Menu

Minggu, 30 September 2012

Cerpen - BIBIT PLAYBOY


BIBIT PLAYBOY
Oleh : Mohamad Bejo
 
Namaku adalah, siapa namaku? Tunggu dulu. Jika aku pakai nama asliku, maka aku akan malu. Oleh karena itu aku harus pakai nama samaran palsu agar rahasia cerita ini tidak terungkap oleh orang lain. Bisa malu aku nanti kalau terungkap. Masalahnya ceritaku agak berbau rahasia sedikit, apalagi kalau yang baca cewek, mau taruh mana mukaku nanti. Taruh lutut kali biar tetap terjaga. Atau taruh ketiak? Ah, jadi nglantur.
OK, kupilih nama Rojer Sujadi. Nama yang cocok, tidak katrok dan juga tidak gaul. Lihat saja kata Rojer dapat dikatakan nama ini lebih condong ke gaya ke-Eropa-an, jadi kalau didengar agak sangar sedikit keren dan gaul. Ya, satu saudaralah dengan nama-nama sejenis Peter, Tiger, John, dan lain-lain. Karena aku asli Jawa, Indonesia kayaknya tak pantaslah jika harus menghianati negeri sendiri. Kasihan kan Indonesia. Udah sakit dilanda krismon masih dihianati penduduknya sendiri. Kayak udah jatuh dari pohon, masih kejatuhan buah kelapa. Dua kali lipat terasa sakitnya. Oleh karena itu ditambahilah embel-embel Sujadi buat tolak durhaka pada negara. Lalu kenapa harus Sujadi? Itu masalah yang kayaknya perlu dibahas selanjutnya.
Rojer Sujadi, Ayahku memberikan nama itu padaku. Kadang aku juga bingung apa sih yang sebenarnya dikehendaki Ayahku. Padahal Ayahku itu seorang Kiai lho. Ya walaupun cuma kiai musolla kecil-kecilan namun bekal ilmu agama Ayahku berani bersaing melawan lulusan Tebu Ireng atau Lirboyo atau pondok-pondok ngetren yang lain. Tapi anehnya, kenapa dia malah memberi nama aku setengah mistik kayak gitu. Kayak nama kartu remi saja. Eh bukan, kalau yang di kartu remi kan joker, bukan rojer. Maaf.
Andai saat kecil aku bisa protes akan kubantah Ayahku. Kudebat dia sampai darah penghabisanku. Kuganti namaku dengan nama yang sedikit berbau islami. Kayak Taufiq safalas, Syahdan Kasogi, Aditya Cleopatra atau apalah yang radak agamis-agamis dikit. Tapi apa boleh buat, tangan Bapak Moden telah melakukan kesalahan waktu itu, dengan menulis nama Rojer Sujadi dengan jelas sekali di nokte kelahiranku hingga sampai sekarang terpaksa beban moral nama itu harus kupikul mengarungi hidupku. Capek juga rasanya jika harus mengingat kejadian itu. Penuh misteri dan teka-teki. Pak moden perlu dituntut. Lho? kok malah jadi nyalahin Pak Moden?
Tanpa panjang kata aku pun tumbuh menjadi pria dewasa. Tak begitu kekar, tapi bisa jugalah dikatakan tampan. Lagian mana ada cowok cantik. Hanya otak eror yang bilang cowok itu cantik. Perawakanku menawan nggak kampungan, tapi aku juga agak beda dari yang lain, karena aku lebih suka menyendiri. Itu keistimewaanku. Entah darimana aku kena virus model itu, tapi kalau boleh diingat-ingat, saat itu kalau nggak salah aku kena virus suka uzlah ini karena Ayahku adalah seorang Kiai. Ya,  benar, karena Ayahku seorang Kiai musolla.
Jadi gini jalan ceritanya. Dalam syariat Islam banyak sekali aku mendapat petuah-petuah baik itu dari Ayahku sendiri atau Da'i-da'i lain yang berceramah agar jangan berteman dengan orang-orang yang nggak bener akhlaknya. Terus kebayang deh dibenakku sebuah monitor proyektor berisi anak-anak yang sering duduk-duduk begadang di pertigaan jalan kampung, tempat tikungan menuju kuburan yang sering ramai dengan anak-anak muda yang sok gaul, padahal ndeso. Setelah aku kebayang mereka, bayanganku jadi tambah nglantur, mereka itu mabuk-mabuk bersama sambil teler minum-minum ala setan. Tambah lagi ada joget-joget saat ada suara musik, terutama lagi saat ada tetangga yang nanggap orkes. Pokoknya, saking serunya kabar pertumpahan darah akan terdengar menggema mengiringi subuh setelah itu. Pasalnya para anak-anak tikungan itu pada berantem satu sama lain. Maklumlah, mereka pada mabuk, jadi pada nggak sadar.
Dari itu semua aku simpulkan jadi sedikit agak terpengaruh pada petuah agamis itu untuk menjauhi dunia foya-foya. Maka aku pun jaga jarak dari mereka, ditambah lagi kabarnya mereka sering godain cewek-cewek yang lewat pertigaan situ. Aku juga sebenarnya pengen juga sih, tapi Allah tak suka yang seperti itu. Aku jadi memilih tetep diam di musolla saja. Lagian ada efek sampingnya lho kalau duduk di pertigaan itu, yaitu pada setiap malam harus dibentak-bentak hujan gelegar suara, karena perang dengan para Hansip yang sedang ronda. Maksudnya, anak-anak yang katanya sok gaul itu sering berantem sama tukang ronda. Bukan itu saja, bahkan sama para tetangga yang dekat tempat nongkrong itu. Bahkan lagi, kadang pak Lurah saja ditantang. Hebat.. wow! Sudah punya nyawa cadangan kali.
Rasanya aku ingin tambah bumbu untuk menyalahkan Ayahku. Kenapa begitu? Ya karena Ayahku kan yang tugas memegang amanat agama di daerah situ, jadi kayak-kayak Ayahku gagal membuat warga untuk menjadi orang yang taat beribadah, khususnya anak muda. Tapi sepertinya kasihan juga Ayahku jika harus disalahkan. Masalahnya dalam Hadits kan ada yang mengatakan bahwa kemaksiatan akan merajalela di zaman ahir seperti ini. Berarti sudah biasa dong jika banyak anak muda yang lalai akan agama. Tapi sebaliknya aku juga malah berfikir, lalu buat apa kita nasehatin mereka lawong sudah di nash(ditetapkan) Hadits bahwa mereka akan rusak akhlaqnya. Cukup. Berhenti kau setan. Rasanya hanya orang bodoh yang bertanya begitu. Aku benci hatiku yang model seperti  ini. Coba kita pikir balik saja, dinasehatin pakai mauidzoh hasanah saja masih ndluyo tidak mempan apalagi nggak dinasehati. Emang kau mau kalau kiamat lebih cepet?! Itu yang mungkin bisa menjawab untuk membungkam mulut setan yang kerap mendesis dalam hati untuk ingkar pada Agama.
Sepertinya kita sudah keluar jalur ini. Kita harus kembali ke inti cerita tentang Bibit Playboy. Itu judul yang aku pilih untuk diareku. Aku sebenarnya malu jika harus menyebutnya diare, kayak cewek saja. Aku kan laki-laki. Aku harus tegar. Jangan suka menangis untuk cuma sekedar ngungkapin perasaan pakai diare. Tapi mau bagaimana lagi, aku suka menulis, jadi ya kutulis saja riwayat hidupku, mungkin saja kapan-kapan bisa dimasukkan oleh DEPPENNAS (Depertemen Pendidikan Nasional) dalam kurikulum dua ribu berapa nanti sebagai materi pelajaran wajib dalam seleksi ujian ahir sekolah. Mungkin, tapi mendekati mustahil.
Alhamdulillah, ternyata darah agamis menjalar dalam takdir hidupku. Tak kusangka sekarang aku telah berada di bangku mahasiswa untuk menimba ilmu syariat. Kubilang ini takdir yang agak aneh, karena sebenarnya aku tak begitu tertarik dengan pelajaran-pelajaran agama. Sebenarnya aku lebih tertarik pada pelajaran umum, karena pelajaran agama kebanyakan hanya seputar doktrin-doktrin teks dan tak ada apa itu yang namanya praktek labolatorium.
Jadi sejarahnya  begini. Aku dulu, setelah lulus MTs, sebenarnya ingin melanjutkan ke jenjang SMA. Maka aku pun mendaftar di Madrasah Aliyah terdekat saat itu, walaupun sebenarnya orang tuaku mengharapkan aku untuk mondok di Pati agar bisa meneruskan langkah si Ayah. Tapi karena konsep kebo melu gudel telah merajalela di kalangan masyarakat melebihi teori evolusi, maka orang tuaku pun mengikuti pendapatku. Aku menang.
Aku mendaftar di sekolah MA. Maaf sebelumnya, nama sekolah itu kurahasiakan demi keamanan dan agar pembaca tidak banyak tanya dimana letak sekolah itu. Aku pun mendaftar dan ahirnya mengikuti orientasi siswa. Ahir peristiwa, saat terahir aku orientasi ternyata aku terpilih sebagai siswa yang paling giat mengikuti kegiatan itu. Sangat menggembirakan sekali. Tapi juga awal dari kesedihan. Pasalnya, teman-teman wajah gembong ala brutal ternyata menyelundupkan hasud pada diriku dan teman-teman dekatku. Kami pun diancam. Kayak di film-film itu lho.
Sayang, waktu itu aku belum bisa karate. Jadi lihat kayak gitu ya takut, bener-bener takut. Apalagi saat malam itu, waktu kegiatan pramuka, aku ternyata satu kelompok dengan mereka, para gembong itu. Waduh, nasib, perasaanku bakal celaka aku. Saat itu kami sedang mau tidur, dengan suasana ruang yang gelap. Tiba-tiba ada suara lirih berbisik yang isinya akan mencegat anak-anak desaku di jalan saat nanti mau pulang. Aku jadi tambah minder. Langsung saja besoknya, saat kegiatan hampir selesai aku mendesus pada teman sedesaku saat berbaris di lapangan untuk upacara, Makmur namanya. Aku ceritakan semua kejadian tadi malam dan ternyata dia juga merasakan seperti apa yang aku rasakan. Dan ahirnya kami pun berencana hendak pindah sekolah saja. Kebetulan waktu itu ada sekolah SMA yang baru berdiri, Cuma masih sedikit muridnya.
Aku bodoh. Ketika aku pulang sampai ke rumah, tanpa pikir panjang aku kok malah bilang ke Orang tuaku kalau aku ingin mondok. Waduh, Orang tua ya jadi seneng banget mendengarnya. Kemenanganku terampas. Padahal itu tidak dari lubuk hatiku. Tak lama setelah itu si Makmur pun mendatangiku, untuk menegaskan rencana awal yang katanya mau pindah sekolah. Tapi aku harus gimana lagi. Sudah terlanjur bilang sama Ayahku ingin mondok. Terpaksa Aku pun harus menyayangkan pada dia karena aku sudah terlanjur bilang pada orang tuaku untuk mondok. Uh, dasar takdir. Tapi Alhamdulillah aku tetap bersyukur.
Lho, kok bisa cerita sampai ke situ. Wah, salah jalur ini. Padahal aku hendak bercerita tentang pengalamanku kemarin akan nasib cintaku yang sedang porak poranda, tapi bisa bangun. Untung saja ingat. Pasalnya, aku Cuma ingin buat pendek saja ceritaku, sekitar tiga halaman saja. Tapi sampai huruf  ini tertata, ternyata sudah dua setengah halaman. Bukan, empat halaman malah. Wah, ini diluar rencana. Harus cepat-cepat nih.
Jadi gini, setelah aku mondok sekitar dua tahun, ternyata aku jadi terpengaruh gaya-gaya sufiisme. Pokoknya hidup ini serba dzikir. Tiada hari tanpa dzikir. Dzikir, dzikir dan dzikir. Saat teman-temanku pada sibuk ngintip para cewek-cewek santriwati, aku pun bergaya sok cuek, sok tangguh, sok sufi, sok tak butuh dunia. Aku bisa dibilang sangat sufiistik lah. Hingga bisa dikatakan kalau aku juga mampu bertahan tiga jam bersila mulai ba'da subuh sampai sekitar jam tujuh pagi, tidak pindah tempat dan itu pun setiap hari. Kayak wali saja. Tapi bukan wali band, ini lain.
Itu dulu. Ingat, itu dulu sekitar empat tahun silam. Sekarang aku sudah gaul, dan gaulku itupun ada sejarahnya yang nggak bim salabim jadi, tapi butuh proses pelan-pelan. Hingga pada ahirnya aku menyimpulkan bahwa diriku ternyata mempunyai bakat terpendam yang tidak disangka-sangka. Kalau dipikir-pikir kayaknya bakatku ini tidak kalah dengan Leonardo dan Jerry Tomy. Tentang siapa mereka kayaknya tidak perlu saya jelaskan demi mempersingkat halaman. Pokoknya kalau tahu tikus dan kucing pasti juga tahu siapa mereka.
Waktu itu, setelah aku lulus dari pondok ternyata ijasahku bisa dibuat untuk mendaftar Perguruan Tinggi, Negeri lagi. Ini benar-benar Kesepatan emas. Jangan sampai terlewatkan. Lagian nilaiku juga lumayanlah untuk dibuat saingan sama mereka-mereka yang lulusan SMA atau MA umum. Ahirnya, masuklah sang sufi di dunia kuliah. Rojer Sujadi masuk kuliah. Si katrok yang bakalan jadi gaul akan masuk kuliah dengan bakat terpendamnya.
Semester kelima aku kenal dunia baru yang dulu kuanggap busuk bagiku. Dunia pacaran. Entah kenapa aku seakan-akan ada dorongan untuk ingin mempunyai seorang pasangan hidup. Apakah karena umurku semakin tua? Ataukah karena memang reaksi biologis dan psikologis pada diriku yang semakin menjadi-jadi? Ataukah karena aku terpengaruh teman-temanku satu kos saat pada jagongan membicarakan cewek terus tiap malam sebelum tidur? Yang Ketiga kayaknya yang paling berpengaruh. Setengah jam sebelum aku tidur, aku kerap nonton TV sebentar, alasannya sih buat refreshing the brain setelah belajar mulai habis isya'. Nah, dalam sela-sela nonton TV itu, sekejap si Renggo, temanku dari Tegal, sekejap dia lihat cewek langsung saja pikirannya jadi mesum. Bobroknya lagi, teman-temanku yang lain meladeni anak ini untuk memperdalam pembahasan. Lebih bobrok lagi adalah aku, sudah tahu pembahasan itu berbahaya tapi tetep saja bersemedi di kursi dekat mereka. Malah bisa dibilang kursiku adalah paling depan. Maklum, acaranya box office, jadi nggak boleh ketinggalan karena filmnya seru-seru. Maklum juga lagi karena nggak ada cepek untuk ke bioskop jadi ya pilih gratisan saja di TV tempat kos.
Wuaduh, kok udah empat halaman. Cepet banget sih. Bukan empat tapi lima halaman. Langsung saja biar nggak menghabiskan banyak kertas, setelah itu pun aku jadi tertarik dengan apa yang namanya wanita. Aku ganti hp-ku yang model kuno, merk nokia 2600 yang paling mentok cuma bisa sms sama nelpon, kuganti dengan model baru N 70. Ya walaupun nggak Blackberry tapi lumayankan, toh hasilnya juga sama. Cuma masalah cepat tidaknya saja.
Akupun mulai tertarik dengan fb. Aku mulai coba deh nge-add cewek-cewek. Aku pilih dulu mereka yang fotonya pakai kerudung dan tentunya yang cantik-cantik dong, masak cari cewek yang jelek. Malahan aku juga nge-add seorang Syarifah. Orangnya putih cantik terlihat kalem. Tapi aku rasa itu bukan levelku, terlalu tinggi. Aku mundur saja kalau itu. Toh yang biasa tapi cantik juga banyak.
Aku dikomentari seorang cewek. Itu kelanjutan fb-anku setelah mungkin dua bulan menunggu. Kenapa dua bulan baru dikomnetari cewek? Ya karena aku polang-paling kalau buat status ya yang berbau dakwah gitu. Pengennya sih sambil nyelam minum air. Sambil dapat cewek mau dakwah. Tapi ternyata kebanyakan minum air, statusku bahasanya kaku-kaku jadi jarang ada yang komen. Namun tidak disangka, pada ahirnya ternyata ada cewek aneh yang mau komen ke statusku. Wah perkembangan nih. Harus dicatat dengan tebal.
Dia merayuku diam-diam secara terselubung. Komennya ternyata menggemaskan. Dari balik tirai dia seakan-akan menginginkan aku untuk menembaknya. Masak aku yang terbilang baru tingkat mula pacaran dibilAngin pandai merayu. Yang benar saja. Masak bekas sufi pindah ke fb langsung dibilang pinter merayu. Aku pun semakin lama semakin tergoda. Aku buka deh profilnya kayak apa sih wanita itu. Ternyata dia  lumayan juga, nggak gitu-gitu jelek, tapi juga nggak cantik-cantik banget. Kulihat status-statusnya kok kayak mengisyaratkan kalau dia ingin ditembak. Kuanggap saja ini kesempatan dalam kesempitan. Ini sela dalam kejepitan. Aku datang my darling. Akan kubawa panah asmara untukmu.
Dia menerima aku ternyata. Katrok kayak gini ternyata ada juga yang mau. Malah waktu itu, saat aku kirim fotoku ke fb-nya dia bilangnya kalau aku ganteng. Waras atau nggak sih wanita ini? Aku sendiri saja tidak yakin kalau aku ini ganteng. Hal ini pun memberikab efek difraksi besar pada hatiku. Mulai saat itu, dan mungkin satelah itu, aku jadi agak percaya diri sedikit. Ternyata aku ganteng. Ternyata aku pantas jadi anak gaul.
Tas punggungku pun aku ganti dengan tas gaul yang apa itu namanya? yang kayak tas yang biasa di bawa ibu-ibu ke pasar atau supermarket itu apa namanya?lupa aku. Yang biasanya anak muda yang gaul saking gaulnya sampai manjangin talinya kelutut. Tas apa itu namanya? Aku kok lupa. Pokoknya yang itulah. Baju lengan panjangku pun kusetrika rapi untuk kuucapkan selamat tinggal, berganti dengan kaos model dagadu baru masih bau pabrik. Kalau celana, kayaknya masih tetep saja. Tidak berubah. Masalahnya aku paling malu jika harus beli celana di pasar. Apalagi celana dalam. Tambah lagi kalau yang jual adalah cewek, huh, lebih baik keliling lapangan seribu kali daripada mati malu. Selain itu juga, biar cocok sama namaku, Rojer Sujadi, setengah gaul, setengah katrok.
Apa? Putus? Cintaku diputus? Aku tak percaya. Tiba-tiba dengan tanpa alasan cewek yang kutemukan di fb itu dengan mendadak memutusku. Sakit rasanya. Hatiku lemas tak berdaya. Ke-gaul-anku hilang dalam sekejap setelah itu. Kok tega-teganya dia hianati aku. Tidak hanya itu, semingggu setelah memutus dia bilang kalau dia sudah punya pacar baru. Oh, sakitnya hati ini. Geram rasanya hatiku. Ingin kucekik dia. Aku banting lalu aku buang ke kali. Biar buat makan ikan.
Tapi tunggu dulu. Jika dia kucekik terus kubuang. Berarti aku juga pendusta cinta dong? Masak orang yang dicintai dicekik sendiri. Bukan cinta berarti. Aku jadi agak sedikit sadar tentang kata pepatah hitam "cinta ditolak dukun bertindak", Kayaknya juga aku ingin kayak gitu. Tapi sama juga dong aku mencekik dia dan aku tidak mencintainya secara tulus. Jika aku benar mencintainya maka aku tak akan menyakitinya. Cinta adalah berapa banyak kita memberi bukan berapa banyak kita menerima. Itu yang pernah kudengar dari lirih seorang penyair yang aku tak kenal. Lagian kalau pergi ke Dukun aku juga pun harus pikir-pikir dulu. Kantong kosong nggak ada modal mau beli gula sama kopi pakai apa? Dasar miskin. Nasib.
Akupun lemas. Hari-hariku terasa menyusahkan. Lihat cewek lewat depan kos ingin rasanya kuludahi, tapi yang salah kan pacarku bukan setiap cewek harus kubenci. Capek rasanya hati ini. Entah bagaimana lagi aku bisa bangun kembali menjadi seorang sufi kayak dulu. Cinta pertamaku telah pupus.
Tegar. Aku Rojer Sujadi. Asli keturunan Jawa tulen. Tidak ada dalam kamus keluargaku untuk menyerah. Aku harus bangun. Aku tidak boleh merusak reputasi silsilah kabilah Sujadi yang terkenal pantang menyerah. Kusingkapkan rasa sedihku. Aku berdiri. Dengan gaya tangan kumasukkan saku celana sambil lihat atap jendela aku berjalan. Aku ambil sebilah bunga plastic di meja tamu sekalian dengan potnya. Aku tuju halaman depan lalu kutudingkan bunga itu seperti pedang ke arah jalan sambil gaya sok gaul.
"Wahai para wanita, tunggu pembalasanku!"
"He, mas ngapain telanjang dada pegang bunga kayak orang gila seperti itu???" Teriakan Ibu kos menegurku. Aku jadi malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar