Chapter 1
Pembantai??
Pembantai??
Oleh: Bahrul Jalil
Relung angin
bertiup di dedaunan berudara dingin. Hembusan embun fajar masih terasa sayup
dengan ketenangannya. Secercak anak berjubah kumal penuh debu berhias pedang di
punggungnya sedang berjalan melewati rerimbunan daun pagi buta itu. Kakinya
terasa lemas setelah semalam suntup berjalan. Tapi tekadnya terasa bersinar
menguatkan langkahnya. Berdesir dalam hatinya, “Aku adalah pendekar!”
“Kau dari
mana anak muda?” Tanya seorang lelaki tua yang hendak pergi ke lading.
“Aku seorang
pengembara kek” jawabnya.
“Aku merasa
dari auramu kau mempunyai sesuatu yang bias memecahkan masalah kami” tanggap
kakek itu menurunkan cangkulnya.
“Aku hanya
pengembara biasa. Hidupku sudah terkikis bersama bergulirnya waktu dan tempat
yang telah aku lewati” tegas pemuda itu.
“Kau punya
nama anak muda??”
“Owh… aku
pernah ke sana waktu muda dahulu. Dahulu aku juga suka mengembara sepertimu. Namun,
tak kunjung juga kutemui dan kucapai tujuannku sehingga pupus dan membuatku
terpatah tak ada semangat lagi kecuali hanya berdiam di desa kecilku ini.”
“Aku melihat
aura hitam menyelubungi desamu pak tua. Musibah apa yang telah menimpa desamu?”
Desaku
sekarang dikuasai oleh seorang dukun yang cukup sakti. Ia ahli dalam sihir dan
berperang. Namun sayangnya rakyat desa banyak yang ia peras dan dibunuh untuk
tumbal ilmunya.”
“Kurasa akan
mengenali aura hitam ini” yakla menghelakan nafas panjang mencoba merasakan
kekuatan mejik tempat tersebut.
“Tak salah
lagi, ini sihir baguresi. Ternyata dia belum mati” katanya
“Kau benar-benar
hebat anak muda”
“Bolehkah aku
singgah sementara di desamu, Pak Tua?? Aku akan coba membantu rakyatmu sekuatku”
Dengan
senang hati anak muda.
***
“Kau siapa?
berani-berani menyela pembicaraan kami???” Tanya bandit itu
“Apa kau
sudah bosan mati cecunguk??” temannya menambahi.
“Ayo silahkan,
akan kuladeni kalian dengan senang hati. Majulah!!” Yakla menyisingkan tangan
dan menyiapkan kakinya dengan kuda-kuda.
“Breek…
braaak..breeek..” bandit-bandit itu berjatuhan satu sama lain.
“Sialan kau!!
Kau belum tahu siapa tetua kami. Kau akan menyesal telah berani menghajar kami”
ancam bandit itu sambil sempoyongan berdiri mengusap darah yang keluar dari
mulutnya.
“Beeek…”
satu pukulan lagi menimpa bandit sombong itu.
“Sampaikan ini
pada tetua kalian. Aku tak akan segan-segan membunuh kalian semua jika sampai
nanti malam aku masih melihat wajah kalian di desa ini!!!” ancam yakla melempar
selembar kain bergambar naga hitam.
Bandit-bandit
itu berlari terbirit-birit menuju rumah tetua mereka untuk minta pertolongan.
“Kenapa muka
kalian babak belur???? Siapa yang berani mengusik kekuasaan Jayawesi di sini,
hah????” tetua bandit itu marah besar setelah melihat anak buahnya dihajar.
“Kami tidak
tahu siapa dia tuan. Tapi dia menyuruh kami memberikan kain ini pada tuan”.
“Bedebah kalian,
Pengecut!! Takut mati!!” Tetua yang menyebut dirinya Jayawesi itu menghina anak
buahnya. Ia sahut kain itu.
Matanya
melihat gambar yang di kain itu. Tiba-tiba seketika tubuhnya bergetar
ketakutan.
“Iii….iii…ini….”
Jayawesi tak karuan bicara.
“Katanya dia
mengancam kita untuk meninggalkan desa ini sampai malam nanti tuan…”
Jayawesi
masih tak ada kata.
“Kalau tidak,
kita akan dibunuh semuanya…”
Jayawesi
semakin bergetar tak karuan.
“Di.. dia…
dia masih hidup…!!” kata keluar dari mulut Jayawesi.
“Cepat kemasi
barang kalian!!!?? Bawa yang kalian bisa!! Kita tinggalkan tempat ini
secepatnya!!??”
“Ta… tapi
tuaann…!” anak buahnya mencoba mengelak.
“Tidak ada
tapi-tapian…!! Secepatnya kita harus meninggalkan desa ini”
“Ba..baik
tuan!”.
Sore itu Jayawesi
dan serumpunan anak buahnya meninggalkan desa. Terlihat berjalan begitu rendah
dengan rasa ketakutan sangat.
“Ma..maaf, Tuanku.
Sebenarnya kenapa tuanku begitu takut??”
“Dia telah
kembali…” jawab Jayawesi singkat.
“Di… di… dia
siapa tuanku??”
Seketika Jayawesi
menghentikan langkahnya. Rombongan pun ikut berhenti.
“Dia Pendekar
Nagasukma. Pembantai terkeji dunia persilatan hitam lima belas tahun
silam.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar