IBU SEBAGAI MADRASAH
UNTUK ANAK
Melihat
posisi seorang ibu dalam menghadapi anaknya maka supaya lebih terperinci dalam
kajian, peranan ibu mempunyai pengaruh kehidupan pada anak dalam tiga sudut
kehidupan; pertama, ketika anak itu masih kecil. Kedua, ketika
memasuki masa-masa pubertas. Ketiga, ketika anak itu beranjak dewasa
memahami sisi kehidupan yang sebenarnya.
A. Ketika Masa Kecil
Masa kecil adalah masa dimana
anak masih membutuhkan banyak informasi tentang kehidupan alam sekitar. Masa
ini bisa dikatakan masa pembentukan ketangkasan seorang anak, atau bahkan dalam
masa inilah hati seorang anak sedikit demi sedikit berkembang untuk memproses
akidah dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan sabda Rosulullah saw. bahwa semua
bayi itu lahir dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya lah yang menjadikannya
Nasrani dan Yahudi. Dari sini tampak betapa pentingnya peran orang dekat bagi
seorang anak tersebut. Dan tidak ada orang terdekat dengan seorang anak kecuali
ibunya sendiri. Inilah wahana seorang ibu untuk merealisasikan perannya sebagai
pencetak kaderisasi bangsa yang beriman, bertaqwa, dan bermanfaat bagi bangsa.
Terlepas
dari hal itu, sang ibu juga tertuntut untuk mengajari hal-hal positif yang erat
kaitannya dengan perasaan, karena dalam masa kecil seorang anak lebih peka
dengan perasaan dari pada dengan akalnya. Inilah kenapa dalam Islam
disyariatkan adanya batas umur baligh, karena perkembangan akal lebih
lambat dari pada perkembangan perasaan. Bukti kongkrit dari sensitifnya
perasaan anak adalah gampangnya dia menangis ketika keinginannya tidak
terpenuhi. Dari sinilah peran seorang ibu dalam pembentukan karakter perasaan
anak.
Secara
lebih intensif ada beberapa hal yang harus dilakukan seorang ibu dalam perannya
sebagai madrasah pertama untuk anak dalam pembentukan akidah dan perasaannya,
diantaranya:
Pertama,
mengajari tentang akidah-akidah dasar Islam. Hal ini tidak dilakukan
serta-merta seperti yang diajarkan di sekolah atau pendidikan formal lainnya,
akan tetapi langkah ini dilakukan dengan tadaruj/bertahap menimbang dari
kekuatan umur si kecil itu sendiri. Misalnya pada awal kali melatih anak untuk
menyebut asma Allah, selang beberapa waktu ketika dirasa sudah mapan sang ibu
mencoba mengenalkan sifat-sifat Allah swt. secara global, sehingga lambat laun
ia akan hafal dalam hatinya.
Hal ini
penting karena akidah adalah sumber pertama dalam pendirian seorang manusia.
Tanpa adanya ikatan dengan Tuhan manusia akan sama saja dengan hewan. Inilah
mengapa akidah sangat dibutuhkan dalam pembentukan pertama anak.
Kedua,
mengajari tatacara berinteraksi dengan alam sekitar, seperti makan, menyapa,
menjaga kebersihan dan lain-lain yang mana sesuai dengan kesopanan dan nilai
islami. Hal ini dianggap penting karena setelah seorang ibu membentuk batin si
anak, ia juga harus membentuk sikap dzohir anak itu, sebagai wahana
untuk bisa beradaptasi dengan alam sekitarnya. Banyak orang sangat merasa
terkucilkan semasa ia kecil karena ibunya kurang begitu memberi pelajaran
tentang tatacara bersosialisasi, sehingga selain batin, hubungan dengan Tuhan, dzohir
untuk hubungan dengan alam sekitar juga sangat penting untuk dibentuk.
Ketiga,
jangan terlalu kasar pada anak. Ketika memberi pengajaran terhadap anak kecil
hal yang tertuntut untuk harus ada adalah kesabaran. Jiwa seorang anak bisa
dikatakan masih lembut untuk menerima respek emosional sekitarnya, jadi
kerentanan untuk sering menangis merasa didzolimi merupakan respon anak yang
menunjukkan bahwa pengajarannya keras. Di sinilah seorang ibu tertuntut untuk
lebih pandai dalam mempelajari sikap psikologis sang anak. Terlalu bersikap
kasar pada anak bisa membuat sang anak itu merasa bahwa dunia ini penuh dengan
kekerasan, sehingga ia merasa enggan untuk berkembang dalam menghadapi
kehidupan selanjutnya, karena merasa katakutan dengan tekanan.
Keempat,
jangan terlalu memanjakan anak. Lawan dari poin sebelumnya, jika kita jangan
terlalu kasar pada anak, bukan berarti kasar itu tidak dibutuhkan. Bahkan dalam
kondisi tertentu kasar itu dibutuhkan ketika sang anak itu memang akan terobati
dengan kekerasan. Biasanya orang tua yang sering memanjakan anaknya, akan
membuat anak itu menjadi orang yang suka tergantung pada orang lain. Ketika ia
mempunyai keinginan harus terpenuhi, dan bahkan sering melakukan sifat isrof
(pemborosan). Hal ini karena kemandirian anak telah hilang sedikit demi sedikit
ketika orang tuanya sering memanjakannya ketika kecil, sehingga diharap bagi
seorang ibu yang mana orang terdekat pada anak agar jangan terlalu memanjakan
anaknya. Jika dikira sudah cukup memenuhi kebutuhan si anak, jangan terlalu
memberikan berlebihan yang malah bisa membunuh kemandirian anak nantinya.
B. Ketika Masa Pubertas
Masa pubertas adalah masa
dimana seorang anak berada dalam waktu untuk menuju dewasa. Lingkup yang
dijangkau lebih luas dan pengaruh sekitar pun semakin banyak. Di waktu ini anak
mulai mencoba memahami dunia luar sedikit demi sedikit sesuai dengan
perkembangan usianya, yang tidak melulu di lingkungan keluarga, tapi lebih luas
ke lingkungan masyarakat. Dalam rentan vakum usia yang seperti ini, seorang ibu
bukan sudah lepas tangan, tapi inilah peran ibu yang lebih dibutuhkan untuk
memprotek si anak dalam bersosialisasi.
Mungkin
kita sering menonton film tentang pergaulan bebas, bagaimana seorang anak yang
mempunyai pergaulan bebas yang brutal sudah lepas dari pengawasan orang tuanya,
atau bahkan karena orang tuanya terlalu sibuk dengan urusan dunia sehingga
membuat anaknya muak, dan mencari suasana baru. Orang tuanya bisa dikatakan
sudah tidak peduli dengan mentalitas anak dengan siapa dia bergaul. Nah, ketika
anak mencari suasana baru, ternyata tidak ada yang mengarahkannya, sehingga ia
harus terjerumus ke lubanghitam kehidupan gara-gara kesalahan orang tua. Hal
seperti inilah yang nanti di akherat akan dipertanyakan tanggungjawabnya sebagai
orang tua yang teledor tidak membimbing anak.
Dalam
usia pubertas seorang anak memang akan mendapatkan pengetahuan yang lebih luas
dibanding masa kecil, tapi dalam masa ini seorang anak juga masih membutuhkan
seorang pemandu. Ibaratkan saja seorang turis luar negeri yang sedang
berkunjung wisata, walaupun ia tahu tempat-tempat wisata, tapi ia masih butuh
untuk dipandu agar tidak salah jalan ketika menuju tujuan. Posisi seorang ibu
sebagai pemandu seperti inilah yang sangat penting dalam selang waktu pubertas
anak.
Kemudian,
dalam memandu anak, maka seorang ibu yang bijak hendaknya lebih mengenalkan
lebih luas pada anak tentang pemahaman akhlaq. Sang anak harus tahu betul dan
bisa membedakan mana akhlaq mahmudah (terpuji), dan mana akhlaq madzmumah
(tercela). Tujuannya adalah agar sang anak mempunyai bekal pengetahuan untuk
bisa memilih siapa saja yang pantas dan lebih baik untuk dia ajak berinteraksi.
Selain itu sang ibu juga bisa mempengaruhi anak agar mencondongkan hatinya pada
hal-hal yang baik dan terpuji, seperti memberi tahu tentang betapa tenangnya
hati ketika mengikuti ceramah agama, betapa mulianya seorang hamba ketika bisa
bermanfaat bagi orang lain, atau bahkan bermanfaat bagi-hewan atau alam
sekitarnya.
Suatu
hal yang penting yang tidak boleh dilupakan dalam masa pubertas ini bagi anak
adalah ia tumbuhnya tabiat seksualitasnya. Jangan beranggapan negative ketika
anak dalam masa ini suka dengan lawan jenisnya, karena itu sudah kodrat dari
Allah swt, akan tetapi posisi orang tualah, yang lebih dominan dalam mengatur
bagaimana interaksi anak dalam seksualitasnya. Di sini sebisa mungkin sang ibu
khususnya mencoba memberikan pengarahan pada anak tentang bahaya-bahaya dalam
hubungan yang tidak diridloi oleh agama dan sekaligus memberikan sumbangsih bagaimana
tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi lawan jenis sesuai
dengan nilai agama, dan protek apa saja yang sekira dibutuhkan dalam menghadapi
gejolak seksualitas itu. Hal ini sangat penting karena menimbang pengetahuan
anak yang masih dasar dalam msalah ini. Banyak sekali mereka menonton TV,
membaca Koran, majalah atau yang lainnya yang bilamana jika sang anak tidak
tahu bagaimana menangani nafsu dirinya, maka ia bisa terjerumus dalam jurang
kemaksiatan. Di sinilah posisi sang ibu sangat diperlukan dalam memandu
perkembangan diri anak.
Mungkin
kedengarannya memalukan, namun, setidaknya hal tersebut pernah tertanam dala
hati seorang anak. Ibarat kita menanam sebuah biji kecil dalam tanah, maka kita
akan percaya bahwa suatu saat insyaAllah biji itu akan tumbuh menjadi
besar. Berbeda ketika mulai awal kita sudah malu untuk menanamkan hal-hal baik
itu pada anak, ibarat tanah tidak ada biji bagaimana kita bisa mengharap akan
tumbuh padi. Penanaman biji-biji kebaikan berinteraksi sangat penting dalam
masa pubertas anak.
C. Ketika Masa Dewasa
Masa dewasa sang anak telah
mengerti kehidupan. Biasanya sang anak akan merasa dia sudah dewasa dan tidak
mau diatur. Dalam rentan waktu ini sang ibu mungkin akan sering kali melihat
pertengkaran antara anak dan bapak. Sang anak merasa dia suah dewasa dan tidak
usah lagi diatur, sedangkan sang bapak merasa bahwa si anak masih belum
mempunyai bekal cukup untuk menghadapi kehidupan, atau bahkan saking takutnya
si bapak hingga terlalu banyak mengatur kehidupan anak yang malah membuatnya
merasa terkekang dan kemudian menentang. Di sinilah posisi sang ibu sebagai
penengah.
Misalnya
saja dalam memilih pasangan hidup. Kadang kriteria sang anak dalam memilih
pasangan berbeda dengan kriteria orang tua dalam memilihkan jodohnya. Kemudian
timbullah ketidakpuasan antara pihak orang tua dan anak yang membuat
silaturahim mereka bisa terputus. Di sinilah peran seorang ibu harus datang
berindak sebagai seorang penengah. Seorang ibu lebih dekat dengan anaknya
daripada bapak, begitu juga ibu lebih dekat dengan ayah daripada anak. Inilah
kesempatan bagi seorang ibu untuk menjalin tafahum di antara keduannya.
Jadi dalam problem semisal ini sang ibu memberikan pengarahan pada anak bahwa
sebenarnya sang bapak juga ingin memberi terbaik untuk si anak. Selain itu juga
sang ibu berusaha untuk melembutkan hati sang anak dengan mauidzoh-mauidzoh
tentang birul walidain (berbakti pada orang tua). Di sisi lain
sang ibu juga berusaha memahamkan pada sang bapak bahwa zaman yang kita hadapi
sekarang bukan lagi zaman dahulu. Memang islam memberikan kekuasaan bagi orang
tua untuk menikahkan anaknya, tapi bukan berarti sang bapak bisa seenaknya saja
menikahkan putrinya, karena yang menjalani hidup adalah putrinya. Cobalah untuk
memberikan anaknya pilihan dalam memilih jalan hidupnya sendiri. Jadi posisi
sesosok ibu dalam lingkup seperti ini memberikan pendingin bagi keluarganya.
Kemudian
setelah sang anak berkeluarga sendiri, setelah menikah dengan pasangan
pilihannya, sang ibu masih tetap berfungsi sebagai madrasah bagi anaknya.
Memang sang anak tertuntut untuk hidup mandiri dengan caranya sendiri dalam
keluarganya, namun tidak berarti tanggung jawab orang tua lepas begitu saja.
Berapa banyak rumah tangga yang berantakan, sering bertengkar karena belum bisa
mengerti bagaimana tatacara berkeluarga yang sakinah. Mereka masih
saling egois dengan kepribadian masing-masing suami-istri. Dari sisi inilah
letak sang ibu untuk berperan memposisikan dirinya mengajari anaknya tentang
pengetahuan berkeluarga, dan bagaimana cara menghadapi hidup agar kelak menjadi
keluarga sakinah mawaddah yang diidamkan oleh setiap keluarga.
Surga berada di telapak kaki
ibu, setidaknya begitulah Hadits yang menunjukkan kemuliaan sosok pencetak
genarasi umat ini. Sesuai dengan kemuliaannya itu beban berat pun harus ia
tanggung dalam mengarungi kehidupan. Sang ibu mempunyai peran besar dalam
membentuk mental anaknya. Ia merupakan madrasah pertama, kedua, ketiga, dan
seterusnya bagi anaknya. Tidak cukup hanya waktu kecil saja ibu berperan, namun
posisinya lebih dari itu. Sang ibu juga bisa menjadi madrasah saat anak
menginjak masa-masa pubertas. Sang ibu juga bisa menjadi madrasah di masa-masa
dewasa. Ia memiliki peran penting untuk membina keluarga menjadi sakinah
mawaddah, untuk keluarganya, juga untuk keluarga anaknya. Wa Allahu
a'lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar