Menu

Jumat, 04 September 2015

Pembantai

Chapter 1

Pembantai??
 Oleh: Bahrul Jalil



Relung angin bertiup di dedaunan berudara dingin. Hembusan embun fajar masih terasa sayup dengan ketenangannya. Secercak anak berjubah kumal penuh debu berhias pedang di punggungnya sedang berjalan melewati rerimbunan daun pagi buta itu. Kakinya terasa lemas setelah semalam suntup berjalan. Tapi tekadnya terasa bersinar menguatkan langkahnya. Berdesir dalam hatinya, “Aku adalah pendekar!”
“Kau dari mana anak muda?” Tanya seorang lelaki tua yang hendak pergi ke lading.
“Aku seorang pengembara kek” jawabnya.
“Aku merasa dari auramu kau mempunyai sesuatu yang bias memecahkan masalah kami” tanggap kakek itu menurunkan cangkulnya.
“Aku hanya pengembara biasa. Hidupku sudah terkikis bersama bergulirnya waktu dan tempat yang telah aku lewati” tegas pemuda itu.
“Kau punya nama anak muda??”
“Iya. Namaku Yakla. Tempat asalku adalah Negeri Fanay”


“Owh… aku pernah ke sana waktu muda dahulu. Dahulu aku juga suka mengembara sepertimu. Namun, tak kunjung juga kutemui dan kucapai tujuannku sehingga pupus dan membuatku terpatah tak ada semangat lagi kecuali hanya berdiam di desa kecilku ini.”
“Aku melihat aura hitam menyelubungi desamu pak tua. Musibah apa yang telah menimpa desamu?”
Desaku sekarang dikuasai oleh seorang dukun yang cukup sakti. Ia ahli dalam sihir dan berperang. Namun sayangnya rakyat desa banyak yang ia peras dan dibunuh untuk tumbal ilmunya.”
“Kurasa akan mengenali aura hitam ini” yakla menghelakan nafas panjang mencoba merasakan kekuatan mejik tempat tersebut.
“Tak salah lagi, ini sihir baguresi. Ternyata dia belum mati” katanya
“Kau benar-benar hebat anak muda”
“Bolehkah aku singgah sementara di desamu, Pak Tua?? Aku akan coba membantu rakyatmu sekuatku”
Dengan senang hati anak muda.
***
“Kau siapa? berani-berani menyela pembicaraan kami???” Tanya bandit itu
“Apa kau sudah bosan mati cecunguk??” temannya menambahi.
“Ayo silahkan, akan kuladeni kalian dengan senang hati. Majulah!!” Yakla menyisingkan tangan dan menyiapkan kakinya dengan kuda-kuda.
“Breek… braaak..breeek..” bandit-bandit itu berjatuhan satu sama lain.
“Sialan kau!! Kau belum tahu siapa tetua kami. Kau akan menyesal telah berani menghajar kami” ancam bandit itu sambil sempoyongan berdiri mengusap darah yang keluar dari mulutnya.
“Beeek…” satu pukulan lagi menimpa bandit sombong itu.
“Sampaikan ini pada tetua kalian. Aku tak akan segan-segan membunuh kalian semua jika sampai nanti malam aku masih melihat wajah kalian di desa ini!!!” ancam yakla melempar selembar kain bergambar naga hitam.
Bandit-bandit itu berlari terbirit-birit menuju rumah tetua mereka untuk minta pertolongan.
“Kenapa muka kalian babak belur???? Siapa yang berani mengusik kekuasaan Jayawesi di sini, hah????” tetua bandit itu marah besar setelah melihat anak buahnya dihajar.
“Kami tidak tahu siapa dia tuan. Tapi dia menyuruh kami memberikan kain ini pada tuan”.
“Bedebah kalian, Pengecut!! Takut mati!!” Tetua yang menyebut dirinya Jayawesi itu menghina anak buahnya. Ia sahut kain itu.
Matanya melihat gambar yang di kain itu. Tiba-tiba seketika tubuhnya bergetar ketakutan.
“Iii….iii…ini….” Jayawesi tak karuan bicara.
“Katanya dia mengancam kita untuk meninggalkan desa ini sampai malam nanti tuan…”
Jayawesi masih tak ada kata.
“Kalau tidak, kita akan dibunuh semuanya…”
Jayawesi semakin bergetar tak karuan.
“Di.. dia… dia masih hidup…!!” kata keluar dari mulut Jayawesi.
“Cepat kemasi barang kalian!!!?? Bawa yang kalian bisa!! Kita tinggalkan tempat ini secepatnya!!??”
“Ta… tapi tuaann…!” anak buahnya mencoba mengelak.
“Tidak ada tapi-tapian…!! Secepatnya kita harus meninggalkan desa ini”
“Ba..baik tuan!”.
Sore itu Jayawesi dan serumpunan anak buahnya meninggalkan desa. Terlihat berjalan begitu rendah dengan rasa ketakutan sangat.
“Ma..maaf, Tuanku. Sebenarnya kenapa tuanku begitu takut??”
“Dia telah kembali…” jawab Jayawesi singkat.
“Di… di… dia siapa tuanku??”
Seketika Jayawesi menghentikan langkahnya. Rombongan pun ikut berhenti.

“Dia Pendekar Nagasukma. Pembantai terkeji dunia persilatan hitam lima belas tahun silam.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar