon situasi dalam bertindak.
Namun seringkali kita dapati teori ini tidak sesuai dengan kenyataan, karena
beberapa orang setelah mendapat banyak ilmu bukan menjadi lebih baik, malah
menjadi lebih buruk, bahkan bisa malah menyalahkan orang lain yang beda
pendapat dengan kita. Perkembangan pemikirian yang masih mengira bahwa ilmunya lah
yang paling benar. Dialah yang paling benar, dan jangan sampai kalah debat
dengan siapapun.
Sekitar
sembilan tahunan yang lalu, ketika penulis masih berumur sekitar 17 tahun. Ada pengalaman menarik yang
tak terlupakan. Waktu itu penulis memang lagi mengenyam masa-masa di pondok
pesantren. Di sana
diajarkan bagaimana menjaga Tauhid, bagaimana kita berma'rifat kepada Sang
Kholiq/pencipta, bagaimana reaksi
pendapat Ahlussunah yang terlihat berbeda dengan aliran Mu'tazilah? dan
ajaran-ajaran tauhid lainnya yang berhubungan dengan akidah yang sah. Salah
satu di antaranya ditegaskan bahwa tiada yang memiliki kekuatan, tiada yang
memilki daya kecuali Allah swt. I'tikad itu pun tertanam dalam dalam
sanubari, hingga suatu saat penulis pulang dari pondok pesantren, bergaya
dengan ilmu yang ia rasa telah mumpuni.
Ketika
di rumah penulis berdebat dengan ayahanda penulis tentang pupuk di sawah, yang
waktu itu memang sedang lagi mahal-mahalnya. Sang ayah selalu bilang, 'jika sawah
kita tidak memakai pupuk maka hasilnya tidak akan keluar'. Saya pun terperanjat
membantah. Aku bantah dengan sadis dan keras bahwa Allah lah yang memberikan
hasil panen bukan pupuk. Tetapi ayahku pun tak mau kalah setelah melihat aku
yang sok pintar membantahnya. Ia membantah bahwa yang menumbuhkan hasil itu
secara adat ya karena diberi pupuk. Perdebatan pun berlangsung hingga aku
ahirnya dengan keras hati berdiri sambil bilang, "Pak! Baca syahadat…yang Bapak
lakukan adalah kufur!!?".
Namun
selang beberapa bulan aku mulai menyadari bahwa ayahku lah yang benar, dan aku
salah. Satu, karena aku terlalu egois dengan pendapatku, ingin menang
sendiri. Kedua, aku tidak menyadari bahwa akal manusia itu mempunyai
daya paham yang berbeda. Aku tidak menyadari bahwa ayahku adalah orang awam
yang tidak akan paham dengan pengetahuan yang aku gunakaan. Ayahku memandang
dari sudut adat, sedangkan aku memandang dari sudut ilmu hakekat dalam Tauhid.
Ya, selamanya nggak akan ketemu. Ketiga, aku tidak mau husnudzon/berbaik
sangka dulu dengan pendapat ayahku.
Beberapa
tahun kemudian aku mendengar desus-desus tentang Wahabi. Aku terkejut. Ternyata
model seperti pemikiranku yang keras telah ada sebelumku. Aku pun mulai curiga
dengan rasa hatiku semala ini. Sempat aku ingin membantah tentang tawasul,
sama seperti yang diprotes Wahabiyah, tentang suatu amaliyah meminta-minta
orang soleh selain Allah, katanya sebagai perantara doanya kepada Allah swt
agar mudah terkabul. Terbenak dalam hati, 'Kenapa kita harus tawasul,
padahal kita punya mulut sendiri, kita punya lisan sendiri, kita punya ibadah
yang selama ini kita lakukan untuk mendekatkan diri pada Allah swt, lalu kenapa
kita harus repot-repot ber-tawasul mencari perantara untuk berdoa pada
Allah swt. Bukannya malah bisa langsung sampai, daripada jauh-jauh lewat perantara
orang soleh?.
Namun,
dalam jangka waktu setelahnya aku pun mulai sadar, di sinilah letak ke-takaburan-ku.
Inilah hati sombongku yang sedang bercongkak. Sok dekat dengan Sang Pencipta, padahal
sholat lima waktu
saja jarang berjamaah. Setiap hari saja aku menyakiti hati teman-temanku dengan
kata-kata kerasku saat berdebat. Aku sadar bahwa pemikiranku ternyata ada
sesuatu ang perlu dibenahi. Atau mungkin ini adalah tanda-tanda bahwa akulah
sebenarnya yang salah.
Wahabi, orang
menyebutnya dengan nama itu. Kupikir tindakanku ini hampir sama dengan Wahabi.
Cuma bedanya aku telah mendapatkan solusi dari keteledoranku selama ini, sedangkan
Wahabi masih dalam jubangan kekerasan mereka yang belum berkembang dan belum
terluruskan, yang tak mau husnudzon dengan muslim yang lainnya. Bahkan
suatu ketika kudapati mereka merusak makam-makam orang soleh yang sering
diziarahi orang. Mereka mengobrak-abrik tempat itu malam hari ketika semua
orang sekitar makam itu sedang tidur. Seperti seorang pencuri yang ingin
mendapatkan sesuatu dengan secara sembunyi-sembunyi. Tapi anehnya, mereka
mengaku bahwa mereka melakukannya untuk menegakkan kebenaran dengan itu. Lalu timbullah
pertanyaan, 'Kebenaran yang model mana yang ingin mereka tegakkan dengan
mencuri?'.
Terdesik
dalam hatiku, mungkin saja mereka meniru cara Nabi Ibrahim as. yang berusaha
menghancurkan berhala-berhala orang kafir secara sembunyi-sembunyi. Tapi hal itu juga tidak sesuai dengan
kebenaran, karena;
Pertama,
sebelum Nabi Ibrahim as. menghancurkan berhala-berhala itu ia bertanya dulu
dengan para penyembah berhala, apa yang kalian lakukan? Maka orang-orang kafir
pun menjawab bahwa mereka sedang menyembah tuhan selain Allah. Lah, kalau Wahabi
kan tidak
pernah tanya pada penziarah kubur, 'Apakah kau menyembah makam itu atau ngapain?'
Andai kata Wahabi yang mengaku salafi itu mau bertanya dulu, pastilah peziarah
kubur ahli sunah itu akan menjawab 'Tidak, kami tidak menyembahnya. Kami hanya
ingin tahu sejarah ayah-ayah kami, sejarah orang-orang soleh kami, dan
andaikata kita meminta pun sebenarnya kita meminta pada Allah swt, bukan pada
makam, dengan ber-wasilah pada orang soleh yang berada di makam itu'. Andai
wahabi penanya itu adalah Nabi Ibrahim as. tentu Nabi Ibrahim as. tak akan
sampai hati menghancurkan makam, karena ternyata mereka tidak menyembahnya. Dia
tahu bedanya wasilah dengan menyembah. Berbeda dengan Wahabi yang tak mau tahu
dengan kebenaran ini.
Kedua,
andai si Wahabi itu benar kenapa dia bertindak seperti pencuri? Kenapa ia tidak
mau bertanggung jawab atas tindakannya setelah semalam suntup menghancurkan
makam-makam orang soleh. Nabi ibrahim as. setelah menghancurkan berhala
orang-orang kafir, ia berani bertanggung jawab dan disidang oleh kaumnya yang
kafir, hingga saking jengkel kaumnya melihat kebenaran yang dibawa Nabi Ibrahim
as., mereka berencana untuk membakar Nabi Ibrahim hidup-hidup. Mereka pun
ahirnya membakar Nabi Ibrahim as, tapi apa yang terjadi, Nabi Ibrahim as. tetap
selamat dari kobaran api itu. Ia tak terbakar, bahkan api itu dirasanya menjadi
dingin. Sekarang Wahabi yang menghancurkan makam itu, dari mereka tidak ada
yang mau bertanggung jawab. Ia mau berlagak seperti Nabi Ibrahim tapi ia tidak
pernah bersifat jantan seperti Nabi Ibrahim as. Oke, andaikata dari mereka ada
yang mau bertanggung jawab, apakah dari mereka ada yang mau dibakar untuk
membuktikan kebenaran ajaran yang dibawa mereka? jika Nabi Ibrahim as. selamat
dari kobaran api itu dengan kebenaranya, maka Wahabi jika benar akan juga
selamat dari kobaran api itu. Kita buktikan, ajaran ahli sunah al-Asy'ari atau
ajaran baru Wahabi yang benar. Wa Allah a'lam.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar