Reparasi Ulama
Dalam Etika Politik,
Perlukah?
Oleh: Mohamad Bejo
Berbicara tentang peran ulama
dalam membina moral politik memang agak sulit. Bagaimana tidak, beberapa waktu
lalu ternyata KPK menangkap gembong koruptor malah dari petugas kantor agama sendiri.
Dikatakan memalukan juga bisa saja, dan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah,
jika seperti itu ulama'nya, lalu bagaimana dengan yang lain?
Politik, suatu arena pertandingan
mempengaruhi atau dipengaruhi, begitulah kiranya slogan tersirat itu dipampang
oleh para petarung-petarung di dalamnya. Tanpa politik kita akan kacau, tapi
dengan politik pula kita juga sering kacau balau.
Berbeda dengan pemikul agama Nasrani
yang menyebut mereka dengan sebutan pihak Gereja, Islam lebih dominan
memberikan keluasan bagi siapa saja dari rakatnya untuk mengajukan pendapat dan
berekspresi. Jika selama berabad-abad Eropa kelam karena monopoli yang
dilakukan pihak Gereja terhadap perpolitikan, hingga saking gempungnya rakyat
prancis mengadakan revolusi besar-besaran ingin menghapus pengaruh gereja, maka
ulama islam berbeda jauh, Islam tidak pernah memberikan kekuasan untuk ulamanya
saja. Tidak ada monopoli dalam islam, bahkan islam malah memberikan kebebasan
berpendapat pada siapa saja, walau kadang juga harus bertentangan sendiri
dengan kebijakan yang dipilih Negara.
Selanjutnya, jika politik
diartikan dengan 'Bagaimana orang lain bisa mengikuti jalan saya', maka Islam akan
bersinggung balik dengan prisip tersebut. 'Mengikuti jalan saya' berarti asumsi
yang diberikan adalah mengikuti suatu kehendak individu atau partai, baik itu
benar atau salah, baik itu merugikan orang lain atau tidak, inilah yang membuat
Islam kadang berbenturan dengan suatu kebijakan politik. Islam berjalan atas
cahaya wahyu, sedang politik cenderung ke nafsu yang berkolaborasi dengan akal,
sepintas hari ini menganggap paling baik, mungkin besok bisa saja disebut
paling jelek.
Sebenarnya tidak begitu rumit
jika ulama ingin membina etika politik, tapi kadang dasar masalah itu sendiri
oleh ulama terjadi suatu perselisihan, inilah yang sering membuat suatu
kebijakan bimbang untuk mencetuskan suatu kebijakan. Kita andaikan saja dalam
perselisihan itu ada pendapat kuat dan ada yang lemah, tapi yang kuat sudah
tidak relevan lagi dengan zaman, inilah yang kadang membuat sebagian ulama
tetap teguh pada pendahulunya, dan sebagian lagi harus merubah kondisi
mengikuti pendapat yang lemah yang sesuai dengan zaman. Akibatnya, perselisihan
terjadi, kebijakan politik pun terhambat, atau malah bisa-bisa memberikan dampak
negative pada kesejahteraan masyarakat.
Menoleh ke sudut lain dari
politik dimana mempunyai tiga komposisi penting, yaitu Yudikatif yang
dilaksanakan lembaga seerti MA, Legislative (DPR), dan eksekutif (Presiden dan
Wapres), maka peran ulama dalam membina etika politik tidak harus ikut dalam
salah satu dari tiga itu, tapi ulama cukup berperan sebagai tokoh politik yang
tetap konsisten dengan agama dan berusaha menjauhi benturan dengan kebijakan
Negara. Bahkan bisa dibilang, ulama memiliki pengaruh lebih besar daripada aktor-aktor
politik lainnya, yang inilah kadang digunakan oleh beberapa pihak untuk
mengambil hati rakyat demi kepentingan suatu partai, dengan jalan
mengatasnamakan mereka di atas agama. Inilah yang perlu dibenahi, agama bukan
alat politik yang bisa semena-mena digunakan untuk mengambil simpati, tapi
agama adalah sekumpulan aturan yang mengatur bagaimana interaksi suatu individu
dalam hubungannya dengan individu lain, alam sekitar, dan mengatur hubungannya
dengan Sang Khaliq, Pengatur segala urusan.
Andai terpaksa ulama harus
turun ke dunia politik, maka suatu yang perlu diketahui, bahwa ulama seperti
yang dibagi oleh Imam Al Ghozali, terbagi menjadi tiga jenis:
Pertama, ulama yang
memiliki ilmu untuk mencari keridloan Allah swt semata, untuk mempersiapkan
bekalnya di akherat. Kedua, ulama yang memiliki ilmu namun ilmunya
digunakan untuk mencari suatu pangkat duniawi, mencari perhatian public,
mencari harta dan hal-hal duniawi lainnya, walau demikian ia merasa dirinya itu
salah dengan tindakannya itu, ia tahu apa yang ia lakukan dengan ilmunya itu
salah, tidak pada tempatnya. Ketiga, ulama yang sama seperti ulama kedua
tapi ia tidak merasa bahwa ia berjalan di jalan yang salah. Ia menyangka bahwa
terjunnya ke dunia politik dengan jubah agamanya demi mencari suara public dan
pangkat adalah suatu tindakan yang benar. Inilah ulama yang berbahaya.
Dari ketiga jenis ulama
tersebut, maka ulama pertamalah yang sepantasnya terjun ke dunia politik karena
mereka lebih terjaga daripada yang lain, walau kadang dari mereka sendiri malah
memilih menjauhi dunia politik yang menurut mereka penuh dengan kericuhan.
Ulama yang kedua perlu disadarkan atas jalannya. Hatinya sebenarnya tahu kalau
jalan yang ia tempuh itu salah, namun kadang ia tidak bisa atau sulit mengelak
dari keadaan, dan inilah peran ulama yang lain untuk mengingatkannya. Ulama yang
ketiga inilah yang berbahaya, jadi jangan aneh jika ada ulama yang tertangkap
karena kasus korupsi. Ulama ketiga inilah yang dalam istilah disebut sebagai ulama
suu'. Dia tidak merasa bahwa dia itu salah, dia merasa bahwa ia telah
berjalan di jalan yang benar walaupun sebenarnya duri yang ia injak, tapi walau
demikian, ulama yang berperingai seperti ini harus tetap dipantau agar tidak membuat
jubah agama tercoreng tinta hitam karena ulahnya. Wa Allahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar