Kembang Tujuh Rupa
"Sudah aku bilang berkali-kali 'politik
itu kejam', lebih kejam daripada setan",
Darsono merundukkan kepalanya.
Segunduk gudang penyesalan mengempul memenuhi dadanya karena telah ceroboh
bertindak. Impian yang ia cita-citakan sudah hilang dalam sekejap di hitungan
biji-biji suara hari senin kemarin, pukul setengah tiga sore, saat tiga calon
bertengger gagah di panggung untuk dipilih menjadi calon bakal lurah yang akan
memimpin desa lima tahun ke depan. Darsono kalah.
"Kalau sudah begini mau
apalagi kau??" Bentak Sarmo, mertua Darsono.
Mulai sejak awal mula, Sarmo memang
sudah tidak setuju jika menantunya ikut-ikutan adu politik, bersaing dengan
juragan-juragan tanah desa. Kejujuran saja masih belum cukup untuk meraih
tampuk kursi kemegahan lurah. Masih ada satu penyakit yang menulang pada
seluruh penduduk desa ini. Penyakit mata
duitan yang menuntut suap sana, suap sini. Penyakit itu seakan sudah terkontaminasi
menjadi bagian tulang pada kebanyakan pikiran-pikiran orang-orang desa. Tak cuma
orang awam, kiai saja harus disodok mulutnya agar mau menutur manis tentang
calon di muka masyarakat, dan ironisnya mereka meminta harga. Inilah yang
membuat Darso miskin.
"Sudahlah, Pak. Kasihan Mas
Darso" Ratmi, istri Darso mencoba menengahi masalah.
Darso masih tetap diam. Ia tak
punya kata untuk berkomentar pada mertuanya. Ia juga tak punya kata untuk
menerima kekuatan dari Ratmi, istrinya. Darso seakan seperti seekor ayam
terpuruk kena flu burung yang dapat diperkirakan lima atau enam jam lagi akan mati.
Sudah berkali-kali Darso pegang kepala, seperti keramas dengan shampo
kebingungan. Bisa saja ada kemungkinan gila.
Mertuanya jadi ikut-ikut diam.
Dijeguknya sisa kopi yang masih terpampang di meja samping kursinya. Dengan
gaya minum ala jawa kuno Sarmo kemudian menceguk kopi itu, lalu kembali menatap
Darso, menantunya, yang bandel ingin menyalonkan diri jadi lurah tapi ahirnya
kalah.
"Ini semua gara-gara Rusmin,
Pak. Aku terlalu percaya pada gombal sialan itu" Darso coba mengelak.
"SUDAH..!! Jangan menyalahkan
orang lain. Pengecut hanya menyalahkan orang lain saat dia gagal. Kesalahanmu
itu ada pada kebodohanmu salah meletakkan dirimu di masyarakat" bantah
mertua.
"Maksud Bapak?"
"Dasar tolol. Ini yang ingin
kujelaskan padamu dulu sebelum kau menyalonkan diri. Tapi kau terus saja
bandel. Sok cakap. Sok punya wibawa. Sok dipercaya masyarakat. Dan sok
belagu.."
Darso kembali merundukkan kepala.
Mertuanya terlalu kejam menyayat hatinya.
"Bah..heh, tak omongin gitu
saja kau sudah patah. Apalagi kalau kau jadi lurah, bisa remuk kau" tambah
mertua.
Setengah tahun yang lalu, sebelum
penyeleksian calon lurah, Sarmo sebenarnya sudah kuatir dengan menantunya itu.
Beberapa hari ia lihat Darso selalu kumpul-kumpul tiap malam di rumahnya dengan
Rusmin, Kardi, dan Lukman. Mereka bertiga di desa ini sudah terkenal sebagai
antek-antek politik yang sering mempengaruhi warga. Tak lama setelah itu,
berita mengagetkan tiba-tiba terdengar bahwa Darso telah menjual tanahnya yang
satu hektar. Tanah satu-satunya dari almarhum bapaknya untuk anak semata wayang
Darso itu. Sarmo semakin curiga ketika ia mendengar kabar pencalonan lurah akan
dibuka hari selasa depan. Benar, yang Sarmo takutkan ternyata tidak meleset, Darso
ikut menjadi calon. Kenapa tidak rembugan dulu dengan mertuanya? Itu yang
membuat Sarmo tidak terima. Dasar menantu sombong.
Ahirnya Darso pun lulus terpilih
masuk dalam finis calon terahir. Tiga calon ahirnya dinobatkan menjadi cikal
bakal lurah lima tahun ke depan. Setyadi, anak konglomerat juragan gula, Suratman,
mantan lurah tahun lalu yang juga borjuis desa, dan yang terahir adalah Darso,
seorang pekerja kebun di SD Sukolilo, desanya, hanya tukang kebun.
"Mas, darimana uang ini, Mas?"
Ratmi sempat bertanya malam itu ketika Darso berkemas hendak berangkat rapat rahasia
calon penguasa desa.
Darso diam. Ratmi tidak dijawab.
Hasratnya menjadi seorang lurah membuatnya beku untuk bersifat halus pada
istrinya yang selalu tanya seluk beluk uang yang ia dapat darimana. Tak usah
dijawab. Nanti jika memang sudah jadi lurah Ratmi akan tahu sendiri bagaimana
nikmatnya menjadi seorang 'ibu lurah' yang disegani oleh seluruh penduduk desa.
Muka Ratmi terlihat kecewa.
Sepanduk-sepanduk pun membahana di
seantero desa. Pertigaan, perempatan, warung-warung, tiang listrik, sekolah, masjid,
bahkan sampai pagar makam desa penuh dengan gambar bertuliskan 'Pilih Darsono!
Desa akan tentram!!'. Tak cukup sampai di situ, kaos bergambar muka ganteng Darso
pun juga beredar di tiap-tiap rumah. Sablon cepat saji sudah ia sewa untuk
menyemarakkan suaranya menjadi cikal bakal lurah desa. Bahkan sampai topi, ikat
pinggang, dan perlengkapan sekolah semua tertulis nama Darso, 'Sudarsono', yang
dibagikan cuma-cuma demi untuk satu suara dari penduduk desa.
"Kang, nanti saat masuk anda harus
sopan!!" Darso berpecis hitam kelam bersama Lukman mengetok pintu rumah
Kiai Burhan. Tujuannya hanya satu, mencari suara.
Edan. Kiai model macam apa ini? Wajah
berpeci haji dengan serban rapi lagak bahasa halus, tapi ternyata gombal.
Hatinya busuk mau menerima suap, bahkan malah menawar dengan tarif mahal pada Darso
untuk sekedar bilang pada masyarkat bahwa Darso bisa dipercaya. Bahh, setan
menyuap setan. Bagaimana umat bisa tentram jika pegangan agama mereka begini. Darso
terpaksa menyelipkan amplopnya di saku Kiai Burhan, demi sebuah jabatan.
"Mas, kok ada kembang tujuh
rupa di pojok rumah, itu untuk apa??" Ratmi curiga.
"Ah, diam saja kamu!!"
Tak cukup seorang kiai yang ia
suap, tangan besi sihir dukun pun ia datangi. Mbah gandrong namanya. Sarmidi bilang
dukun itu mampu membalik kata 'a' menjadi 'b' dengan sihirnya. Lumayan kan jika
bisa mengubah kartu suara dalam kotak menjadi berpihak pada Darso semua. Ia
juga mampu melenyapkan dukun-dukun lain yang disewa lawan saat ingin berusaha
menggagalkan usahanya. Pertarungan jalan putih masih belum cukup untuk
mempersiapkan kursi lurah Darso, jalan hitam juga harus ia tempuh agar semua
lengkap dengan hasil yang gemilang. Kembang tujuh rupa pun ia sebar di pojok-pojok
rumahnya. Garam bermantra yang telah ditiup Mbah Gandrong dengan aji-ajinya ia
tabur tengah malam, tepat pukul 12.00 dini hari, sesuai dengan perintah Mbah Gandrong. Tak hanya itu,
setiap sudut desa pun telah dibenamkan kepala ayam putih mulus sekaligus dengan
darahnya yang diecer setiap seratus kaki di sepanjang jalan desa. Dengan
begini, kekuatan sihir akan lengkap, sekaligus dengan perlindungannya dari alam
ghaib.
"Ingat!! Berapa hutang yang
kau tanggung gara-gara hasrat setanmu itu, Darso??? Satu setengah milyar. Kau
dengar?? Satu setengah milyar!!!" Mertua Darso kembali menyadarkannya dari
lamunan.
Darso sadar. Uang itu sekarang
telah ludes tinggal tagihan-tagihan beserta bunga-bunganya. Permasalahan bukan
pada susah bagaimana ia harus membayar semua itu, tapi darimana ia akan
mendapatkan uang sebanyak itu. Juragan Markum, terkenal dengan ahli pukulnya
yang seenaknya saja main hantam pada orang-orang yang tak bayar hutang. Jaelani
tak jauh sadisnya dari itu, Darso dengan keluarganya bisa malah langsung diusir
dari rumah mereka jika tahu mereka tidak akan bisa bayar. Sartono, juragan
ketan juga tak luput seramnya akan mencincangnya seperti sebuah adonan kuali
pukul. Belum lagi bunga bank, lima bank berbeda Darso telah cari hutang.
"Lihat istri dan anakmu itu!!
Apa kau tak pernah merasa kasihan pada mereka. Hanya karena sebuah martabat
pangkat lurah kau tega membuat mereka hidup terlantar" mertuanya menuding Ratmi
yang sedang menggendong bayinya berumur empat tahunan untuk tidur.
"Kau tahu, kenapa aku
berbicara keras seperti ini padamu?? Karena aku juga pernah sepertimu dulu.
Ingin menjadi lurah yang disegani oleh seluruh masyarakat. Ingin menjadi orang
berwibawa dengan kepemimpinannya. Dan ingin, ingin, ingin, ingin…..semua itu
SETAAAN…!!? Kau tahu!!!" Tambah mertuanya kurang puas.
"Tapi aku tak sebodoh kau. Aku
masih punya harta untuk kusisakan pada istri dan anakku ketika aku kalah. Dan
ternyata benar, aku kalah. Ludes semua hartaku tinggal satu rumah peot yang
dulunya adalah gudang barang-barang bekasku. Untung waktu itu aku masih punya
saudara. Sedangkan kau??? Siapa saudaramu, Dar?? Kau ini anak semata wayangnya Kang
Ramelan, bapakmu. Bapakmu dulu itu sangat sopan, bijak dalam bertindak, teliti
dalam melangkah. Tidak seperti kamu yang ceroboh mengorbankan anak istri hanya
demi sebuah jabatan. Jika ayahmu masih hidup pasti dia akan…"
"CUKUPPP…!!!!" Gertak Darso
tak kuat menahan amarah,
Seketika mertuanya pun diam. Ia
kaget dengan gertakan Darso.
"Jangan sangkut pautkan aku dengan
ayahku. Aku adalah Darsono. Setiap orang memiliki nasib yang berbeda. Jika aku
tahu akan begini. Demi Allah aku tidak akan melakukannya. Wa allahi.."
lanjut Darso melas bersumpah.
…
"Kang…, Kang Darso.., Kang Darso!!"
tiba-tiba suara dari luar memanggil-manggil Darso.
Itu suara Najib. Ada apa
malam-malam begini dia datang? Apakah ayahnya sudah tidak sabar lagi untuk
menarik hutangnya, hingga sehari gagal dan kalah pencalonan tadi siang,
langsung malamnya minta tagih hutang. Darso, menjadi kuatir.
"Huh..huh..huh..!!!"
nafas Najib terengos-engos.
"Kang…Kang Darso.." Najib
membuka pintu menyodorkan kepala, "Kang Darso… hasil pemilu tadi siang
dibatalkan. Suratman berbuat curang, kang Darso!!!"
"Ya Allaaaaahh!!!" Darso
sujud syukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar